Hari ini, dunia telah membawa kita pada atmosfir kebebasan yang tidak terbatas. Mungkin nenek moyang kita tidak merasakan kebebasan sebagaimana kebebasan dunia yang kita alami dan rasakan saat ini. Meski demikian, kebebasan hari ini ternyata memunculkan sikap mendua (ambivalensi). Di satu sisi, kebebasan telah membawa kita pada kemandirian dan sikap rasional, namun di lain sisi telah melahirkan karakterologis seperti cemas dan alienasi.
Seroda dengan perjalanan peradaban dunia saat ini, sebagai manusia kita memang semakin bebas. Akan tetapi dengan kebebasan justru menjadikan kita semakin merasa kesepian (being lonely). Ini artinya bahwa dengan kebebasan ternyata telah menciptakan keadaan negatif. Karena kebebasan yang kita rasakan hari ini tidak memberi jaminan dan kepastian hidup, sebaliknya justru membuat kita merasa gamang dan hambar akan kehidupan; yang seolah-olah kita ini sedang berlayar di samudra keterasingan.
Kita sedang merasakan apa yang disebut dengan alienasi, yaitu suatu keadaan psikis yang mengalami keterasingan baik oleh dirinya maupun lingkungannya. Kita tidak lagi merasa sebagai pusat dunia yang menciptakan aktivitas-aktivitasnya secara otonom, melainkan hanya sebagai objek dari tindakannya sendiri. Begitu pun juga model perilaku masyarakat, karakter sosial yang cenderung menguasai dan menjadikan apa yang dimiliki sebagai hak pribadi, kemudian menjadikan segala sesuatu sebagai objek. Dampak dari ini semua adalah kuasa atas individu jadi terasa sudah tidak lagi ditolerir, karena ditentang dan dianggap tidak memiliki peran yang berarti; manusia perorangan hanya bisa tunduk pada kekuasaan internal atas dirinya sendiri. Kondisi inilah yang kemudian menghantarkan para eksistensialis kembali pada diri manusia sebagai pusat yang sejati dan sebagai satu-satunya kekuasaan yang berlegitimasi.
Eksistensialisme sangat jelas memang mengacu pada fenomena kekuasaan kongkret yang tengah terjadi dan menjerat dirinya. Sehingga kemudian membenarkan pemenungan filosofis pada kenyataan (manusia) yang kongkret. Pemenungan rasionalitas, sebagaimana ungkapkan Rene Descartes, yaitu ‘Cogito Ergo Sum’ (Saya berfikir maka saya ada) kemudian di balik secara ekstrem oleh eksistensialis dengan pernyataan: ‘Saya ada maka saya berfikir’. Para eksistensialis tentunya menekankan perhatiannya pada subjek dan bukan pada objek. Hal ini tentu sangat berbeda dengan fenomenologi yang lebih menekankan hubungan subjek dan objek pengetahuan dengan intensionalitasnya maupun dengan filsafat bahasa yang lebih menyoroti objek.
Tidak berlebih bila para eksistensialis membedakan antara eksistensi dan esensi; sesuatu yang selalu menjadi perbicangan menarik dalam dunia filsafat. Eksistensi berarti keadaan yang aktual, yang terjadi dalam ruang dan waktu. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, berbuat menjadi dan merencanakan. Sedangkan esensi merupakan sesuatu yang membedakan antara suatu benda dan corak-corak benda lainnya. Esensi adalah yang menjadikan benda itu seperti apa adanya, atau yang dimiliki secara umum oleh bermacam-macam benda. Pertama-tama adalah esensi, baru kemudian muncul eksistensi. Asumsi inilah yang dipenggal habis oleh para eksistensialis, dengan pernyataannya bahwa ‘eksistensi sebelum esensi’, atau mudahnya ‘eksistensi mendahului esensi’.
Para eksistensialis sebenarnya berusaha menemukan kebebasan manusia dengan menunjukkan fakta betapa benda-benda (objek) tidak memiliki makna apa-apa tanpa keterlibatan manusia. Ini artinya bahwa manusia merupakan titik sentrum dari segala relasi, dan sebagai subjek dengan pengalamannya. Dengan kesadaran keberadaannya sehingga esksistensi manusia itu diakui. Sedangkan 'cara berada' manusia yaitu melalui dua cara, yakni ‘berada pada dirinya’ dan ‘berada untuk dirinya’.[]