Prawacana
Mahasiswa menyandang sebagai kaum intelektual. Memang sebutan ini telah lama melekat dipundaknya dalam arus sejarah bergulirnya gerakan mahasiswa dalam upaya memberikan kontribusi bagi suatu tatanan bangsa menuju lebih baik. Namun demikian, akhir-akhir ini pola pikir dan orientasi mahasiswa mulai bergeser. Mahasiswa hari ini telah tergiring pada penalaran normatif akademis bahwa kuliah itu sekadar menggugurkan kewajiban dan hanya untuk mengejar nilai akademik, cepat lulus, dan dapat ijazah untuk melamar kerja. Lain halnya dengan mahasiswa kritis-progresif, di mana dia berpandangan bahwa seperangkat pengetahuan yang ia miliki dari hasil dunia akademik maupun luar akademik dijadikannya sebagai steering commite untuk melabrak hegemoni intelektual yang beku, kaku, dan mengasingkan rasionalitas. Tipologi mahasiswa dengan kesadaran ini biasanya terbentuk karena ia bergumul dan terdidik dalam dunia organisasi, bersentuhan langsung dengan berbagai literatur buku, aktif progresif dalam ruang-ruang diskusi dan mediasi intelektual. Mereka sadar bahwa mahasiswa dituntut agar memiliki seperangkat pengetahuan dan bernalar kritis, sehingga ia menjadi sosok mahasiswa intelektual yang cerdas dan responsif akan realitas sosialnya. Mahasiswa dengan predikat intelektual progresif, maka lahirlah narasi berfikir dalam dirinya bahwa pelbagai teori pengetahuan menjadi penting untuk ia konsumsi dan kontekstualisasi agar seroda dengan kalam kehidupan yang ia jamah.
Mahasiswa yang bergerak pada ranah intelektual, sebenarnya lebih mendekati, apa yang disebut Antonio Gramsci sebagai intelektual-organik[1] yang mampu mempertautkan antara teori dan praksis. Sedangkan oleh Mazhab Frankfurt[2] dikatakan lebih berguna bagi kehidupan, dan untuk memecahkan berbagai problem sosial masyarakat di mana ia berpijak. Pada ranah ini, fenomena kaum intelektual sejatinya bersifat progresif-revolusioner, meskipun lebih diwujudkan dalam revolusi pemikiran, dan bukan revolusi fisik. Perihal inilah yang menjadikan sosok kaum intelektual sebagai sosok manusia yang berperilaku, bersikap, dan berkarakter kritis sehingga kaum intelektual di sini menyatakan pikiran dan kritiknya secara jelas dan transformatif.
Insan intelektual dengan beberapa kualifikasi sebagaimana disebutkan di atas bukanlah monopoli pendidikan formal, terutama dunia kampus. Telah banyak kaum intelektual terlahir dari luar benteng menara gading kampus; karena mereka mampu mengembangkan pemikiran secara mandiri hingga mencapai kemampuan pemikiran dan perilaku intelektual. Pertanyaan kemudian, di manakah posisi kader PMII yang dikenal sebagai sosok mahasiswa intelektual yang kritis dan bahkan transformatif dalam setiap tindakan dan perilaku organisasi?
Jawaban pertanyaan tersebut sangat berpengaruh terhadap pembentukan wajah gerakan PMII dan orientasi pengembangan yang dilakukan. Dominasi disiplin ilmu-ilmu sosial sebagai amunisi dan asupan gizi intelektual kader tentu sangat berpengaruh dalam cara pandang, titik pijak filosofis dan teologis, serta pokok-pokok program dan gerakan yang dilakoninya. Dalam konteks pencerminan suatu perubahan yang diinginkan—apapun yang dihasilkan oleh warga PMII—merupakan hasil serius dari upayanya dalam memberikan suatu tatanan organisasi agar menjadi lebih baik. Adanya ruang yang begitu luas untuk melakukan aktualisasi diri telah menghasilkan suatu komunitas yang kritis, apresiatif, dan dinamis baik dalam melakukan eksplorasi gagasan dan pemikiran, maupun dalam ranah gerakan. Arah pemikiran dan langkah konkrit gerakan PMII tentu sangat erat kaitannya dengan masalah paradigma yang dibangun dan dipakai oleh warga PMII. Sebab paradigma merupakan “kaca mata” yang memiliki seperangkat asumsi, nilai, konsep, dan praktik yang memengaruhi cara berfikir, bersikap, dan bertindak.
Pilihan paradigma PMII sampai hari ini masing menggunakan Paradigma Kritis Transformatif (PKT). Dalam perjalanan paradigma PMII, PKT merupakan roll models paradigma yang dijadikan PMII sebagai alat analisa atas problem solver dan kompleksitas permasalahan zaman yang dihadapi. Penggunaan PKT sebagai alat analisa PMII bukanlah tanpa alasan, dan tentu ada pra kondisi yang menjadikannya muncul sebagai soft ware pergerakan. Tercatat dalam sejarah PMII, di samping PKT sebagai pilihan paradigmatik, ada paradigma yang mendahuluinya yaitu “Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran”. Paradigma Arus Balik dilatarbelakangi oleh kondisi sosio-politik bangsa (rezim Orba) yang represif dan sangat tidak memihak terhadap, apa yang disebut PMII dengan kaum mustadl’afin (proletariat). Paradigma Arus Balik bernada sangat frontal dalam mendengungkan anti kemapanan―lebih jelasnya anti ketidakadilan dan penindasan. Gerakan perlawanan Paradigma Arus Balik ini dikemudian hari tergantikan dan dilanjutkan dengan “Paradigma Kritis Transformatif”. Intinya, dari kedua model paradigma yang dianut dan dipakai PMII sebagai pisau analisa sosial tersebut merupakan bentuk ikhtiar dan jawaban PMII atas realitas zamannya.
Definisi Paradigma
Secara etimologi, paradigma berasal dari bahasa Inggris yaitu paradig yang berarti bentuk sesuatu, model, dan pola (type of something, model, pattern). Dalam bahasa Yunani, paradigma berasal dari kata para (di samping, di sebelah), dan kata dekynai (memperlihatkan, yang berarti; model, contoh, arketipe, ideal). Sedangkan secara terminologi, paradigma berarti a total view of a problem; a total outlook; not just a problem in isolation; paradigma adalah cara pandang atau cara berfikir tentang sesuatu.[3] Jadi, paradigma dapat dimaknai sebagai cara memandang sesuatu. Dalam ilmu pengetahuan paradigma berarti model, pola, ideal. Dari model-model ini, fenomena yang dipandang dan diperjelas. Paradigma dalam totalitas premis-premis teoretis dan metodologisnya memberikan, menentukan, dan mendefinisikan suatu studi ilmiah konkrit, juga sebagai dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.[4]
Paradigma adalah teori-teori yang berhasil secara empiris, yang mulanya diterima dan dikembangkan dalam sebuah tradisi penelitian sampai kemudian ditumbangkan oleh paradigma yang lebih progresif secara empiris.[5] Paradigma juga merupakan seperangkat asumsi teoretis umum dan hukum-hukum, serta teknik-teknik aplikasi yang dianut secara bersama oleh para anggota suatu komunitas ilmiah.[6] Karenanya, dalam konteks ini paradigma dimaknai dengan suatu model yang dipakai ilmuwan dalam kegiatan keilmuannya untuk menentukan jenis-jenis persoalan yang perlu digarap; dengan metode apa, dan melalui prosedur yang bagaimana penggarapan itu harus dilakukan.[7]
Berdasarkan rumusan definisi paradigma di atas, secara sederhana bahwa paradigma dalam perspektif PMII dapat dirumuskan dengan titik pijak untuk menentukan cara pandang, menyusun sebuah teori, menyusun pertanyaan, dan membuat rumusan mengenai suatu masalah, serta medan gerakan yang harus dilakukan oleh PMII. Atau dengan kata lain, istilah paradigma bagi PMII merujuk pada bagaimana PMII itu “melihat realitas”. Lebih sederhana lagi, paradigma tak ubahnya seperti kaca mata untuk melihat, memaknai, dan menafsirkan realitas, terutama dalam kasus PMII yaitu realitas sosial masyarakat. Oleh karenanya, jika paradigma diaplikasikan PMII untuk melihat realitas sosial masyarakat secara massif, maka kemudian PMII akan menuai respons berupa arahan dalam bergerak.
Sejarah dan Jenis Paradigma
Konsep paradigma populer karena pemikiran Thomas Kuhn, dalam bukunya “The Struktur of Scientific Revolution”, ketika Kuhn menjelaskan tentang revolusi ilmu pengetahuan. Menurutnya, ilmu pengetahuan berkembang dari masa awal pembentukan, kemudian memperoleh pengakuan, dan selanjutnya berkembang menjadi paradigma. Pada tahap ini teori ilmu pengetahuan diakui sebagai kebenaran sekaligus dijadikan acuan masyarakat untuk merumuskan pertanyaan maupun cara menjawab. Pada saat ini pula sebuah teori ditempatkan sebagai paradigma yaitu suatu pandangan mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) dari suatu cabang ilmu. Normal science adalah periode berikutnya, yang mana dalam hal ini terjadi akumulasi ilmu pengetahuan, dan para ilmuwan pun bekerja berdasar pada paradigma yang berpengaruh di dalamnya, sedangkan asumsi yang mendasarinya dijadikan dasar dalam memahami kenyataan.
Dalam perkembangan selanjutnya, sejalan dengan perkembangan masyarakat apa yang diyakini sebagai kebenaran, kemudian mengalami kekacauan (anomali), karena asumsi paradigma lama sudah tidak mampu lagi menjawab persoalan yang muncul. Akibatnya timbul suatu krisis karena validitas paradigma lama benar-benar tidak dapat dipertahankan. Pada saat inilah kemudian terjadi, apa yang menurut Kuhn dengan masa terjadinya “revolusi ilmu pengetahuan”. Pada saat revolusi ini terjadi, maka asumsi dan dasar pemikiran paradigma yang berlaku tidak lagi dianggap relevan untuk merumuskan pertanyaan maupun mengajukan jawaban terhadap fenomena yang ada. Setelah terjadi revolusi kemudian ditemukan teori baru. Nah, dari sinilah dimulai munculnya suatu paradigma baru.[8]
Selanjutnya, dengan mengambil konsep jenis paradigmanya William D. Perdue, dalam ilmu sosial, dikenal tiga jenis utama paradigma yang merupakan sebuah sintesis perkembangan paradigma sosial.[9]
1. Paradigma keteraturan (order paradigm)
Inti dari paradigma ini di mana masyarakat dipandang sebagai sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan sistemik. Asumsi dasarnya bahwa setiap struktur sosial merupakan fungsional terhadap struktur lainnya. Kemiskinan, peperangan, dan perbudakan sebagai misal, dianggap sebagai sesuatu yang wajar, karena fungsional bagi masyarakat. Secara eksternal, paradigma ini dituduh ahistoris, konservatif, dan pro status quo, karenanya anti perubahan. Sebab paradigma ini mengingkari hukum kekuasaan bahwa “setiap ada kekuasaan senantiasa ada perlawanan”. Dari paradigma keteraturan inilah kemudian melahirkan sebuah teori tentang strukturalisme-fungsional.[10]
2. Paradigma konflik (conflic paradigm)
Secara konseptual paradigma ini menyerang order paradigm karena mengabaikan kenyataan bahwa di setiap unsur-unsur sosial di dalamnya mengandung kontradiksi-kontradiksi internal yang menjadi prinsip penggerak perubahan. Bagi paradigma konflik perubahan itu tidak selalu gradual (bertahap), tapi juga revolusioner. Dalam jangka panjang sistem sosial harus mengalami konflik sosial dalam lingkar setan (vicious circle) tak berujung. Pangkal kritik inilah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi paradigma konflik, di mana konflik itu dipandang sebagai sesuatu yang inhern dalam setiap komunitas, tak mungkin untuk dikebiri, apalagi dihilangkan sebab konflik itu menjadi bagian atau instrumen perubahan.
3. Paradigma plural (plural paradigm)
Paradigma ini lahir adalah berangkat dari kontras atau perbedaan antara paradigma keteraturan dan paradigma konflik. Mudahnya, lahirnya paradigma plural merupakan suatu upaya membangun sintesis dari order paradigm dan conflic paradigm. Asumsi dasar paradigma plural di mana manusia itu dipandang sebagai sosok yang independen dan bebas, serta memiliki otoritas atau otonomi untuk menafsirkan realitas sosial yang ada di sekitarnya.
Dari ketiga paradigma tersebut, merupakan pijakan-pijakan untuk membangun paradigma baru. Dari optik pertumbuhan teori sosiologi telah lahir paradigma kritis setelah dilakukan elaborasi antara paradigma plural dengan paradigma konflik. Paradigma plural memberikan dasar bagi paradigma kritis terkait asumsinya bahwa manusia itu sebagai sosok yang independen dan bebas, serta memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas. Sedangkan paradigma konflik mempertajam paradigma kritis dengan asumsinya tentang adanya pembongkaran atas dominasi suatu kelompok pada kelompok yang lain.
Pilihan Paradigmatik PMII
PMII sebagai organisasi kemahasiswaan, keislaman, dan keindonesiaan seharusnya memiliki pijakan konsepsional bagi setiap langkah organisasi, baik itu langkah pemikiran maupun gerakan, sehingga paradigma bagi PMII menjadi suatu pilihan. Paradigma bagi PMII dijadikan sebagai totalitas konstalasi pemikiran, keyakinan, nilai, persepsi, dan gerakan yang menjadi pijakan dalam menyelesaikan persoalan sesuai dengan konsensus komunitas yang menjalaninya dengan latar sosial dalam dimensi ruang dan waktu. Intinya, paradigma bagi PMII diberlakukan sebagai kerangka berfikir dan alat analisa (tool of analis) dalam memandang persoalan.
Paradigma dipahami sebagai konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan, atau prosedur yang dikembangkan dalam rangka memahami kondisi dan keadaan sosial untuk memberikan konsepsi dalam menafsirkan realitas sosial. Paradigma merupakan konstelasi dari unsur-unsur yang bersifat metafisik, sistem kepercayaan, filsafat, teori, maupun sosiologi dalam kesatuan kesepakatan tertentu untuk mengakui keberadaan sesuatu yang baru. Ringkasnya, paradigma adalah model atau pegangan untuk memandu dalam mencapai tujuan. Paradigma juga merupakan pegangan bersama yang dipakai dalam berdialog dengan realitas. Karenanya, paradigma disebut sebagai prinsip-prinsip dasar yang akan dijadikan acuan dalam segenap pluralitas strategi sesuai lokalitas masalah atau medan juang.[11]
Dengan memahami konsepsi makna pradigmatik di atas, diharapkan tidak terjadi dikotomi model gerakan di dalam PMII, seperti perdebatan yang tidak pernah usai antara “model gerakan jalanan” dengan “model gerakan pemikiran”. Model gerakan jalanan lebih menekankan pada praksis, dengan asumsi percepatan transformasi sosial; sebab model gerakan ini terjun langsung pada basis-basis masyarakat yang menjadi korban perubahan sosial. Sedangkan model gerakan pemikiran adalah melalui eksplorasi teoretik, kajian-kajian, diskusi, seminar, dan ruang-ruang mediasi intelektual atau pertemuan ilmiah lainnya, termasuk penawaran konsep pada pihak-pihak yang memegang kebijakan baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Perbedaan antara kedua model gerakan ini tidak hanya terlihat dalam praksis gerakan, melainkan juga pada implikasi suatu objek atau lahan garapannya. Sebab apa yang dianggap penting dan perlu oleh gerakan jalanan belum tentu dianggap penting dan perlu bagi gerakan intelektual, begitu pun sebaliknya. Walaupun pada dasarnya bahwa kedua model gerakan ini merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisah satu sama lain.
Memang, dalam sejarah gerakan mahasiswa selalu diwarnai perdebatan model gerakan jalanan dengan gerakan intelektual. Begitu pun juga dalam gerakan PMII selalu diwarnai kontradiksi antara “gerakan politik-struktural” dengan “gerakan intelektual-kultural”. Harusnya kedua kekuatan model gerakan ini tidak perlu dipertentangkan, karena jika terus mempertentangkannya justru akan memperlemah gerakan-gerakan yang diperankan PMII. Dalam konteks masalah ini sehingga upaya untuk mencari prinsip dasar yang menjadi acuan segenap model gerakan PMII menjadi sangat urgen untuk diformulasikan. Tujuannya adalah agar pluralitas setinggi apapun dalam model atau strategi gerakan PMII tidak menjadi masalah, sebaliknya justru secara sinergis bisa saling menguatkan dan mendukung satu sama lain.
Tercatat dalam sejarah bergulirnya paradigma PMII, di mana paradigma dalam PMII baru muncul yaitu masa periodesasi kepimimpinan Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PB PMII pada 1994-1997)[12] istilah paradigma secara faktual dan operasional dijadikan sebagai pijakan untuk melihat, menganalisa, dan menyikapi suatu persoalan.[13] Konsepsi teoretik paradigma ini dimuat dalam buku berjudul “Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran”, atau yang dikenal dengan “Paradigma Pergerakan”. Paradigma ini disambut massif oleh seluruh kader PMII di seluruh Indonesia, sebab paradigma ini dirasa mampu menjawab kegelisahan kader pergerakan yang gerah dengan situasi sosial politik nasional. Dalam menjawab kegelisahan tersebut PMII mengusung sejumlah gagasan mengenai demokratisasi, civil society, dan penguatan masyarakat di hadapan negara yang totaliter sebagai upaya aktualisasi dan implementasi atas nilai-nilai atau ajaran agama yang diyakini. Medan politik Orde Baru pada masa itu benar-benar dijadikan PMII sebagai arena subur bagi sikap perlawanan terhadap negara. Sikap perlawanan ini didorong oleh konstruksi teologi antroposentrisme-transendental,[14] yang menekankan posisi khalifatullah fil ardh sebagai perwujudan penghambaan kepada Allah (‘abdullah). Sikap perlawanan ini juga didorong oleh dua tema pokok yaitu antara tidak menyetujui adanya otoritas penuh yang melingkupi otoritas masyarakat dengan menentang ekspansi dan hegemoni negara terhadap keinginan bebas individu maupun masyarakat. PMII berada digaris terdepan sebagai organisasi perlawanan terhadap penguasa. Lebih dari itu, di antara organisasi mahasiswa Islam PMII menjadi organisasi paling progresif dan radikal dalam melakukan dekonstruksi teks-teks agama. Intinya, PMII mengambil peran kritisisme terhadap negara, dan bahkan sampai pada level yang sangat radikal. Tak heran PMII pada masa itu dicap sebagai gerakan kiri, hingga memicu ketegangan antara PMII dan ABRI yang dilansir di beberapa media.[15]
Selain Paradigma Pergerakan sebagai kaca mata pandang PMII dalam melihat negara dan realitas sosial masyarakat, selanjutnya PMII memperkenalkan “Paradigma Kritis Transformatif” di saat PMII dipimpin Syaiful Bahri Anshori (Ketua Umum PB PMII pada 1997-2000). Prinsip dasar PKT ini sebenarnya tidak jauh beda dengan Paradigma Pergerakan, justru PKT ini adalah sebagai turunannya. Hanya saja yang membedakan antara keduanya terletak pada pendalaman teoretik paradigmanya, di mana PKT lebih mengambil inspirasi dan spirit dari teori kritis Mazhab Frankfurt, dan nalar kritis para intelektual muslim seperti Abed Al-Jabiri, Muhammad Arkoun, Hassan Hanafi, Asghar Ali Engineer, dan lainnya. Sementara di lapangan terdapat pola gerakan yang sama dengan periode PMII sebelumnya, yakni gerakan PMII terkonsentrasi pada aktivitas jalanan dan wacana-wacana kritis. Semangat perlawanan oposisi, baik dengan negara maupun dengan kapitalisme global masih sangat mewarnai gerakannya.
Selanjutnya, kedua paradigma PMII tersebut mendapat ujian berat ketika Gus Dur terpilih menjadi Presiden pada 1999. Para aktivis PMII dan aktivis civil society umumnya mengalami kebingungan karena Gus Dur, sebagai tokoh dan simbol civil society di Indonesia, naik ke tampuk kekuasaan. Pada situasi ini, PMII benar-benar terperosok pada “situasi antara”. Maksudnya, apakah PMII akan tetap bertahan dalam kedudukannya sebagai kekuatan sipil yang independen, kritis, pengimbang pemerintah, bahkan kalau perlu menjadi kekuatan oposisi, ataukah PMII harus ikut menikmati kemenangan mentor-nya (Gus Dur) yang telah duduk di kursi kekuasaan. Meski demikian, secara nasional sikap PMII yaitu masa periodesasi Nusron Wahid, secara tergas dan terbuka mengambil sikap sebagai pendukung demokrasi dan program reformasi yang secara konsisten dijalankan Presiden Gus Dur, serta sejalan dengan berbagai organisasi yang pro demokrasi.[16]
Berangkat dari uraian dialektika sejarah paradigma PMII di atas, dapat kita ambil narasi gerakan sebagai pilihan pradigmatik PMII, bahwa sebenarnya PMII mengidealkan masyarakat yang secara sosial-politik terbuka bagi terjadinya dialektika secara bebas dan egaliter demi terwujud free market of ideas (pasar bebas ide). Ini artinya bahwa bagi PMII tidak ada otoritas tunggal suatu kebenaran konsep maupun gagasan, sebab setiap konsep gagasan akan diuji dan diseleksi dalam ruang publik sebagai arena transaksi wacana. Dalam perspektif sosiologi pengetahuan, di mana otoritas kebenaran tunggal tidaklah memiliki dasar. Karena setiap pemikiran seharusnya diposisikan sebagai kebenaran yang terbuka dan juga berada di tengah masyarakat yang terbuka (open society).[17] Sebuah pemikiran, apalagi yang berkaitan dengan tema-tema politik dan sosial, tidaklah berada pada ruang vakum, melainkan ditentukan oleh atmosfir sosial tertentu. Karenanya masyarakat juga harus open society, yaitu sebagai masyarakat yang terbuka bagi adanya kritik yang bebas, serta adanya dialektika antara nilai, ideologi, dan pemikiran. Situasi demikianlah yang akan menghasilkan ide-ide cemerlang yang dapat membentuk rekayasa sosial sebagaimana yang diangan-angankan bersama dalam PMII.
Oleh sebab itu, pilihan paradigmatik PMII adalah sebuah formulasi paradigma dalam menghadapi realitas kebangsaan dan kemanusiaan. Pilihan paradigma dimaksud adalah paradigma yang didorong oleh strategi dan memiliki suatu tujuan, bukan paradigma yang dianggap sebagai sesuatu yang baku atau paten. Ini artinya, ketika paradigma dijadikan kaca mata bagi PMII dalam medan pertempuran, dan jika medan pertempuran itu telah berganti, maka strategi pun harus berbeda, bukan berfikir normatif dengan mempertahankan paradigma lama. Dalam konteks ini, sehingga PMII selalu berkeinginan untuk mengembalikan pada khittah gerakan, baik khittah gerakan mahasiswa, gerakan pemikiran, maupun gerakan moral (moral force). Di samping itu, PMII juga memerlukan kaca mata pandang yang utuh dan komprehensif yang bersumber dari nilai-nilai dasar yang dimiliki PMII. Dengan model paradigma seperti ini diharapkan segenap pluralitas pendekatan perjuangan PMII bisa menjadi spirit dan kekuatan sinergis dalam upaya mewujudkan peran strategis PMII bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan secara kualitatif.
Strategi Paradigma Gerakan PMII
Melihat kenyataan dan realita hari ini di mana era demokrasi yang ditopang dengan media teknologi dan informasi yang sangat canggih dan terbuka, sehingga dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi sangat terbuka dan berubah signifikan; keadaan seperti ini berbeda sangat jauh jika di bandingkan beberapa dekade terakhir, khususnya pada era 90-an. Jika di era sebelumnya pemerintah sangat sentralistik, membungkam kebebasan berpendapat, peluang mengkritik penyelenggara pemerintah dibrendel habis-habisan dengan alasan kedinamisan dan kelancaran pembangunan, akibatnya aspirasi masyarakat dari bawah ke atas tidak tersalurkan. Akan tetapi, era demokrasi hari ini menemukan momentumnya karena era keterbukaan informasi yang mana semua unsur lapisan masyarakat bebas untuk berekspresi, peluang bebas menyalurkan aspirasi, serta kontrol terhadap penyelenggara negara pun sangat terbuka.
Namun demikian, kondisi dan juga situasi di era keterbukaan informasi seperti sekarang ini justru membuat hilangnya peran dan fungsi sentral mahasiswa, begitu pun juga mahasiswa PMII sebagai kelompok agen of change, parlemen jalanan, dan penyambung lidah rakyat, yang di beberapa dekade sebelumnya memiliki peran vital namun kini berada dalam keadaan “ada” tetapi “tidak dianggap ada”. Banyak kalangan menilai PMII tidak memiliki bergaining wacana dan gerakan yang bisa dijadikan nilai tawar bagi keberadaan mahasiswa hari ini.[18] Dengan situsi seperti inilah sehingga paradigma gerakan sangat dibutuhkan PMII sebagai dasar bagi instrumen-instrumen gerakan melalui kerangka berfikir dan alat analisa dalam memandang berbagai persoalan, mulai dari ranah filosofis hingga ranah praksisnya.
Sejarah bangsa kita mencatat bahwa gerakan mahasiswa adalah pelopor dan menjadi garda terdepan (avant garde) perjuangan menegakkan demokrasi.[19] Karena itu, PMII harus tetap sadar bahwa di manapun ketika kekuasaan tidak dikontrol oleh yang memberi, niscaya tak lama ia akan segera menjadi bumerang yang menikam balik; otoritas kekuasaan muncul dan rakyat ditindas. Kesadaran ini harus selalu dalam paradigma PMII beriiring dengan pembangunan demokrasi di Indonesia.
Kesadaran yang kritis dan utuh mesti ada dalam paradigma PMII dengan mengacu pada sebuah proses di mana PMII itu bukanlah sebagai resipen umum saja, sebagai objek saja, dan sebagai partisipan saja, melainkan PMII itu sebagai subjek organisasi yang mengetahui serta menyadari secara mendalam realitas sosio kultural dan politik yang membentuk kehidupan bangsa ini. Kesadaran ini jelas lebih dari sekadar prise de conscience saja, namun harus menghasilkan solusi bagi setiap kesadaran yang salah arah. Kesadaran akan hal ini mengimplikasikan penempatan bagi kader PMII yang telah sadar secara kritis pada realitas yang tidak lagi penuh dengan mitos. Oleh sebab itu, strategi gerakan dalam paradigma PMII harus tertuju pada empat tujuan.
1. Membangun kesadaran kritis
Kesadaran kritis adalah sebagai puncak potensi kesadaran, dan ini mesti dikembangkan dalam paradigma PMII seiring dan sepanjang proses demokrasi di negeri ini masih berjalan. PMII harus terbangun kesadaran penuh atau kesadaran yang kritis untuk mencerna makna-makna politik yang ada. Ini artinya bahwa demokrasi dalam kaca mata PMII bukanlah demokrasi untuk kepentingan penguasa, melainkan untuk kepentingan rakyat. Sebab jika rakyat tidak pernah diberi ruang untuk mendialogkan kebijakan-kebijakan kekuasaan yang ada, maka mustahil bagi kita untuk menyebutnya sebagai demokrasi. Pada level gerakan PMII yang memiliki kesadaran semacam ini, merupakan investasi bagi demokrasi di Indonesia masa depan.
2. Membangun dialog dengan masyarakat
Paradigma gerakan PMII harus terus-menerus mendialogkan dengan rakyat dan kebutuhan-kebutuhannya. Mesti disadari bahwa demokrasi di Indonesia adalah “demokrasi belajar” yang sekali waktu biasanya mengorbankan rakyat sebagai tumbal. Karenanya proses demokrasi di negeri ini oleh PMII harus tetap dikontrol, sebab isu demokrasi tampaknya merupakan kebutuhan rakyat sepanjang zaman. Satu-satunya isu yang bisa digunakan untuk melawan praktik politik yang menindas adalah demokrasi. Substansinya adalah perjuangan untuk hak asasi manusia, dan pembebasan rakyat kecil dari ketertindasan baik secara ekonomi maupun politik.
3. Membanguan idealisme kader
Berbicara tentang output kualitas kader PMII, langkahnya adalah dengan menyelamatkan idealisme kader menjadi hal urgen dan fundamental. Karena, organisasi pengkaderan semacam PMII ini, maka para alumninya mesti untuk dikontrol dengan perangkat-perangkat nilai perjuangan organisasi. Apakah perilaku para alumninya masih sama ketika sudah masuk ke dalam sistem kekuasaan atau di luar kekuasaan. Maksudnya, apakah alumni PMII masih setia memperjuangkan keadilan dan memperjuangkan rakyat atau tidak. Di sinilah peran penting menajemen pelapisan kader gerakan agar tidak terjadi dikotomi gerakan dengan perjuangan; yang dengan demikian mematikan radikalisme gerakan mahasiswa hari ini.
4. Melawan kapitalisme global
Dalam konteks hari ini, penindasan yang lebih sadis tidak dilakukan oleh kekuasaan bangsa sendiri, akan tetapi oleh bangsa lain (penindasan kapitalisme global). Ini juga salah satu asumsi yang mesti diwaspadai bagi paradigma gerakan PMII. Bagaimana tangan kapitalisme memberi rambu-rambu penindasan untuk rakyat melalui tangan-tangan kekuasaan negara. Karenanya, paradigma PMII harus mampu menyiapkan seperangkat gerakan cantik yang mampu menghadapi penindasan global ini.
Daftar Pustaka
Agger, Ben. (2016). Teori Sosial Kritis; Kritik, Penerapan dan Implikasinya, Judul Asli: Critical Social Theories: An Itroduction. Terj. Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Akrom, Mizanul. (2019). Pendidikan Islam Kritis, Pluralis dan Kontekstual. Bali: Mudilan Group.
Alfas, Fauzan. (2015). PMII dalam Simpul-Simpul Sejarah Perjuangan. (Malang: PB PMII & Intimedia.
Bagus, Lorens. (2002). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Dhakiri, Muh Hanif & Rahman, Zaini. (2000). Post-Tradisionalisme Islam; Menyingkap Corak Pemikiran dan Gerakan PMII. Jakarta: Isisindo Mediatama.
Haramain, A. Malik. (2000). PMII di Simpang Jalan?. Yoyakarta: Pustaka Pelajar.
Hifni, Ahmad. (2016). Menjadi Kader PMII. Tangerang: Moderate Muslim Society.
Husain, Heriyanto, (2003). Paradigma Holistik; Dialog Filsafat, Sains dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead. Jakarta: Teraju.
Kuhn, Thomas S. (2012). The Structure of Scientific Revolution; Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Terj. Tjun Surjaman. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Perdue, William D. (1986). Sosiological Theory; Explanation, Paradigm and Ideology. California: Mayfield Publishing Company.
Saifullah. (2007). Refleksi Sosiologi Hukum. Bandung: Refika Aditama.
Soetrisno dan Hanafie, SRDm Rita. (2007). Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi Offset.
[1] Intelektual organik yaitu jenis intelektual yang bekerja untuk komunitasnya, hidup bersama-sama, dan menciptakan perubahan bersama pula. Secara metodologi, intelektual organik memadukan kerja teoretik dan aktivitas praktik. Jurang pemisah antara ide dan materi diatasi dengan kerja-kerja yang berorientasi pada perubahan sosial secara kolektif, serta sadar akan medan geraknya.
[2] Istilah Mazhab Frankfurt diberikan kepada sekelompok filsuf yang memiliki afiliasi dengan Sekolah Frankfurt, atau Institusi Penelitian Sosial (Institute for Social Research), Frankfurt di Jerman, dan pemikir-pemikir lainnya yang dipengaruhi oleh mereka. Sebagian di antara filsuf terkenal yang tergabung di dalamnya antara lain yaitu Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Herbert Marcuse, Walter Benjamin, Jurgen Habermas, dlsb. Sebenarnya para pemikir ini tidak pernah mendefinisikan diri mereka ke dalam sebuah kelompok atau mazhab, akan tetapi penamaan ini muncul secara retrospektif. Lihat: Ben Agger, Teori Sosial Kritis; Kritik, Penerapan dan Implikasinya, Judul Asli: Critical Social Theories; An Itroduction, terj. Nurhadi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2016), hlm. 157―158.
[3] Mizanul Akrom, Pendidikan Islam Kritis, Pluralis dan Kontekstual, (Bali: Mudilan Group, 2019), hlm. 85.
[4] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 779.
[5] Soetrisno dan SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Andi Offset, 2007), hlm. 32.
[6] Husain Heriyanto, Paradigma Holistik; Dialog Filsafat, Sains dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 28.
[7] Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm. 84.
[8] Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution; Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, terj. Tjun Surjaman, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 10.
[9] William D. Perdue, Sosiological Theory; Explanation, Paradigm and Ideology, (California: Mayfield Publishing Company, 1986), hlm. 24.
[10] Teori yang melihat bahwa masyarakat sebagai sebuah keseluruhan sistem yang bekerja untuk menciptakan tatanan dan stabilitas sosial. Teori ini sering disebut juga dengan perspektif fungsionalisme yang dicetuskan oleh Emile Durkheim.
[11] Fauzan Alfas, PMII dalam Simpul-Simpul Sejarah Perjuangan, (Malang: PB PMII & Intimedia, 2015), hlm. 289.
[12] Sebelumnya, organisasi PMII belum memiliki paradigma yang secara definitif menjadi acuan gerakan. Cara pandang dan sikap warga pergerakan masih mengacu pada Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII, sehingga upaya merumuskan dan membangun kerangka nilai yang dapat diukur secara sistematis sering dihadapkan pada berbagai penafsiran atas nilai-nilai yang menjadi acuan, yang akhirnya berujung pada terjadinya keberagaman cara pandang atau tafsir atas nilai tersebut.
[13] Ibid., hlm. 290.
[14] Konsep teologi yang menggabungkan Tuhan dan manusia menjadi pusat sekaligus. Intinya, teologi antroposentrisme-transendental adalah konsep teologi yang berkeinginan mengorientasikan visi teologis pada problem-problem kemanusiaan, dan bukan semata untuk meneguhkan kekuasaan Tuhan.
[15] Muh Hanif Dhakiri & Zaini Rahman, Post-Tradisionalisme Islam; Menyingkap Corak Pemikiran dan Gerakan PMII, (Jakarta: Isisindo Mediatama, 2000), hlm. 13.
[16] Fauzan Alfas, Op, Cit., hlm. 293.
[17] Open Society adalah sebuah gagasan yang diusung oleh Karl Raimund Popper, dalam bukunya “The Open Society and Its Enemies”. Open Society adalah sebuah gagasan yang menentang segala bentuk penindasan dan totalitarianisme, sehingga akan terwujud apa yang disebut masyarakat terbuka, yaitu masyarakat yang mengutamakan kebebasan namun tetap dalam koridor hukum dan etika.
[18] Ahmad Hifni, Menjadi Kader PMII, (Tangerang: Moderate Muslim Society, 2016), hlm. 150―151.
[19] A. Malik Haramain, PMII di Simpang Jalan?, (Yoyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 6.