Prawacana
Indonesia adalah negara yang memiliki berbagai ragam budaya dan adat istiadat yang melekat dengan ragam etnis, ras, suku, bahasa, serta agama yang majemuk. Bangsa ini digambarkan sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau terbesar di dunia, yang mencapai 17.667 pulau besar dan kecil. Dengan jumlah pulau sebanyak ini, wajar jika kemajemukan masyarakat Indonesia adalah keniscayaan. Sebagai masyarakat bangsa yang majemuk, namun warga negara Indonesia dapat disatukan dengan bahasa nasional (bahasa Indonesia); meskipun dalam kenyataannya terdapat 350 kelompok etnis, adat-istiadat, dan cara tersendiri sesuai dengan kondisi lingkungan tertentu.[1]
Inilah anugerah keanekaragaman bagi bangsa kita, dan para pendiri bangsa (founding father) tentu sangat menyadari keanekaragaman dan keindonesiaan yang akan dibentuk, serta bertekad untuk bersemboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Dengan semboyan ini sehingga keragaman sebagai keniscayaan yang tak terelakkan. Dalam konteks pendidikan, melupakan keragaman adalah celah yang tak terperhatikan yang justru akan membawa pada perpecahan dan masalah-masalah sosial. Karenanya, pencarian alternatif pendidikan mutlak diperlukan, karena pendidikan dipandang sebagai faktor penting dalam menumbuhkembangkan kesadaran akan nilai-nilai multikutural, yakni bentuk pendidikan yang berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkannya kepada generasi berikutnya akan tata nilai, memupuk persahabatan antarmanusia yang beranekaragam suku, ras, agama, mengembangkan sikap saling memahami, dan mengerjakan keterbukaan serta dialog.[2] Pendidikan dimaksud adalah pendidikan multikulturalisme yaitu pendidikan yang menghargai perbedaan agar tidak menjadi sumber konflik dan perpecahan. Karena sikap saling toleransi inilah yang akan menjadikan keberagaman yang dinamis, di mana kekayaan budaya yang menjadi jati diri bangsa yang patut untuk dilestarikan.
Dalam pendidikan multikulturalisme, setiap kebudayaan berada dalam posisi yang sejajar dan sama. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikulturalisme adalah untuk membantu warga didik memperoleh pengetahuan, menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya, dan nilai kepribadian. Pendidikan multikulturalisme mensyaratkan sekolah dan kelas dikelola sebagai suatu simulasi arena hidup nyata yang plural, terus berubah, dan berkembang. Institusi sekolah dan kelas adalah wahana hidup dengan pemeran utama yaitu peserta didik, di saat yang sama guru atau seluruh tenaga pendidik berperan sebagai fasilitator. Pembelajaran dikelola sebagai dialog dan pengayaan pengalaman hidup unik, sehingga bisa tumbuh aneka pengalaman dan kesadaran kolektif, dan peserta didik adalah sebagai manusia yang kelak menjadi dasar etika kewarganegaraan yang hidup di dalam masyarakat. Meminjam ungkapan Paulo Freire, dialogisme merupakan tuntutan kodrat manusia, syarat strategis, juga sebagai tanda sikap demokratis pendidik.[3]
Pengertian Pendidikan Multikulturalisme
Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary, istilah multiculturalism berasal dari kata multicultural. Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat multicultural dan multilingual.[4] Multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran atau paham). Secara hakiki, kata tersebut terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik.[5]
Multikulturalisme meliputi sebuah pemahaman, penghargaan, dan penilaian atas budaya seseorang serta sebuah penghormatan dan keinginan tentang budaya etnis orang lain. Multikulturalisme meliputi sebuah penilaian terhadap kebudayaan orang lain, bukan dalam menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan tersebut, melainkan mencoba melihat kebudayaan tertentu bisa mengeksiskan nilai bagi anggotanya.[6]
Pada dasarnya, multikulturalisme merupakan konsep di mana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keragaman, perbedaan, dan keanekaragaman baik berupa budaya, ras, suku, etnis, maupun agama dan kepercayaan. Sebagai sebuah konsep, multikulturalisme memberikan pemahaman mengenai suatu bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam (multikultural). Bangsa yang multikultural ialah bangsa dengan kelompok-kelompok etnis atau budaya yang di dalamnya dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh kesediaan menghormati budaya lain.[7]
Namun perlu dipahami juga bahwa multikulturalisme bukan hanya sekadar wacana, tetapi sebuah ideologi yang harus diperjuangkan, karenanya dibutuhkan suatu landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakat. Untuk tujuan tersebut, sehingga multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep yang dapat dijadikan acuan dalam memahaminya dan mengembangluaskannya dalam kehidupan bermasyarakat.[8]
Pendidikan merupakan agen perubahan sosial dalam suatu masyarakat yang tidak terlepas dari budaya masyarakat tersebut. Nilai-nilai, pandangan, dan norma yang dikembangkan merupakan integrasi dari budaya di mana pendidikan tersebut dilaksanakan, selanjutnya ditanamkan kepada si terdidik. Pendidikan merupakan media tepat bagi usaha pelestarian dan penanaman nilai-nilai atau pandangan, demikian juga penanaman pandangan dan kesadaran terhadap adanya perbedaan budaya pada masyarakat multikultural. Usaha menanamkan kesadaran multikultural lewat pendidikan kemudian dikenal dengan pendidikan multikultural.
Pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan. Kemudian bagaimana kita mampu mensikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter.[9] Karena, pendidikan multikultural memandang manusia sebagai makhluk makro yang tidak akan terlepas dari akar budaya dan kelompok etnisnya.[10]
Secara generik, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan konsep untuk menciptakan persamaan peluang bagi semua peserta didik yang berbeda ras, etnis, kelas sosial, dan kelompok budaya. Pendidikan multikultural juga dapat didefinisikan sebagai pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam merospons perubahan demografis dan kultur lingkungan masyarakat tertentu bahkan dunia secara keseluruhan. Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire,[11] pendidikan bukan merupakan menara gading yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua warga didik agar memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperoleh dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokratik-pluralistik, serta diperlukan untuk berinteraksi, negoisasi, dan komunikasi dengan warga kelompok lain agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.[12]
Jadi, pendidikan multikultural adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian di dalam dan di luar sekolah, yang mempelajari tentang berbagai macam status sosial, ras, suku, dan agama agar tercipta kepribadian yang cerdas dalam menghadapi masalah-masalah keberagaman budaya. Intinya, pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural.
Sejarah Pendidikan Multikulturalisme
Istilah multikulturalisme pertama kali muncul di Amerika, yang didominasi oleh kaum imigran putih dengan budaya WASP yaitu kebudayaan putih (white) dari bangsa yang berbahasa Inggris (Anglo Saxon) beragama Protestan. Nilai-nilai WSAP inilah yang menguasai mainstream kebudayaan di Amerika Serikat sehingga terjadilah segresi dan diskriminasi tidak hanya ras tetapi juga dalam bidang agama, budaya, dan gaya hidup. Yang paling didiskriminasikan adalah kelompok Afrika-Amerika yang menurut sejarahnya dibawa ke benua baru tersebut sebagai budak belian untuk dipekerjakan di perkebunan, dan membangun prasarana industri yang berkembang pada abad ke-19. Politik diskriminasi tersebut berlaku pada kelompok non-WSAP yaitu kelompok Indian (Native America), Chicano (terutama Mexico), dan pada akhir abad ke-20 dari kelompok Asia-Amerika.
Dalam menghadapai masyarakat yang bersifat melting pot tersebut telah dikembangkan berbagai praktik pendidikan yang berusaha menggaet kelompok-kelompok suku bangsa tersebut di dalam suatu kebudayaan mainstream yang didominasi oleh WSAP. Namun demikian, pendekatan pendidikan yang diskriminatif tersebut mulai berubah karena pengaruh perkembangan politik dunia seperti HAM, atau deklarasi hak asasi manusia dari PBB. Demikian pula, gerakan human right yang mengglobal serta proses dekolonisasi akhir Perang Dunia II telah merontokkan garis-garis segregasi antarras. Kemudian perubahan pandangan terhadap HAM telah semakin meluas yang menyangkut hak asasi wanita dalam gerakan feminisme.[13]
Singkatnya, di era 1950-an di Amerika Serikat muncul berbagai gejolak untuk persamaan hak bagi golongan minoritas dan kulit hitam serta kulit berwarna mulai muncul. Puncaknya pada tahun 1960-an dengan dilarangnya perlakuan diskriminasi oleh kulit putih terhadap kulit hitam dan berwarna di tempat-tempat umum, perjuangan hak-hak sipil, dan dilanjutkan perjuangan hak-hak sipil ini secara lebih efektif melalui berbagai kegiatan affirmative action yang membantu mereka untuk mengejar ketertinggalan dari golongan kulit putih yang dominan di berbagai posisi dan jabatan dalam berbagai bidang pekerjaan maupun usaha.
Selanjutnya pada tahun 1970-an, upaya untuk mencapai kesederajatan dalam perbedaan mengalami berbagai hambatan karena corak kebudayaan kulit putih―yang Protestan dan dominan―berbeda dari corak kebudayaan orang kulit hitam (orang Indian atau pribumi Amerika) sebagai suku bangsa yang tergolong minoritas. Kemudian yang dilakukan oleh para cendekiawan dan pejabat pemerintah yang pro-demokrasi dan HAM serta yang anti rasisme dan diskriminasi adalah dengan cara menyebarkan konsep multikulturalisme dalam bentuk pengajaran dan pendidikan di sekolah-sekolah di tahun 1970-an. Bahkan anak-anak China, Meksiko, dan berbagai golongan suku bangsa lainnya dewasa ini dapat belajar dengan menggunakan bahasa ibunya di sekolah sampai dengan tahap-tahap tertentu. Gejala inilah adalah produk dari serangkaian proses pendidikan multikulturalisme yang dilakukan sejak tahun 1970-an.[14]
Dalam konteks Indonesia, di mana era sebelum kemerdekaan telah muncul beberapa organisasi yang berbau etnis dan keagamaan, dan tentunya ini mencerminkan beragamnya pluralitas di negeri ini. Yang menggembirakan bahwa dari organisasi-organisasi tersebut tidak mengembangkan pemikiran sempit dan mementingkan ego primordial, sebaliknya justru organisasi-organisasi tersebut menjadi embrio lahirnya kesadaran nasional sebagai sebuah bangsa yang utuh, dengan munculnya semboyan Sumpah Pemuda 1928. Kesadaran sebagai bangsa mengilhami para tokoh dan pemuda saat itu, karena mereka berani mengorbankan kepentingan entitasnya demi tercapainya keutuhan bersama; yang dalam perkembangannya melahirkan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.
Diktum tersebut sebenarnya dapat dijadikan landasan ideologis dan filosofis dalam mengembangkan kehidupan multikutural. Sayangnya, diktum itu hanya berhenti pada kesadaran kognitif masyarakat kebanyakan dan menjadi jargon lip service penguasa belaka, dan tidak diimplementasikan secara nyata dan tepat dalam kehidupan sosial masyarakat sehari-hari. Akibatnya, cita-cita luhur untuk mencapai masyarakat mejemuk-multikultural yang harmonis, di mana perbedaan dan keanekaragaman budaya mampu berfungsi sebagai sumberdaya yang memperkaya, hingga saat ini masih menjadi impian.
Metode dan Pendekatan Pendidikan Multikulturalisme
Pembahasan pendidikan multikultural dikaitkan dengan tiga hal, yaitu pendidikan multikultural sebagai konsep atau ide, sebagai gerakan, dan sebagai proses. Sebagai ide atau konsep, pendidikan multikultural berarti pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama pada warga didik (tanpa mengecualikan jenis kelamin, kelas sosial, etnis, ras, dan karakteristik budaya yang lain) dalam belajar di sekolah. Pendidikan multikultural sebagai pendekatan yang progresif dalam mengubah pendidikan yang secara holistik membahas adanya kekurangan-kekurangan, kegagalan, dan praktik-praktik diskriminasi dalam pendidikan.
Secara deskriptif, pendidikan multikultural harus berorientasi pada; (1) setiap siswa harus memiliki kesempatan yang sama dalam mengembangkan potensi dirinya; (2) mempersiapkan siswa untuk berpartisipasi secara kompeten dalam masyarakat interbudaya; (3) guru dipersiapkan agar dapat membantu belajar setiap siswa secara efektif tanpa memandang latar belakang budaya yang berbeda; (4) sekolah-sekolah harus berpartisipasi aktif dalam mengakhiri segala bentuk penindasan; dan (5) pendidikan harus berpusat pada siswa dan terbuka terhadap aspirasi dan pengalaman siswa.[15]
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pendidikan multikultural berorientasi kepada siswa. Orientasi ini mempunyai implikasi bahwa dalam proses belajar mengajar di sekolah latar belakang budaya yang dimiliki siswa mendapatkan pengakuan, penghargaan, dan penerimaan oleh seorang guru. Untuk itu, guru dituntut agar memiliki kemampuan memahami latar belakang budaya siswa. Pemahaman terhadap latar belakang budaya siswa yang berbeda itu sangat penting, sebab perilaku siswa tidak terlepas dari latar belakang budayanya. Sehingga, pemahaman terhadap perbedaan ini akan menciptakan sikap positif terhadap perbedaan siswa yang akan menumbuhkan sikap toleransi dalam proses belajar mengajar di sekolah.
Sebagai gerakan perubahan, pendidikan multikultural mencoba untuk mengubah sekolah dan institusi pendidikan agar memberikan kesempatan yang sama kepada siswa untuk belajar. Oleh karena itu, pendidikan multikultural didasarkan pada keadilan sosial dan keadilan pendidikan yang membantu siswa secara aktif dan sadar dalam mengembangkan semua potensi sebagai pelajar dan anggota masyarakat baik secara lokal, nasional, maupun global. Sehingga pendidikan mempunyai fungsi penting dalam meletakkan dasar bagi perubahan sosial dan melegitimasi segala bentuk penindasan dan ketidakadilan dalam masyarakat.
Pendidikan multikultural merupakan sebuah proses yang terus menerus. Persamaan, kebebasan, dan keadilan dalam pendidikan adalah tujuan-tujuan ideal di mana manusia harus terus menerus berusaha untuk mencapai tanpa pernah berhenti. Sebab probem rasisme, diskriminasi selalu ada dan berkembang menjadi bentuk-bentuk baru. Oleh karena itu, tujuan pendidikan mutikultural tidak pernah dapat dicapai secara penuh, sehingga membutuhkan usaha secara terus menerus untuk meningkatkan persamaan dan keadilan bagi siswa.
Secara konseptual pendidikan mutikultural mempunyai tujuan agar; (1) setiap siswa mempunyai kesempatan untuk mengembangkan prestasinya; (2) siswa belajar bagaimana belajar dan berfikir kritis; (3) mendorong siswa untuk mengambil peran aktif dalam pendidikan melalui pengalaman-pengalaman mereka; (4) mengakomodasikan semua gaya belajar siswa; (5) mengapresiasi kontribusi dari kelompok-kelompok yang berbeda; (6) mengembangkan sikap positif terhadap kelompok yang mempunyai latar belakang berbeda; (7) agar siswa menjadi warga yang baik di sekolah maupun masyarakat; (8) belajar bagaimana menilai pengetahuan dari perspektif yang berbeda; (9) untuk mengembangkan identitas etnis, nasional, dan global; dan (10) mengembangkan keterampilan dalam mengambil keputusan dan analisis kritis sehingga siswa dapat membuat pilihan yang lebih baik dalam kehidupan sehari-hari.[16]
Prolematika Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia
Dalam upaya membangun Indonesia, gagasan multikulturalisme menjadi isu strategis yang merupakan tuntutan yang tidak bisa ditawar lagi. Alasannya adalah bahwa bangsa kita sebagai bangsa yang lahir dengan multikultur di mana kebudayaan tidak bisa dilihat hanya sebagai kekayaan, akan tetapi harus ditempatkan berkenaan dengan kelangsungan hidup sebagai bangsa. Dalam konteks Indonesia, pendidikan multikultural merupakan keharusan dan bukan pilihan lagi. Karenanya, pengelolaan keanekaragaman dan segala potensi positif dan negatif dilakukan sehingga keberbedaan bukanlah ancaman, melainkan menjadi sumber atau daya dorong positif bagi perkembangan dan kebaikan bersama sebagai bangsa.
Dewasa ini, sistem kapitalisme dan neoliberalisme tampil dengan fenomena baru yakni globalisasi. Terminologi globalisasi mendominasi peradaban kehidupan manusia saat ini. Globalisasi pada satu sisi―dengan kemajuan teknologi informasi dan transportasi―membantu manusia dalam banyak hal. Dunia menjadi sebuah kampung global, sehingga membangun komunikasi antara manusia yang satu dengan yang lainnya dapat terhubung dengan mudah. Gagasan tentang kemajuan pun menjadi daya dorong yang kuat bagi terciptanya struktur masyarakat modern yang serba ingin cepat, berkembang, dan terus maju. Namun di balik itu semua ternyata globalisasi telah menciptakan suatu pergeseran kesadaran dalam diri manusia yaitu melemahnya tata nilai. Manusia kehilangan kesejatian dirinya dan makna hidupnya. Nilai-nilai kebersamaan, kesetiaan, solidaritas, pengakuan akan martabat manusia, serta penghargaan terhadap pluralitas semakin tereliminasi, sedangkan pemujaan dan penyembahan pada kebebasan, individualisme, dan kenikmatan sangat tampak dalam keseharian hidup masyarakat; manusia lupa apa yang esensial di dalam masyarakat. Intinya, pluralitas dan keanekaragaman budaya serta keunikan masing-masing pribadi terlibas oleh derasnya arus globalisasi.
Dalam konteks pendidikan, di mana gaya berpikir peserta didik dikemas dalam sistem jawaban tunggal. Dan ini tentunya memandulkan sikap kritis peserta didik. Pengetahuan dituntut instan, siap pakai, dan tidak memerlukan penalaran yang rumit. Konsekuensi dalam dunia pendidikan ini―apa yang disebut proses―tidak berlaku lagi. Berhadapan dengan aneka tawaran yang bernuansa instan tersebut, ternyata imbasnya langsung tertuju pada melemahnya etos belajar bagi siswa. Indikasinya adalah kehendak untuk mencari, bertanya, bergulat, dan memperdalam pengetahuan semakin memudar.
Dari problem pendidikan tersebut, pengembangan pendidikan multikultural sebenarnya ditujukan ke arah terwujudnya suatu peradaban dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Setiap pribadi harus menjadi sadar akan kebudayaan masing-masing, tujuannya adalah agar mereka mempunyai pemahaman yang holistik dan mampu mengapresiasi kebudayaan lain secara asertif, berpartisipasi di dalam satu kebudayaan atau lebih, serta bertanggungjawab untuk memeliharanya. Untuk mewujudkan peradaban itu semua maka lingkungan pendidikan harus merefleksikan hakikat pluralistik dan tantangan globalisasi.
Pola pendekatan pendidikan seharusnya utuh dan menyeluruh. Ini artinya, pendidikan tidak sebatas pada hafalan yang hanya akan mencetak para warga didik bagaikan robot, pendidikan seharusnya mampu menyentuh apa yang hakiki dalam hidup manusia, pendidikan perkembangan, pendidikan lingkungan hidup, pendidikan perdamaian, dan pendidikan gender. Dengan kata lain, pendidikan yang mencakup pendidikan multikultural mencakup soal keanekaragaman, keterbukaan, pluralitas, kebudayaan, agama, perbedaan seksual, dan identitas pribadi manusia. Pada titik inilah mengapa pendidikan multikulturalisme menjadi kebutuhan yang urgen. Itu semua karena keadaban berbangsa dan bernegara akan tampak jika setiap individu manusia semakin dewasa dalam upaya melestarikan pendidikan multikultural. Karena itu, pendekatan kepada manusia dan untuk mengatasi problem kemanusiaan tidak bisa lain kecuali dengan menggunakan pendekatan pendidikan multikultural.
Memang, keragaman budaya masyarakat Indonesia menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan untuk mengolah bagaimana agar keberagaman bangsa kita dapat dijadikan sebagai aset, dan bukan sebagai sumber perpecahan. Pada era globalisasi ini pendidikan multikultural memiliki tugas ganda yaitu menyatukan bangsa yang terdiri dari berbagai keragaman budaya, selain harus menyiapkan bangsa Indonesia agar siap sedia dalam menghadapi kebudayaan luar yang masuk. Namun demikian, sebagai bangsa yang memiliki segudang perbedaan budaya dan kultur dalam masyarakat tentu memiliki resistensi yang tinggi akan munculnya sebuah konflik sebagai konsekuensi dinamika sosial masyarakat. Adapun akar dari munculnya konflik yang terjadi dalam masyarakat multikultural disebabkan disebabakibatkan oleh adanya perebutan sumber daya, alat-alat produksi, dan kesempatan ekonomi, serta adanya perluasan batas-batas sosial budaya maupun benturan kepentingan ideologi, agama, dan politik.
Maka dari itu, pendidikan multikultural menjadi hal penting yang harus diimplementasikan ke dalam sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Karena, melalui pendidikan multikultural inilah sebagai sarana alternatif untuk memecahkan problem konflik yang terjadi di masyarakat. Melalui pembelajaran pendidikan multikultural ini, sehingga siswa diharapkan tidak terhindar dari akar budayanya, sebab pertemuan ragam budaya di era globalisasi dapat menjadi pemicu konflik atau bahkan ancaman serius sebagai anak bangsa. Siswa perlu diberi kesadaran akan pentingnya pendidikan multikultural agar dirinya memiliki kompetensi pedagogi yang luas terhadap pengetahuan global, termasuk di dalamnya pengetahuan tentang kebudayaan.
Tentunya, tantangan yang kita hadapi sebagai bangsa yang majemuk ini adalah pendidikan multicultural di Indonesia yang masyarakatnya terdiri dari berbagai macam ras, suku, bahasa, budaya, dan agama, sangat sulit praktik dan aplikasinya. Karena tidak dapat kita pungkiri bahwa dengan masyarakat kita yang sangat bergam ini seringkali menjadi penyebab munculnya berbagai macam konflik. Namun, keyakinan bahwa pendidikan multikultural merupakan sebuah strategi yang jitu dan diharapkan dapat diaplikasikan dengan merefleksikan perbedaan-perbedaan yang dimiliki peserta didik seperti etnis, bahasa, agama, gender dan lainnya, menjadi sebuah kekuatan dalam perbedaan. Pendidikan multikultural ini diharapkan tidak dipelajari dalam pendidikan sektor formal saja, melainkan dapat diterapkan dan dipelajari pula oleh masyarakat serta berbagai kegiatan lain dalam lingkup masyarakat.
Konklusi
Multikulturalisme adalah gagasan yang lahir dari fakta tentang perbedaan antarwarga masyarakat bersumber etnisitas, ideologi, agama, dan sebagainya. Pengalaman hidup yang berbeda membutuhkan kesadaran dan tata nilai berbeda yang terkadang tampil secara bertentangan. Multikulturalisme menyadarkan betapa penting membangun konsensus kesepahaman “antara diri” (self) dan “yang lain” (otherness) dalam interaksi sosial dan berbangsa agar perbedaan yang ada tidak menjadi faktor pemisah atau pemecah belah, tetapi justru bisa menjadi faktor perekat dan pemersatu. Sikap saling menghargai toleransi, mampu hidup bersama dalam keragaman adalah tujuan dari multikulturalisme yang dapat dimiliki setiap manusia melalui pendidikan, yaitu pendidikan multikulturalisme.
Daftar Pustaka
Akrom, Mizanul. (2022). Pendidikan Islam Pluralis; Ulasan Pemikiran Gus Dur. Malang: CV Literasi Nusantara Abadi.
Freire, Paulo. (2002). Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_____2011). Pedagogi Hati. Yogyakarta: Kanisius.
Mahfud, Choirul. (2011). Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maksum, Ali & Ruhendi, Luluk Yunan. (2004). Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern; Mencari Visi Baru atas Realitas Baru Pendidikan Kita. Yogyakarta: Ircisod.
Naim, Ngainun dan Syauqi, Achmad. (2008). Pendidikan Multikultural; Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Suryana, Yaya, Rusdiana, A. dan Saebani, Beni Ahmad. (2015). Pendidikan Multikultural; Suatu Upaya Penguatan Jati Diri Bangsa; Konsep, Prinsip dan Implementasi. Bandung: Pustaka Setia.
Tobroni, dkk. (2007). Pendidikan Kewarganegaraan; Demokrasi, HAM, Civil Society, dan Multikulturalisme. Malang: Pusat Studi Agama, Politik, dan Masyarakat.
[1] Ali Maksum & Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern; Mencari Visi Baru atas Realitas Baru Pendidikan Kita, (Yogyakarta: Ircisod, 2004), hlm. 189-190.
[2] Mizanul Akrom, Pendidikan Islam Pluralis; Ulasan Pemikiran Gus Dur, (Malang: CV Literasi Nusantara Abadi, 2022), hlm. 30.
[3] Paulo Freire, Pedagogi Hati, (Yogyakarta: Kanisius, 2011).
[4] Tobroni, dkk., Pendidikan Kewarganegaraan; Demokrasi, HAM, Civil Society, dan Multikulturalisme, (Malang: Pusat Studi Agama, Politik, dan Masyarakat, 2007), hlm. 281.
[5] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 75.
[6] Yaya Suryana, A. Rusdiana dan Beni Ahmad Saebani, Pendidikan Multikultural; Suatu Upaya Penguatan Jati Diri Bangsa; Konsep, Prinsip dan Implementasi, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm. 194―195.
[7] Ngainun Naim dan Achmad Syauqi, Pendidikan Multikultural; Konsep dan Aplikasi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 126.
[8] Bangunan konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain yaitu demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, suku bangsa, kesukubangsaan, kebudayaan suku bangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, dominasi privat dan publik, HAM, hak budaya komunitas, dan konsep lainnya yang relevan.
[9] Choirul Mahfud, Op. Cit., hlm. 168.
[10] Ibid., hlm. 187.
[11] Paulo Freire, Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 19.
[12] Choirul Mahfud, Op. Cit., hlm. 202―203.
[13] Tobroni, dkk., Op. Cit., hlm. 283―284.
[14] Ibid., hlm. 282.
[15] Ibid., hlm. 303.
[16] Idid., hlm. 305.
0 comments: