Prawacana
Budaya lokal sebagai kekayaan yang dimiliki oleh umat manusia, sehingga dalam konteks ini Islam mengakui eksistensinya. Keragaman budaya merupakan sunnatullah, dengan ini maka dialog dan saling pengertian itu harus diciptakan. Pengakuan akan eksistensi kelompok sosial dan kebudayaannya itu tersirat dalam Al-qur’an Surat Al-Hujurat Ayat 13.[1] Dalam Islam, sejatinya ada pengakuan terhadap realitas, karenanya mesti ada nilai kebenaran yang bersifat lokal, namun nuansa semangatnya bersifat universal. Karena Islam bukanlah budaya dan peradaban yang lahir begitu saja, akan tetapi Islam terlahir melalui interaksi dengan peradaban-peradaban dunia yang sudah berkembang maupun yang akan berkembang. Dengan semangat pemahaman ini, maka Islam adalah agama dan budaya yang terbentang dari tepi Laut Atlantik sampai tepi Laut Pasifik Selatan.
Dalam perjalanan sejarah, yaitu sejak kelahiran Muhammad Saw hingga abad-abad kejayaannya Islam telah menyisakan kebudayaan dan peradaban yang amatlah tinggi, dan sangat berarti bagi perkembangan kebudayaan dan peradaban abad-abad berikutnya, baik dalam dunia Barat maupun dunia Timur. Perkembangan komunitas muslim merupakan bagian dinamisasi dari dunia Islam. Interaksi yang panjang antara kondisi yang berubah dan nilai-nilai Islam yang abadi telah menawarkan sebuah pola, gagasan dan basis bagi perkembangan sosio-kultural Islam. Sehingga, dalam kebudayaan dan peradaban Islam tidak ada dominasi budaya, dominasi pengetahuan, dominasi nilai kebenaran dan dominasi epistemologi, melainkan sisi yang ada adalah hasil interaksi antara karakter lokal dari masing-masing gejala komunitas masyarakat di mana ia berada.
Dalam sejarah masuknya Islam di Indonesia (Nusantara), di mana para ulama-ulama baik dari China, India maupun Timur Tengah (sambil berdagang) mereka menyebarkan Islam dengan prinsip moderatnya, sehingga Islam bisa diterima masyarakat pribumi dengan elegan, tanpa paksaan dan tanpa kekerasan. Islam mampu berdialektika dengan budaya lokal yang sudah berkembang, karena memang corak Indonesia yang multikultur dengan bermacam suku, bahasa, budaya, agama dan kepercayaan (Hindu, Budha, Animisme, Dinamisme), tradisi dan adat istiadat masyarakat Indonesia lainnya, sehingga Islam di Indonesia dengan ciri yang khas dan tidak monolitik, namun memiliki konsep moderat (tawasuth) dengan memandang dan memperlakukan budaya secara proposional.
Selanjutnya, eksistensi Islam Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) dengan gaya moderatnya di era yang penuh dengan muskilat seperti sekarang ini, ia tampil dengan wajah sumringah dengan paham atau aliran yang mampu mengatasi pertikaian antar golongan, dan menjawab tantangan keagamaan yang dihadapkan pada nuansa multikultural dan multi-pemikiran, sehingga dengan keberadaannya tersebut ia mampu menciptakan kedamaian di dunia.
Aswaja menyebar ke Indonesia menjelma menjadi Nahdlatul Ulama yang didirikan oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. NU tidak hanya sekedar cabang dari paham Asy’ariyah, namun juga NU sebagai organisasi keagamaan yang sangat patuh dan konsisten dalam mengamalkan Aswaja sebagai konsepnya dan menggunakannya dengan sangat baik, sehingga dengan konsep ini NU tidak bisa dilepaskan dengan Aswaja. Atau dengan kata lain, ketika menyebut NU sama dengan menyebut Aswaja.
Pada awalnya, makna Aswaja di Indonesia dipahami sebagai ajaran yang sesuai dengan hadist dan ijma’ ulama, namun dalam hal ini terdapat spesifikasi yang lebih menyesuaikan dengan kultur Indonesia yang majemuk, yakni sebuah sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang tidak terjebak pada sifat ekstremisme, sebaliknya justru menerima kehidupan sebagai sesuatu yang beragam, memperhitungkan berbagai sudut pandang dengan mengambil posisi yang seimbang dan proposional, serta sikap dan tindakan dalam mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi mungkar). Dalam konteks ini, Aswaja lebih condong bersifat substansial ketimbang teknis, dan berlaku sebuah kaidah fikih ‘al muhâfazhah alâ al qadîm al shalîh wa al akhzu bil jadidî al ashlâh’; melestarikan kebaikan yang ada dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik.
Dengan menggunakan kaidah tersebut, maka pengikut Aswaja memiliki pegangan bahwa tidak semuanya budaya itu jelek selama budaya tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam, jika budaya itu mengandung kebaikan maka dapat diterima dan bahkan bisa dipertahankan dan layak untuk diikutinya (sesuai dengan kaidah fikih: ‘al adah muhakkamah’; budaya atau tradisi yang baik bisa menjadi pertimbangan hukum).
Dari paradigma Aswaja tersebut, sehingga kaum Aswaja tidak mudah mengkafirkan atau mensyirikkan orang lain hanya karena dia menggunakan takwil[2] atas teks-teks agama. Ini tentu berbeda dengan perilaku sebagian kelompok Islam garis keras di Indonesia dewasa ini. Kaum Aswaja juga tidak mudah menuduh sesat (bid’ah) terhadap mereka yang berseberangan pendapat menyangkut pengembangan tradisi masyarakat dan pemikiran keagamaan. Model Islam Aswaja inilah yang kemudian mendorong lahirnya organisasi kemasyarakatan di Indonesia yang bervisi sosial-keagamaan, yakni Nahdlatul Ulama yang sampai sekarang masih tetap konsisten memegang teguh identitas tersebut sebagai sebuah nilai, ideologi dan doktrin kedisiplinan.
Lebih lanjut, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia atau PMII sebagai organisasi kemahasiswaan, keislaman dan keindonesiaan yang komitmen dalam memperjuangkan nilai dan ideologi Aswaja dalam dunia pergerakannya, serta memposisikan Aswaja sebagai upaya dalam memahami, menghayati dan mengamalkan Islam. Selain itu, PMII menjadikan Aswaja sebagai manhaj al-fikr sekaligus manhaj al-taghayyur al-ijtima’i (perubahan sosial) untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi bentuk-bentuk pemahaman, sekaligus aktualisasi ajaran-ajaran agama yang toleran, humanis, anti-kekerasan dan kritis transformatif.
Latar Belakang Sosio-Kultural Islam Indonesia
Kedatangan Islam pada abad ke-7 hingga abad ke-12 M di beberapa daerah di Asia Tenggara dapat dikatakan baru tahap awal pembentukan komunitas muslim, terutama terdiri dari para pedagang. Abad ke-12 hingga 16 M, yaitu dengan munculnya kerajaan bercorak Islam merupakan kelanjutan penyebaran Islam.[3] Karenanya, dalam konteks pembahasan ini perlu ada pembagian yang tegas antara tahap kedatangan, penyebaran dan pembentukan struktur pemerintahan atau kerajaan.
Para sejarahwan muslim menyepakati bahwa kedatangan atau masuknya Islam ke Indonesia di mulai sejak abad pertama Hijriyah, atau pada abad ke-7 dan 8 Masehi langsung dari Arab,[4] yaitu sejak zaman Khulafaur Rasyidin, tepatnya pada masa Khalifah Utsman Bin Affan.[5] Pada gelombang ini hanya menghasilkan komunitas muslim, terutama para pedagang muslim dengan penyebaran Islam yang sangat terbatas.[6] Kemudian penyebaran Islam, abad ke-13 M sudah lebih mantap dan meluas, karena sejak saat itu di pesisir Aceh Utara daerah Lhoukseumawe muncul kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara atau yang dikenal dengan Kerajaan Samudra Pasai. Berdirinya kerajaan Islam ini berimbas pada kelancaran perdagangan yang dilakukan orang-orang Islam dari Arab, Persia, Irak dan India Selatan. Hal ini juga berpengaruh pada kedekatan hubungan Kerajaan Samudra Pasai dengan Semenanjung Malaka, yang kemudian menyebabkan Raja Malaka memeluk Islam.[7]
Pada abad 14 sampai 15 M, perkembangan Islam di daerah pesisir Jawa juga semakin jelas dan bahkan Islam berkembang bukan hanya di Bandar, juga telah masuk ke pusat Kerajaan Majapahit di Trowulan dan Troloyo. Pada abad ke-14, kerajaan Majapahit tengah mencapai puncak kejayaannya, dan dengan toleran kerajaan ini menerima para pedagang muslim yang memasuki Ibu kotanya, serta membolehkan mereka membentuk komunitasnya sendiri. Para pedagang tersebut diterima oleh masyarakat dan pihak kerajaan karena memang sikapnya yang akomodatif. Hal ini dibuktikan dengan mengajarkan ilmu kanuragan kepada masyarakat, sehingga menambah kekuatan bagi Majapahit. Selain itu, para pedagang muslim memiliki sikap yang mudah membantu terhadap masyarakat yang terkena musibah.[8]
Dari penjelasan di atas, Islam secara kultural dapat berangsur-angsur diterima oleh masyarakat lokal saat itu. Demikianlah, secara pelan namun pasti bahwa Islam menyebar dan meluas ke seluruh pelosok negeri (Nusantara), mulai dari kerajaan Samudra Pasai, Aceh, Demak, Banten dan Cirebon, Ternate dan Tidore hingga menyebar ke daerah-daerah sekitarnya. Menjelang akhir abad ke-17 di mana Islam sudah hampir merata di Indonesia.
Islam awal yang berkembang di Indonesia bersifat sinkretis.[9] Ada dua faktor yang mempengaruhi corak sinkretisme ini. Pertama, sebelum kedatangan Islam, masyarakat Indonesia telah dipengaruhi secara dominan oleh agama Hindu, Budha dan kepercayaan Animisme dan Dinamisme yang terlebih dahulu berkembang. Kedua, Islam yang masuk melalui jalur India sebagai wilayah asal agama Hindu yang kental dengan tradisi Animistic dan Dynamistic, juga sangat membuka peluang tumbuh suburnya Islam sinkretis ini.
Proses purifikasi atau pemurnian kembali ajaran Islam orisinal terjadi karena seiring dengan semakin banyak dan mudahnya orang Indonesia yang Haji ke Makkah.[10] Kemudian, proses Islamisasi di Indonesia sangat berhubungan dengan tiga kondisi penting. Pertama, proses Islamisasi dalam hubungannya dengan pembentukan kebudayaan Islam yang berhadapan dengan aneka warna kebudayaan lokal, tradisi dan adat istiadat lokal. Interaksi Islam dengan sistem nilai lokal inilah pada gilirannya melahirkan berbagai bentuk respon dan reaksi. Kedua, Islam merupakan pandangan baru di dalam masyarakat kepulauan Indonesia. Sebelum Islam masuk telah ada sistem keyakinan, kepercayaan, keagamaan, atau setidaknya tradisi spiritualitas yang dianut komunitas lokal yang dulu pernah disebut antropolog sebagai kepercayaan asli dan agama Hindu-Budha. Kepercayaan lokal dan tradisi Hindu-Budha tersebut tidak lagi berdiri secara sendiri-sendiri, melainkan telah bercampur dan membentuk sistem kepercayaan yang sinkretis. Ketiga, Islam bukan merupakan satu-satunya sumber pengetahuan atau sistem nilai yang ada dalam masyarakat Indonesia, karena selain kepercayaan lokal dan Hindu-Budha, juga muncul pula pengaruh budaya Eropa (Barat) yang mulai berkembang dalam waktu bersamaan dengan kedatangan para penjajah bangsa Eropa di Asia Tenggara.[11]
Dari berbagai uraian penjelas di atas, maka keragaman suku bangsa yang tersebar di seluruh kepulauan Nusantara merupakan kondisi objektif yang sangat penting dan berpengaruh dalam keseluruhan proses penyebaran dan pembentukan tradisi Islam di Indonesia. Perbedaan suku bangsa tersebut tidak hanya mengandung perbedaan bahasa, adat istiadat dan sistem keyakinan serta keberagamaan masyarakat, melainkan juga setiap suku bangsa memiliki sistem pengetahuan dan cara pandang yang tidak jarang berbeda satu dengan lainnya. Masuknya unsur baru dalam satuan-satuan kehidupan tersebut, tentu saja mendapatkan reaksi yang berbeda-beda. Adanya hukum adat yang terbentuk dari tradisi sosial-budaya masyarakat setempat, merupakan bentuk yang paling jelas dari institusi lokal yang mengatur tatanan masyarakat. Ini artinya bahwa telah terjadi interaksi antara hukum Islam dan hukum adat yang telah ada sebelum kedatangan Islam. Atau dengan kata lain telah terjadi suatu proses akomodasi kultural.
Kemampuan akomodasi kultural tersebut, dapat dilihat pada kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan tradisi dan adat lokal serta pada kemampuannya untuk mempertahankan nilai-nilai pokok keislaman. Dalam proses penyesuaian diri tersebut, tampak jelas bahwa Islam tidak hanya melakukan ‘domestifikasi’ (penjinakan) terhadap dirinya dengan mengkompromikan kerangka universalnya sehingga lebur dalam tradisi dan adat lokal, melainkan juga Islam ‘mengeksploitasi’ sejauh mungkin unsur-unsur tradisi lokal yang dapat disesuaikan ke dalam keharusan nilai-nilai dalam Islam itu sendiri.
Nilai-Nilai Universal Ajaran Islam
Islam mengandung pengertian sebagai sikap penyerahan diri kepada Allah karena menerima tantangan moral-Nya. Menjadi seorang muslim berarti menjadi orang yang seluruh hidupnya diliputi oleh tantangan untuk senantiasa meningkatkan diri menuju pada moralitas yang setinggi-tingginya dengan jalan selalu mengusahakan pendekatan diri kepada Allah.[12] Ajaran Islam dimaksudkan untuk seluruh umat manusia, karena Muhammad Saw sebagai utusan Allah untuk seluruh umat manusia. Ini berarti, ajaran Islam berlaku bagi bangsa-bangsa Arab dan bangsa-bangsa bukan Arab dalam tingkat yang sama. Sebagai suatu ajaran yang universal, Islam tidak tergantung pada suatu bahasa, tempat ataupun masa dan kelompok manusia.[13] Islam merupakan penyempurna agama-agama sejak zaman Nabi Adam hingga zaman Nabi Muhammad. Kesempurnaan Islam tersebut tampak dari aspek ajarannya yang melengkapi semua formulasi agama-agama sebelumnya. Bahkan Allah Swt—selaku sumber risalah tersebut—telah memberikan jaminan bahwa Islam sebagai agama yang terus terjaga dan akan dijaga keaslian maupun kemurniannya. Pertanyaannya kemudian, akankah kemurnian aspek ajaran Islam yang universal tersebut tidak memberikan ruang kreatif, ataukah menutup kemungkinan dialog antara Islam dengan realitas tempatnya berkembang?
Dalam sejarahnya, Nabi Saw pertama kali mempraktekkan Islam tatkala Islam hadir di Makkah, dan membawa perubahan pada sistem nilai kehidupan masyarakat pada masa itu. Nilai-nilai universal ajaran Islam yang sangat fundamental telah dan mampu membangun tatanan kehidupan manusia yang tercerahkan dalam menopang sistem keyakinan. Ini semua tidak lain karena agama Islam itu bersifat universal, sementara keberagamaan bersifat singular. Universalitas Islam berlaku sama untuk dan oleh semua pemeluk Islam tanpa mempertimbangkan perbedaan rung dan waktu pelaksanaan ajaran. Hal ini terjadi mengingat sumber dari universalitas Islam adalah Al-qur’an yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Singular Islam merupakan tampilan empiris ajaran universalitasnya. Dengan demikian, sebagai pemeluk Islam perlu memperhatikan dua hal, yaitu produktivitas mencapai tujuan dalam konteks sesaat dan esensi ajaran Islam yang bersifat universal.
Penerapan nilai universal yang perlu dalam tataran empiris adalah kebenaran, keadilan, anti kekerasan, kesetaraan, kasih sayang, cinta-kasih dan toleransi. Dalam Islam, nilai ajaran yang terbaik yang membuat praktek keberagamaan seorang muslim menjadi bermakna apabila ia berhasil memaksimalkan ke semua nilai yang di maksud, serta mampu termanifestasi dalam ritualitas dan realitas kehidupannya.
Realitas Islam Indonesia
Dalam realitas Islam yang berkembang di Indonesia sampai dewasa ini tidak terlepas dari pengaruh dan upaya Walisongo dalam membumikan Islam di Indonesia—Jawa khususnya—pada abad ke-15 sampai abad ke-16 Masehi. Secara konvensional, ulama tradisional atau kiyai, sering dilihat sebagai penerus Walisongo yang absash. Ulama sebagai warisatul ambiya’, penerus sunnah Nabi dan tradisi Walisongo dalam dinamika sosial Islam kultural ditempatkan sebagai agen perubahan sosial. Dalam rangka meneruskan tradisi Walisongo, ulama atau kiyai di Jawa lebih memperhatikan substansi ajaran Islam yang telah dirumuskan terlebih dahulu (salaf as-shalih). Sebagai agent of social change dan the true interpreter of Islamic teaching, kiyai merupakan vigur sentral di dunia pesantren. Peran utama kiyai adalah mengemudikan pesantren dengan kelebihan kepemimpinan kharismatik dan konsistensi terhadap prinsip-prinsip yang dengan sempurna diteladani oleh para santri. Karena kelebihan para kiyai, sosok ini bahkan sering dilihat sebagai agen resmi Tuhan di bumi, juga sebagai actual spiritual teacher bagi komunitas santri.[14]
Perlu ditekankan di sini bahwa Walisongo dan dunia pesantren mampu menampilkan budaya yang unik. Bagi komunitas tradisional ini, Muhammad Saw dan Walisongo merupakan tokoh ideal yang tidak bisa ditawar lagi. Karena Walisongo merupakan penerus Nabi yang konsisten jika dilihat dari sebutan ‘Sunan’, yang tidak lain berasal dari sunnah Nabi. Umat Islam perlu menengok kembali bagaimana dunia pesantren mampu menciptakan budaya dan subkultur Islami yang unik, dan merupakan bagian kultur Islam yang universal.[15]
Kita menengok kebelakang (flash back), secara singkat sosok Nabi sebagai tokoh yang memperkenalkan ajaran dan kebudayaan Islam dengan sunnahnya. Adat Jahiliyah oleh Nabi diganti dengan tradisi baru Islam (Dinnul Islam). Cara Nabi kemudian diikuti oleh Walisongo dalam penyebaran Islam di Indonesia. Wisdom Walisongo perlu dicatat, yakni mengenalkan kultur baru dengan berusaha tanpa mengusik kebudayaan lama. Dengan kata lain, baik Nabi maupun Walisongo mengenalkan perubahan dengan tetap bersandar pada potensi yang dimiliki oleh masyarakat kala itu. Kesukuan misalnya, sebelum Nabi hadir memperluas konsep kesukuan sebagai persaudaraan universal (ukhuwah Islamiyah). Tradisi meminum-minuman keras di kalangan orang Arab yang begitu menguat, membudaya bahkan melembaga baru dihapus setelah iman mereka menguat sebagai ideologi utama. Di sinilah letak wisdom dan approach Nabi yang diterapkan Walisongo dalam dakwahnya, dan perlu ditransfer dalam kehidupan saat ini dalam rangka mengenalkan value system dan budaya Islami.
Akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai Sistem Pengamalan dan Penghayatan Ajaran Islam
Tidak asing terdengar ditelinga kita ketika menyebut dan menemukan kata Ahlussunah wal Jama’ah. Karena memang Aswaja merupakan ajaran atau paham yang menyebar sangat luas di Indonesia, dan telah mampu memengaruhi masyarakat mayoritas Indonesia, khususnya di daerah Jawa. Aswaja sering kali disebutkan bersamaan dengan adanya kata Nahdlatul Ulama. Hal inilah yang menimbulkan pertanyaan besar sebagian masyarakat tentang hubungan antara keduanya. Maka dari itu, dalam pembahasan ini sangat perlu penjelasan mengenai latar belakang sosial dan politik munculnya paham Aswaja hingga sampai pada penjelamaan Aswaja ke dalam Jam’iyah Nahdalatul Ulama.
Pada masa Rasulullah masih hidup, istilah Aswaja sudah pernah ada, namun tidak merujuk pada kelompok tertentu.[16] Aswaja yang di maksud adalah orang-orang Islam secara keseluruhan. Setelah Nabi wafat kemudian muncul masa selanjutnya yang disebut masa Khulafaur Rasyidin, dengan khalifah pertamanya yaitu Abu Bakar. Setelah Abu Bakar wafat digantikan Umar bin Khattab. Setelah Umar wafat khalifah diteruskan oleh Usman bin Affan, dan selanjutnya digantikan Ali bin Abi Thalib.
Sejarah kemunculan Aswaja bisa ditelusuri sejak pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Di mana pada masa pemerintahan Usman ada seorang Gubernur Syam atau Syiria bernama Muawiyah bin Abi Sufyan, ketika Ali terpilih menjadi khalifah secara demokratis, Muawiyah tidak setuju dan melakukan pemberontakan hingga terjadilah perang antara keduanya (Muawiyah-Ali), yang terjadi sekitar tahun 35-40 H. Dalam perang (Perang Siffin) tersebut dimenangkan oleh Ali, namun ketika pasukan Muawiyah terdesak, kemudian mengibarkan bendera putih sebagai tanda menyerah dengan mengangkat Al-qur’an di atas untuk meminta perdamaian. Dalam perdamaian tersebut, terjadilah perundingan atau yang sering dikenal dengan nama tahkim (Arbitrase). Dalam perundingan tersebut, dari pihak Ali diutuslah Abu Musa Al-Asy’ari adalah orang tua (kasepuhan) dan seorang tokoh ulama. Kemudian pihak Muawiyah diutus seorang politisi dengan nama Amru bin Ash. Dalam perundingan tersebut pertama-tama terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak bahwa pemerintahan kosong atau tidak diduduki, baik oleh pemerintah yang syah (yang pada waktu itu dijabat Ali) maupun Muawiyah. Karena kelicikan dari Amru bin Ash, dalam perundingan tersebut kemudian dimenangkan pihak Muawiyah, padahal semula jabatan khalifah dipegang dan diduduki secara syah oleh Ali bin Abi Thalib.
Inti dari penjelasan di atas bahwa ketika perang dimenangkan pihak Ali, akan tetapi dalam perundingan dimenangkan pihak Muawiyah karena taktik politik yang dilancarkan Amru bin Ash. Dengan perundingan inilah kemudian umat Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu pengikut Ali yang setia atau yang dikenal dengan Syi’ah, kemudian yang menolak Ali dan Muawiyah lebih dikenal dengan Khawarij, dan yang terakhir adalah kelompok pendukung Muawiyah. Peristiwa ini terjadi sekitar akhir 40-an H. Kepemimpinan Islam selanjutnya dijabat oleh Muawiyah bin Abi Sufyan, atau yang disebut dengan masa Daulah Bani Umayyah.
Selanjutnya, karena Muawiyah berkuasa dan untuk melanggengkan kekuasaannya tersebut, kemudian membuat aliran keagamaan yang disebut dengan aliran Jabariyah. Doktrin ajaran yang dilancarkan Jabariyah, yaitu: “Semua yang terjadi di dunia ini adalah kehendak Allah, termasuk Muawiyah menang dari Ali juga termasuk kehendak Allah”. Pendeknya, doktrin yang diajarkan Jabariyah bahwa semua apapun yang dilakukan manusia adalah sudah dikehendaki dan diinginkan Allah. Dengan doktrin dan pemahaman ini, kemudian kehidupan masyarakat muncul banyak pengemis, ekonomi hancur, masyarakat banyak yang tidak berusaha karena lebih menjalankan rutinitas dan ritualitas, sampai-sampai mereka tidak mau mencari rizki.
Sebagai antitesa atas paham Jabariyah tersebut, muncullah paham Qodariyah yang dipelopori oleh cucu Ali bin Abi Thalib dengan nama Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib dengan doktrin pemahaman yang berlawanan, di mana: “Manusia ini yang berkehendak atau yang berkuasa, dan Allah tidak turut campur atas apa yang dilakukan manusia. Karena manusia berkehendak, maka Allah tidak turut campur, sehingga manusia harus bertanggungjawab atas perbuatannya tersebut”. Dari sinilah kemudian mulai ada reformasi (pembaharuan) pemikiran dalam masyarakat, yang kemudian Bani Umayyah dapat digulingkan dan digantikan oleh Daulah Bani Abbasiyah.
Aliran Qodariyah pada masa Bani Abbasiyah benar-benar dijadikan sebagai spirit pembangunan Negara, yang kemudian turunannya dengan sedikit modifikasi yang kita kenal dengan paham Mu’tazilah. Karena akal lebih mendominasi dalam pandangan dan prinsip Mu’tazilah, sehingga menimbulkan kebablasan dalam berfikirnya, karena semuanya diukur dengan akal dan kehendak manusia (akal mutlak). Sampai kemudian terjadi peristiwa ketika salah satu dari keturunan Bani Abbasiyah, yaitu masa khalifah Al-Ma’mun, menggunakan paham Mu’tazilah sebagai paham resmi negara, sehingga timbul korban yang tidak mengikuti paham tersebut untuk dibunuh dan lain sebagainya. Peristiwa ini dikenal dengan nama peristiwa Mihnah.[17]
Akhirnya lahirlah seorang ulama besar, yaitu Abu Hasan Al-Asy’ari yang dulunya sebagai pengikut setia Mu’tazilah kemudian menyatakan diri untuk keluar dan memproklamirkan kembali pada “maa anna alaihi wa ashabi”, sebuah kelompok di mana Rasulullah dan para Sahabat berada di dalamnya. Sebuah paham yang berada di tengah, tidak mengikuti dua kubu ekstrem Jabariyah maupun Qodariyah. Paham tengah ini yang kemudian oleh Abu Hasan Al-Asy’ari disebut sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah atau Aswaja. Dalam teologi Aswaja Asy’ari menyatakan bahwa “Manusia itu punya kehendak, dan kehendak itu diketahui oleh Allah. Manusia punya kehendak, tetapi kehendak itu dibatasi oleh takdir Allah”.
Aswaja yang dipelopori oleh dua ulama besar pada waktu itu, yaitu Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturudi adalah konstruksi dalam bidang teologi (tauhid). Kemudian dalam bidang fiqih lahirlah para ulama-ulama besar seperti Ahmad bin Hambal, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Hanafi, atau yang sering disebut dengan empat imam mazhab. Oleh sebab itu, Aswaja sering dikatakan dengan orang Islam yang secara teologi mengikuti ijtihad Abu Hasan Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturudi, dan secara fiqih mengikuti salah satu mazhab empat (Hambali, Maliki, Safi’i dan Hanafi), kemudian dalam bidang tasawuf mengikuti ijtihad imam Al-Ghazali.[18]
Aswaja sebagai sebuah aliran muncul karena respon terhadap aliran Mu’tazilah yang terkesan terlalu rasional sampai mengesampingkan pada sunnah. Dalam hal ini, maka Aswaja dibagi menjadi dua aliran, yaitu aliran Asy’ariyah yang dipelopori oleh Abu Hasan Al-Asy’ari, dan aliran Maturidiyah yang dipelopori Abu Mansur Al-Maturidi. Sedangkan Aswaja yang menyebar ke Indonesia adalah aliran Asy’ariyah dan menjelma menjadi Jam’iyyah Nahdlatul Ulama yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari.[19]
NU adalah organisasi yang didirikan oleh para ulama Nusantara dengan tujuan untuk memelihara agar tetap tegaknya ajaran Islam Aswaja di Indonesia. Dengan demikian, maka antara NU dan Aswaja mempunyai hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Artinya bahwa NU sebagai organisasi atau Jam’iyyah merupakan alat untuk menegakkan Aswaja, dan Aswaja merupakan akidah pokok Nahdlatul Ulama.
Menurut KH. Bisri Musthofa, Aswaja merupakan paham yang menganut pola mazhab fiqih empat, yaitu Imam Syafi’i, Hanafi, Hambali dan Maliki. Bidang tasawuf mengikuti Imam Junaidi al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali.[20] Aswaja juga disebut sebagai paham yang mengikuti Asy’ari dan Maturidi. Adapun konsep pemahaman Aswaja di sini yaitu Tasammuh, Tawasuth, Tawazun dan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar. Tawasuth (moderat) dimaknai sebagai sikap keberagamaan yang tidak terjebak terhadap hal-hal yang sifatnya ekstrem. Tasammuh sebagai sebuah sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang menerima kehidupan sebagai sesuatu yang beragam. Tawazun (seimbang) sebagai sebuah keseimbangan sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang bersedia memperhitungkan berbagai sudut pandang, dan kemudian mengambil posisi yang seimbang dan proporsional. Sedangkan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.[21]
Menilik perjalanan Aswaja sebagai sebuah pola berfikir dan bertindak adalah tidak terlepas dari sejarah masuknya Islam ke Indonesia dengan corak ke-sunni-annya. Di mana para ulama Sunni baik dari China, India maupun Timur Tengah sambil berdagang menyebarkan Islam ala Sunni dengan prinsip moderatnya, sehingga Islam dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat pribumi dengan elegan tanpa paksaan dan kekerasan. Dalam konteks ini, Islam mampu berdialektika dengan agama dan budaya lokal yang sudah berkembang, Hindu-Budha, Animisme, Dinamisme dan adat istiadat masyarakat setempat. Begitu juga yang dilakukan oleh para Walisongo, mereka mampu mengislamkan Jawa dengan wajah moderatnya. Ini artinya bahwa sebenarnya model Islam yang seperti ini (Sunni, moderat, mengedepankan maslahah dan menghilangkan madharat) yang sejak awal berkembang dan bisa diterima oleh masyarakat Indonesia, bukan Islam yang selalu mengafirkan atau mensyirikkan orang lain dan menuduh sesat (bid’ah) terhadap mereka yang berseberangan pendapat yang menyangkut pengembangan tradisi masyarakat dan pemikiran keagamaan. Maka dari itu, nilai Islam sebagai agama universal (rahmatan lil ‘alamin), dan universalitas ajarannya menjadi kelihatan semakin nyata.
Pada perkembangan berikutnya, lahirlah doktrin Aswaja ala NU yang dimotori oleh KH. Hasyim Asy’ari yang dengan tekstual menjadikan Al-qur’an dan hadist sebagai landasan utamanya, serta fiqih (ijma’, qiyas dan maslahatul mursalah) sebagai landasan kontekstualnya. Sehingga, dari kedua landasan tersebut, lahirlah suatu dialektika antara teks dengan konteks dalam mengambil keputusan, tindakan, pemikiran dan lainnya. Maka, tidak ada lain pola pikir yang dikedepankan adalah menolak bahaya (madharat) dan mendatangkan kebaikan (maslahah) dengan mengedepankan prinsip umum, yaitu “al muhâfazhah alâ al qadîm al shalîh wa al akhzu bil jadidî al ashlâh”, menjaga tradisi lama yang baik dan mengembangkan (kreatif) sesuatu baru yang lebih baik.
Ahlussunnah Wal Jama’ah Ala PMII
Pergerakan Mahasiswa Islan Indonesia atau PMII memaknai Aswaja sebagai manhaj al-fikr, yaitu metode berfikir yang digariskan oleh para Syahabat Nabi dan Tabi’in, yang sangat erat kaitannya dengan situasi politik dan sosial yang meliputi masyarakat muslim waktu itu. Dari manhaj al-fikr inilah kemudian lahir pemikiran-pemikiran keislaman baik di bidang akidah, syari’ah maupun akhlak (tasawuf), yang walaupun beranekaragam tetap berada dalam satu ruh, yakni ruh pergerakan. PMII juga memaknai Aswaja sebagai manhaj al-taghayyur al-ijtima’i, yaitu pola perubahan sosial-kemasyarakatan yang sesuai dengan nafas perjuangan Rasulullah Saw dan para Sahabatnya. Pola perubahan ini akan kita lihat nanti dalam arus sejarah peradaban masyarakat muslim. Inti yang menjadi ruh pergerakan dan pemikiran Aswaja ala PMII, yakni sebagai manhaj al-fikr maupun manhaj al-taghayyur al-ijtima’i tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan segala sesuatu yang datang dari Rasul dan para Sahabatnya (ma ana ‘alaihi wa ashabi). Dari inti tersebut kemudian diejawantahkan ke dalam empat nilai, yakni nilai Tawasuth (moderat), Tasammuh (toleran), Tawazun (keseimbangan) dan Ta’adul (keadilan).
Bagi PMII, dengan memandang gagasan Aswaja sebagai manhaj al-fikr, dirasa sangat perlu dan relevan dalam konteks perkembangan zaman, selain karena alasan muatan doktrinal Aswaja yang selama ini dipahami dan ditafsirkan terkesan terlalu kaku. Maka dari itu, bagi PMII Aswaja dipahami dan dijadikan sebagai manhaj. Dengan spirit pemahaman ini, sehingga Aswaja menjadi lebih fleksibel dan memungkinkan bagi pengamalannya untuk menciptakan ruang dialektika, kreativitas dan mampu menciptakan ikhtiar-ikhtiar baru untuk menjawab peluang, tantangan dan perubahan zaman yang semakin hari semakin kompleks.
Dari beberapa uraian penjelas tersebut di atas, maka bagi PMII Aswaja itu dijadikan sebagai ruang untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna bagi setiap waktu, tempat dan zaman. Islam tidak diturunkan untuk sebuah masa dan waktu tertentu, melainkan kehadirannya dibutuhkan sepanjang masa dan akan selalu relevan. Relevansi Islam sangat bergantung pada kita (pemeluk dan penganutnya) dalam memperlakukan dan mengamalkan Islam. Maka dari itu, di sini PMII melihat Aswaja sebagai pilihan yang paling tepat di tengah kenyataan masyarakat kepulauan Indonesia yang beragam dalam etnis, budaya maupun agama.
Konklusi
Berbagai ragam budaya, agama dan keyakinan hidup di Indonesia. Sebelum Islam masuk ke Indonesia, di mana agama Hindu, Budha dan kepercayaan seperti Animisme dan Dinamisme sempat menjadi kepercayaan mayoritas di Nusantara. Keduanya, beserta kepercayaan asli penduduk Nusantara (animisme-dinamisme), memberikan dasar sosio-budaya yang kuat di dalam masyarakat. Konteks sosio-budaya yang telah terbangun itu berbeda dengan konteks sosio-budaya di Arab Saudi ketika Islam diturunkan, sehingga warna Islam yang diterima dan hidup di Indonesiapun memiliki perbedaan dengan Islam di Arab sana. Dalam konteks Mazhab, Islam Indonesia mayoritas menganut Syafi’i. Islam Indonesia terbentuk dari pertemuan dan dialektika antara nilai-nilai universal Islam (keadilan, kesederajatan, kasih-sayang) dengan budaya lokal setempat.[]
Referensi
Abdurrahman Mas’ud. 2004. Antologi Studi Agama dan Pendidikan. Semarang: Aneka Ilmu.
Aden Wijdan SZ. dkk. 2007. Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Safiria Insania Press.
Mujamil Qomar. 2002. NU Liberal; Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam. Bandung: Mizan.
M. Amin Syukur, et. all. 2011. Islam Agama Santun. Semarang: RaSAIL Media Group.
Nurcholish Madjid, (ed). 1984. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
______. 2008. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina Bekerjasama dengan Dian Rakyat.
Nur Sayyid Santoso Kristeva. 2014. Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikiran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mushaf Famy bi Syauqin. 2016. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Tangerang: Forum Pelayan Al-Qur’an.
[1] Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha mengetahui, Maha mengenal.” Lihat: Mushaf Famy bi Syauqin, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Tangerang: Forum Pelayan Al-Qur’an, 2016), hlm. 517.
[2] Takwil adalah pengertian yang tersirat yang diistimbatkan dari ayat Al-qur’an berdasarkan alasan-alasan tertentu. Atau bisa juga diartikan bahwa takwil itu sebagai ungkapan tentang pengambilan makna dari lafadz yang bersifat probabilitas (kemungkinan) yang didukung oleh dalil, sehingga menjadikan arti lebih kuat dari makna yang diajukan oleh lafadz zahir.
[3] Aden Wijdan SZ. dkk., Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2007), hlm. 46.
[4] Nur Sayyid Santoso Kristeva, Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikiran Ahlussunnah Wal Jama’ah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 179.
[5] Ibid., hlm. 191.
[6] Aden Wijdan SZ. dkk., Op. Cit., hlm. 47.
[7] Ibid. Lihat Juga: Nur Sayyid Santoso Kristeva, Op. Cit., hlm. 179.
[8] Ibid.
[9] Sinkretis adalah paham atau aliran yang merupakan perpaduan dari beberapa paham yang berbeda, dengan tujuan untuk mencari keserasian, keseimbangan dan lain sebagainya.
[10] Ibid., hlm. 179-180.
[11] Aden Wijdan SZ. dkk., Op. Cit., hlm. 49-50.
[12] Nurcholish Madjid, (ed), Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 74.
[13] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina Bekerjasama dengan Dian Rakyat, 2008), hlm. 351.
[14] Abdurrahman Mas’ud, Antologi Studi Agama dan Pendidikan, (Semarang: Aneka Ilmu, 2004), hlm. 127-128.
[15] Asas universalitas budaya itu diakui Islam karena unsur budaya lokal dari manapun sepanjang tidak bertentangan dengan asas teologi kebudayaan Islam (tauhid) dan asas kemanfaatan budaya (rahmatan lil ‘alamin) dapat diadopsi dan dilestarikan. Para ulama fiqih telah mengembangkan perangkat metodologis untuk mengakomodasi keberadaan adat budaya setempat sebagai bagian sumber hukum alternatif melalui konsep ‘urf. Lihat: M. Amin Syukur, et. all., Islam Agama Santun, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2011), hlm. 177.
[16] Dalam sebuah hadits dijelaskan: “Sesungguhnya Bani Israil akan terpecah menjadi 70 golongan, dan umatku terpecah menjadi 73 golongan dan semuanya masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu golongan di mana Aku dan Sahabatku berada.” Lihat: Nur Sayyid Santoso Kristeva, Op. Cit., hlm. 165.
[17] Sebuah peristiwa berdarah yang menelan ribuan korban kaum muslimin. Bagi mereka yang tidak menerima kemakhlukan Al-qur’an dihukum dan diasingkan bahkan dieksekusi. Banyak dari kaum muslimin yang memilih ikut untuk mengakui pernyataan tersebut, namun tidak sedikit pula yang tetap dalam pendiriannya, seperti Ahmad bin Hambal yang tetap bersikeras dengan pendiriannya yang akhirnya menjadikannya sebagai tawanan.
[18] Ibid., hlm. 165-171.
[19] Pada tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiyai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiyai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama Jawa Timur dan Jawa Tengah. Cikal bakal berdirinya perkumpulan para ulama yang kemudian menjelma menjadi NU tidak terlepas dari sejarah khilafah. Ketika itu, tanggal 3 Maret 1924 Majelis Nasional yang bersidang di Ankara mengambil keputusan bahwa: “Khalifah telah berhasil tugas-tugasnya. Khilafah telah dihapuskan karena khilafah, pemerintah dan republik semuanya menjadi gabungan dalam berbagai pengertian dan konsepnya”. Lihat: Ibid., hlm. 199.
[20] Mujamil Qomar, NU Liberal; Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 62.
[21] Nur Sayyid Santoso Kristeva, Op. Cit., hlm. 175.