A.
Pendahuluan
Tujuan pendidikan Islam tidak lain adalah membentuk
pribadi muslim yang utuh, baik jasmani maupun ruhani. Pendidikan Islam juga memiliki
tujuan mengembangkan setiap fitrah (potensi)
yang ada dalam diri manusia, memiliki pribadi yang religius dan sekaligus menumbuh-suburkan
hubungan harmonis manusia dengan alam
semesta.
Pendidikan
Islam mengajarkan setiap manusia umumnya dan umat Islam
khususnya untuk mencapai dan
mewujudkan sebuah tujuan yang sesungguhnya, yakni agar
selalu taat dan mengabdi kepada Allah Swt. Tujuan ini merupakan
dasar yang paling utama sebagai bentuk pengabdian manusia kepada
Tuhannya.
Semenjak lahir, manusia dianugrahi fitrah (potensi) yang melekat dalam dirinya. Oleh
sebab itu maka manusia
harus selalu berusaha untuk mengembalikan dirinya pada kondisi semula, yakni pada kondisi suci. Namun tidak semua manusia tunduk
dan patuh kepada Allah. Ketidak patuhan
tersebut salah satunya yaitu tidak
di dasarinya pendidikan dasar Islam
yang seharusnya diajarkan saat manusia (anak) terlahir
kedunia. Maka dari itu,
setiap orang tua berperan sebagai
pembimbing dan sekaligus
pendidik bagi anak-anaknya, sehingga ia menjadi anak
yang beriman dan bertaqwa kepada
Allah Swt.
B.
Pengertian
Pendidikan Islam
Pendidikan
Islam secara umum, dan kemudian dihubungkan dengan Islam—sebagai suatu sistem
keagamaan—menimbulkan pengertian-pengertian baru yang secara implisit
menjelaskan karakteristik yang dimilikinya. Azyumardi Azra menjelaskan bahwa “pendidikan
itu lebih dari sekedar pengajaran (proses transfer ilmu belaka), namun
pendidikan merupakan transformasi nilai dan pembentukan kepribadian dengan
segala aspek yang dicakupnya”.[1]
Dari
penjelasan Azra tersebut, lebih menekankan perbedaan antara pendidikan dengan
pengajaaran yang penekanannya pada pembentukan kesadaran dan kepribadian
peserta didik disamping transfer ilmu atau pengetahuan (transfer knowlwdge)
dan keahlian. Lebih lanjut Azra menjelaskan:
Pendidikan dengan seluruh totalitasnya
dalam konteks Islam inheren dalam konotasi istilah “tarbiyah”, “ta’lim”
dan “ta’dib” yang harus dipahami secara bersama-sama, dan dari ketiga
istilah inilah yang mengandung makna yang menyangkut manusia, masyarakat,
lingkungan yang hubungannya dengan Tuhan dan saling berkaitan satu sama lain.
istilah inilah yang mencakup ruang lingkup pendidikan Islam, baik formal,
informal dan non formal.[2]
Secara
lebih rinci, Toto Suharto menjelaskan pengertian pendidikan Islam sebagai
berikut:
Pendidikan Islam merupakan suatu proses
penataan individual dan sosial yang dapat menyebabkan seseorang tunduk dan taat
kepada Islam dan menerapkannya secara sempurna dalam kehidupan individu dan masyarakat.[3]
Senada
dengan Toto Suharto, Yusuf al-Qardawi memberikan pengertian pendidikan Islam
sebagai berikut:
Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia
seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan Jasmaninya, akhlak dan ketrampilannya.
Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan
damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan
segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.[4]
Dari
penjelasan dan uraian tersebut diatas, dapat diambil kesimpulan sederhana bahwa
para ahli pendidikan Islam berbeda pendapat mengenai pengertian pendidikan
Islam. Sebagian ada yang menitik beratkan segi pembentukan akhlak anak,
sebagian lagi menuntut pendidikan teori dan praktik, sebagian yang lain agar terwujudnya
kepribadian yang muslim. Namun dari perbedaan tersebut, terdapat titik persamaan
yang secara ringkas bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan yang dilakukan oleh
seorang dewasa kepada terdidik dalam masa pertubuhan agar ia memiliki
kepribadian muslim.
C.
Dasar
Pendidikan Islam
Disamping
pengertian dari pendidikan Islam tersebut diatas, pendidikan Islam juga harus
diletakkan pada prinsip atau dasar-dasar dari pendidikan Islam itu sendiri.
Dasar-dasar pembentukan dan pengembangan pendidikan Islam yang pertama dan
utama adalah al-Qur’an dan Sunnah. Dan untuk selanjutnya adalah nilai sosial
kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah atas
prinsip mendatangkan kemanfaatan dan menjauhkan dari kemadharatan bagi
menusia. Kemudian warisan pemikiran Islam juga merupakan dasar penting dalam pendidikan Islam sebagai rujukan penting pengembangan pendidikan
Islam.[5]
D.
Tujuan
Pendidikan Islam
Pendidikan
Islam merupakan salah satu aspek dari ajaran Islam itu sendiri, tentunya secara
keseluruhan (universal). Oleh sebab itu, tujuan umum dari pendidikan
Islam tidak lain yaitu tujuan hidup manusia dalam Islam, yang menurut Azra
adalah “untuk menciptakan pribadi hamba Allah yang selalu bertaqwa kepadan-Nya,
dan mencapai kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun akherat”.[6]
Lebih
lanjut Azra menjelaskan bahwa “ketika masuk dalam konteks sosial (masyarakt,
bangsa dan negara) pribadi bertaqwa ini dapat menjadi rahmatan lil ‘alamin,
baik skala kecil maupun besar”.[7] Dengan tujuan inilah
yang menurut Azra sebagai tujuan akhir dari pendidikan Islam.
Senada
dengan pernyataan tersebut, menurut Muhammad Abduh “tujuan dari pendidikan
Islam adalah untuk mendidik akal dan jiwa manusia dan menyampaikannya pada
batas-batas kemungkinan seorang mencapai kebahagiaan di dunia dan akherat”.[8]
Dari
penjelasan dan uraian tentang tujuan pendidikan Islam tersebut, dapat dipahami secara
sederhana bahwa pendidikan Islam menginginkan anak didik agar memiliki pribadi dan
struktur jiwa yang seimbang yang tidak hanya menekankan pengembangan akal, namun
juga pengembangan spiritual.
Selanjutnya,
dalam kaitannya dengan proses pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai upaya
atau proses pencarian, pembentukan dan pengembangan sikap dan perilaku untuk
mencari, mengembangkan, memelihara, serta menggunakan ilmu dan seperangkat
teknologi atau keterampilan demi kepentingan manusia sesuai dengan ajaran
Islam. Oleh sebab itu, pada hakikatnya bahwa tujuan pendidikan Islam merupakan sebuah
proses pelestarian dan penyempurnaan kultur Islam yang selalu berkembang dalam
proses transformasi budaya yang berkesinambungan diatas ketetapan wahyu yang
merupakan nilai universal.
Oleh
sebab itu—berdasarkan beberapa dari tujuan pendidikan Islam yang telah diuraikan
diatas—paling tidak memiliki tujuan yang pasti bagi manusia (anan didik), yakni
manusia sebagai khalifah di bumi. Ketika Allah pertama kali
memperkenalkan misi manusia untuk mendiami bumi, yaitu sebagai sebagai khalifah
di muka bumi (sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat
30-34),[9] Malaikat menduga bahwa yang
bakal terjadi adalah penguasaan manusia atas manusia sehingga akan menimbulkan
pertumpahan darah dan kerusakan di atas bumi sebagaimana pengalaman historis
yang berhasil diamati oleh Malaikat. Sementara Malaikat sendiri mengaku bahwa
merekalah (para Malaikat) yang senantiasa bertasbih, memuji kebesaran dan
mensucikan Allah.
Ternyata,
yang dikehendaki Allah dalam mengemban tugas khalifah di bumi adalah
bukan penguasaan manusia atas manusia, akan tetapi tugas kependidikan yang
merupakan konsekwensi dari tanggungjawab intelektual Adam—yang telah diajar oleh Allah—untuk menegakkan kebenaran (inkuntum
shadiqin). Pengakuan Malaikat atas kebenaran ilmiah adalah merupakan sikap
ibadah (sujud) dan pengingkaran (iblis) atas kebenaran ilmiah
tersebut merupakan sikap organisme yang bertentangan dengan nilai-nilai
agama, inilah yang disebut dengan kekafiran.
Oleh
sebab itu, maka proses pendidikan dalam hal ini adalah satu proses untuk
mengubah dan mengangkat harkat, derajat dan martabat manusia (Adam) dari
sesamanya (Malaikat dan Iblis).
Logika
yang dapat ditarik dari surah al-Baqarah ayat 30-34 adalah untuk menghentikan
pertumpahan darah dan pengrusakan bumi, tidak cukup dengan bertasbih, memuji
kebesaran Allah, apalagi dengan kesombongan, melainkan harus ditegakkan dengan
kebenaran. Demikian pula, menegakkan kebenaran tidak cukup hanya dengan
bertasbih dan memuji kebesaran Tuhan, melainkan harus melalui proses pendidikan
dengan memberi penghormatan terhadap kebenaran ilmiah.
Oleh
sebab itu, sebagaimana dijelaskan oleh Chabib Thoha bahwa:
Hakikat pendidikan Islam bukan untuk
meleburkan sifat dan potensi insani kedalam sifat dan potensi Malaikiyah,
melainkan justru merupakan proses pemeliharaan dan penguatan sifat dan potensi insane,
sehingga dapat menumbuhkan kesadaran untuk menemukan kebenaran.[10]
Maka
dari itu, berdasar atas uraian dan penjelasan tersebut diatas, dapat dipahami
disini bahwa dalam kaitannya dengan proses pendidikan Islam adalah sebuah upaya
atau proses, pencarian, pembentukan dan pengembangan sikap dan prilaku untuk
mencari, mengembangkan, memelihara, serta menggunakan ilmu dan seperangkat
teknologi atau keterampilan demi kepentingan manusia sesuai dengan ajaran
Islam. Oleh sebab itu, pada hakikatnya bahwa proses pendidikan Islam merupakan suatu
proses pelestarian dan penyempurnaan kultur Islam yang selalu berkembang dalam
proses transformasi budaya yang berkesinambungan di atas ketetapan wahyu yang
merupakan nilai universal.
Daftar Pustaka:
Azra, Adzyumardi.
2012. Pendidikan Islam; Tradisi dan
Modernisasi Ditengah Tantangan Melinium III. Jakarta: Kencana.
Suharto, Toto. 2011.
Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Syamsul, Kurniawan
dan Mahrus, Erwin. 2011. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
Departemen
Agama RI. 1989. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putra
Semarang.
Thoha,
Chabib, M. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
[1] Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi
Ditengah Tantangan Melinium III, cet pertama, (Jakarta: Kencana, 2012),
hal. 4.
[3] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, cet pertama,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 22.
[7] Ibid.,
hal. 8.
[8]
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, cet
pertama, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 123.
[9]) Artinya: (30). Ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (31). Dan Dia mengajarkan kepada
Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para
Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
kamu mamang benar orang-orang yang benar! (32). Mereka menjawab: "Maha
Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan
kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana". (33). Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada
mereka nama-nama benda ini". Maka setelah diberitahukannya kepada mereka
nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu,
bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa
yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan? (34). Dan (ingatlah) ketika
Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam,"
maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia
termasuk golongan orang-orang yang kafir. Surat Al-Baqarah (01): 30-34. Lihat: Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra Semarang,
1989), hal. 13-14.
[10] M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, cet pertama,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 32.
0 comments: