Sunday, February 25, 2018

EPISTEMOLOGI

EPISTEMOLOGI

Epistemologi berasal dari Yunani yaitu 'episteme' yang berarti pengetahuan (knowledge), dan 'logos' yang berarti teori (theory).[1] Episteme juga diartikan dengan sains (science) dan logos yang berarti informasi (information)[2] atau penjelasan (explanation).[3] Telah banyak para ahli membuat definisi epistemologi, namun masih terdapat pengertian yang berbeda-beda, baik pada redaksi maupun substansinya.

Menurut Sudjarwo, epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Sedangkan contoh persoalan epistemologi adalah bagaimana manusia dapat mengetahui sesuatu dan bagaimana pengetahuan itu dapat diperoleh.[4] 

Menurut Qadwah, jika epistemologi sebagai bagian dari filsafat ilmu, maka didalamnya membahas tiga hal; (1) kemungkinan pengetahuan yang dapat dicapai oleh manusia apakah sampai pada substasi atau hakikat sesuatu; (2) objek pengetahuan, dan; (3) alat atau sumber pengetahuan apakah ilmu tersebut dicapai dengan akal, perasaan atau panca indra.[5] 

Al-Kurdi memberi padanan epistemologi dengan istilah 'nazhariyat al-ma’rifah' yang berarti teori ilmu (nazhariyat al-‘ilm) atau filsafat ilmu (falsafat al-‘ilm), yang menurutnya bahwa epistemologi berisi pembahasan tentang dasar ilmu (ashl), hakikat (mâhiyah), batasan (imkân), metode (thÈ—ruq), tabiat dan nilainya.[6] 

Epistemologi berusaha mendefinisikan ilmu pengetahuan, membedakan cabang-cabangnya yang pokok, mengidentifikasi sumber-sumbernya dan menetapkan batasannya. Sedangkan epistemologi sebagai medium resmi sehingga didalamnya membicarakan perolehan pengetahuan yang benar memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah sebagai parameter, filter, dan penentu arah berfikir.[7] Sebagai parameter, epistemologi memetakan apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin menurut bidang bidangnya, apa yang mungkin diketahui dan harus diketahui, apa yang mungkin diketahui tetapi lebih baik tidak usah diketahui, dan apa yang sama sekali tidak mungkin diketahui.

Jadi, epistemologi berfungsi sebagai penentu cara dan arah berfikir manusia. Seseorang dapat menjelaskan sesuatu dengan bertolak dari teori yang bersifat umum menuju detail-detailnya dengan menggunakan pendekatan deduktif. Sebaliknya, ada yang cenderung bertolak dari gejala-gejala yang sama dan baru dirakit kesimpulan secara umum dengan menggunakan metode induktif. Sekaligus corak berfikir seseorang seperti ini berimplikasi terhadap corak sikap dan perilakunya.

Dari uraian dan penjelasan tersebut diatas, dapat diketahui bahwa epistemologi bertujuan untuk menjelaskan seluk beluk atau tata kerja ilmu dari sisi sumber, struktur, metodologi, ukuran, hakikat dan objek. Meskipun epistemologi tidak memiliki tujuan untuk memperoleh pengetahuan, akan tetapi akan lebih penting ialah ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan itu sendiri.

Referensi:

Redja Mudyahardjo. (2004). Filsafat Ilmu Pengetahuan; Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
William L. Reese, et.al. (1996). Dictionary of Philosophy and Religion. New York: Humanity Books, 1996.
Robert Audi, at.al. (1999). The Cambridge Dictionary of Philoshopy. London: Cambridge University Press.
Basrowi Sudjarwo. (2006). Filsafat pendidikan. Surabaya: Yayasan Kampusin.
Shalah Qadwah. (1987). Falsafah al-‘ilm. Kairo: Dâr al-Thaqâfah wa al-Nashr wa al-Tauzî.
Rajih Abd al-Hamid al-Kurdi. (1992). Nazhariyat al-Ma’rifat bain al-Qur’an wa al-Falsayah. Riyâd: Maktabah al-Muayadah.
Mujammil Qomar. (2005). Epistemologi Pendidikan Islam; dari metode Rasional Hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga.



[1] Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pengetahuan; Suatu Pengantar, Cet. I, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 7.
[2] William L. Reese, et.al., Dictionary of Philosophy and Religion, (New York: Humanity Books, 1996), hal. 215
[3] Robert Audi, at.al., The Cambridge Dictionary of Philoshopy, (London: Cambridge University Press, 1999), hal. 273.
[4] Basrowi Sudjarwo, Filsafat pendidikan, Cet. I, (Surabaya: Yayasan Kampusin, 2006), hal. 14.
[5] Shalah Qadwah, Falsafah al-‘ilm, (Kairo: Dâr al-Thaqâfah wa al-Nashr wa al-Tauzî, 1987), hal. 26.
[6] Rajih Abd al-Hamid al-Kurdi, Nazhariyat al-Ma’rifat bain al-Qur’an wa al-Falsayah, (Riyâd: Maktabah al-Muayadah, 1992), hal. 63.
[7] Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam; dari metode Rasional Hingga Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2005), hal. 27.

Saturday, February 24, 2018

MEMOTRET HAKIKAT PENDIDIKAN ISLAM

MEMOTRET HAKIKAT PENDIDIKAN ISLAM

Pendidikan Islam pada hakikatnya adalah proses perubahan menuju kearah yang positif. Dalam konteks sejarah perubahan yang positif ini adalah jalan Tuhan yang telah dilaksanakan sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Pendidikan Islam dalam konteks perubahan kearah yang positif tersebut identik dengan kegiatan dakwah yang biasanya dipahami sebagai upaya untuk menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat. Sejak wahyu pertama diturunkan dengan program iqra’ (membaca) bahwa pendidikan Islam praksis telah lahir, berkembang, dan eksis dalam kehidupan umat Islam, yakni sebuah proses pendidikan yang melibatkan dan menghadirkan Tuhan. Membaca sebagai sebuah proses pendidikan dilakukan dengan menyebut nama Tuhan yang menciptakan.

Korelasi pendidikan dengan Tuhan tersebut, secara profetik dipandu oleh kitab suci al-Qur’an, dan Nabi sebagai utusan Allah (Rasul) yang memiliki tugas utama menyampaikan wahyu kepada umat manusia secara berangsur-angsur sesuai dengan konteksnya. Proses pewahyuan yang berangsur-angsur tersebut, selain dimaksudkan untuk menjaga agar hidup manusia tidak terlepas dari bimbingan Tuhan, juga menunjukan bahwa wahyu selalu berdialog dengan lingkungan dan alam manusia. Pada saat Nabi menyampaikan wahyu maka hal ini juga berarti beliau juga menyampaikan ilmu dan kebenaran kepada umat manusia. Ia merasa senang dan gembira terhadap ilmu, sehingga wahyu yang diterima kemudian digunakan untuk menggalakkan pendidikan bagi pengikut-pengikutnya. Nabi juga melakukan kampanye bahwa orang yang mengajar orang lain akan memperoleh pahala besar. Orang yang beriman dan berilmu juga akan mendapatkan derajat yang tinggi dan mulia. Pada hakikatnya pelaksanaan pendidikan Islam pada awal kebangkitannya digerakkan oleh Iman dan komitmen yang tinggi terhadap ajaran agamanya.[1] 

Oleh sebab itu maka esensi pendidikan Islam pada hakikatnya terletak pada kriteria iman dan komitmennya terhadap ajaran agama Islam. Hal tersebut sejalan dan senada dengan definisi pendidikan Islam yang sajikan oleh Ahmad D. Marimba, menurtnya pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan ruhani berdasarkan hukum-hukum ajaran Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam, yaitu kepribadian muslim.[2] 

Dari pengertian pendidikan Islam menurut Marimba diatas, minimal memuat tiga unsur pokok yang mendukung pelaksanaan pendidikan Islam, yakni; pertama, usaha berupa bimbingan dan pimpinan bagi pengembangan potensi jasmaniyah dan ruhaniyah secara seimbang; kedua, usaha tersebut didasarkan atas ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad, dan; ketiga, usaha tersebut diarahkan pada upaya untuk membentuk dan mencapai kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang di dalamnya tertanam nilai-nilai Islam. Jika nilai-nilai tersebut telah tertanam dengan baik, maka peserta didik akan mampu meraih derajat insan kamil, yakni manusia paripurna atau manusia ideal.

Seorang yang mematuhi hukum Islam dengan baik, benar, jujur, dan ikhlas, maka dia akan tumbuh menjadi manusia yang stabil atau seimbang, yang pada gilirannya manusia tersebut dapat mencapai tujuannya, yakni menjadi pemimpin dimuka bumi (khalifatullah fil ardl) dengan baik dan sukses. Manusia yang telah berkepribadian muslim maka berarti dia telah berkepribadian utama. Dari sini dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam sebenarnya lebih terfokus pada pengembangan akhlaq mulia (akhlaqul karimah) yang dipandu dengan ilmu-ilmu sosial, eksakta dan humaniora.

Seiring dengan sisi penting akhlaq dan kepribadian mulia sebagai inti pendidikan maka sangat tepat apa yang dinyatakan dari hasil rumusan Kongres se-Dunia II tentang pendidikan Islam. Melalui seminar tentang konsepsi dan kurikulum pendidikan Islam tahun 1980, dengan tegas dinyatakan bahwa:
“Pendidikan Islam ditujukan untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan pribadi manusia secara menyeluruh melalui latihan-latihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan, dan panca indra. Oleh karena itu, pendidikan Islam harus mengembangkan seluruh aspek kehidupan manusia, baik spiritual, intelektual, imaginasi (fantasi), jasmaniyah, keilmiahannya, bahasanya, baik secara individual maupun kelompok, serta mendorong aspek-aspek tersebut kearah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup.[3]
Berdasarkan atas apa yang dinyatakan tersebut diatas, maka pendidikan Islam pada hakikatnya menekankan pada tiga hal pokok, yaitu: (1) suatu upaya pendidikan dengan menggunakan metode-metode tertentu, khususnya metode latihan untuk mengembangkan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan, dan panca indra; (2) yang dikembangkan mencakup seluruh aspek kehidupan manusia baik spiritual, intelektual, imaginasi (fantasi), jasmaniyah, keilmiahannya hingga bahasanya, baik secara individual maupun kelompok; (3) tujuan pendidikan yang ingin dicapai adalah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup.


Referensi:

Ahmad D. Marimba. (1998). Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif.
Hasan Langgulung. (1988). Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21. Jakarta: Pustaka Al-Husna.


[1] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988), hal. 5-6.
[2] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, (1998), hal. 23.
[3] Ibid., hal. 16.

Friday, February 23, 2018

TANTANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI ERA TEKNOLOGI INFORMASI

TANTANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI ERA TEKNOLOGI INFORMASI


Diskurus mengenai pendidikan memang amat menarik. Dikatakan menarik karena seluruh persoalan hidup dan kehidupan manusia ditandai dengan kegiatan belajar mengajar atau pendidikan. Lebih dari itu, sampai-sampai Rasullah Saw sendiri dalam haditsnya menyebutkan betapa pentingnya pendidikan itu: “Carilah ilmu itu sejak dari buaian hingga keliang lahat.” Sedemikian pentingnya pendidikan bagi manusia, hingga diskursus mengenai pendidikan seakan tidak pernah berakhir, dan setiap kali pendidikan dibicarakan maka selalu menarik dan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan besar.
Tak pelak lagi bahwa era globalisasi seperti sekarang ini dimana era reformasi teknologi-informasi, dimana era digital, internet, android serta smartphone yang begitu mendunia benar-benar menampilkan wajah yang berbeda dari era-era sebelumnya. Salah satu bentuk keberhasilan era ini adalah menyebarnya umat manusia disegala penjuru dunia yang membuat setiap individu tidak lagi terhalangi untuk mengakses perkembangan dan penemuan ilmu pengetahuan yang bergerak cepat dalam setiap harinya.
Sebagaimana perkembangan masyarakat dunia menuju masyarakat informasi (informatical society) dimana elektronika memegang peranan penting, dan bahkan menentukan corak kehidupan manusia. Lewat smartphone yang menjadi teman hidup dalam kesehariannya sehingga manusia mampu memasuki lingkungan informasi dunia. Elektronik seperti laptop, browser lewat internet telah sanggup mengankses informasi sampai pelosok dunia. Dengan pencarian lewat mesin Google, apapun informasi yang kita mau baik video, tulisan, gambar dan lainnya langsung tampil dengan cepatnya. Itulah keberhasilan teknologi saat ini, sehingga manusia benar-benar dimanjakan dengan hadirnya teknologi yang sangat modern dan canggih.
Disamping keberhasilan-keberhasilan dunia teknologi informasi tersebut, ternyata sisi yang lain telah muncul persoalan-persoalan dalam diri manusia maupun masyarakat yang begitu nampak dipermukaan akhir-akhir ini. Suatu kondisi dimana manusia sudah tidak bisa lagi beraktivitas tanpa disertai teknologi. Sehingga muncul penilaian negatif bahwa manusia saat ini benar-benar telah kecanduan teknologi yang tidak lain adalah dampak buruk yang bisa mengurangi nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karenanya, berbicara pendidikan Islam di era global berarti membicarakan kehidupan masa depan manusia yang teramat musykil, dan sering kali digambarkan sebagai keadaan yang penuh kesulitan dan tantangan bagi manusia, baik sebagai individu, masyarakat maupun kelompok-kelompok dan termasuk didalamnya bangsa dan seluruh penghuni bumi ini.
Manusia saat ini sedang mengalami suatu cobaan yang dahsyat, dimana umat manusia menjadi penghuni dunia yang tidak menentu, padat penduduknya dan sangat kompetitif. Sehingga manusia saat ini harus belajar hidup dengan perubahan yang terus menerus dengan ketidakpastian dan ketidakmampuan dalam memperhitungkan apa yang akan terjadi (upredictability).
Era globalisasi dunia saat ini, seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi disamping mendatangkan kebahagiaan juga menimbulkan masalah etis dan kejiwaan baru bagi manusia yang berdampak pada nilai sosiologis, sisi psikologis hingga menuju persoalan teologis. Dengan teknologi informasi yang semakin hari semakin canggih dan hampir semua pelosok dunia dapat segera diketahui. Dengan revolusi informasi dan teknologi tersebut, dunia saat ini dianalogikan sebagai sebuah desa transparan atau tembus pandang. Dunia semakin terasa kecil dan semakin mengglobal, namun sebaliknya privacy seakan sudah tidak ada lagi. Demikian juga ketergantungan (interdependency) antar bangsa semakin besar, yaitu dengan sistem yang telah, sedang dan yang akan berkembang menyebabkan timbulnya perubahan-perubahan yang terus menerus.
Banyaknya perubahan-perubahan dan peristiwa-peristiwa yang sebelumnya belum pernah terbayangkan oleh manusia sehingga menyebabkan keseimbangan hidup dan kehidupannya mengalami kegoncangan (shock) yang berakibat pada munculnya gejala ketidakpastian tentang masa depan yang akan dilaluinya. Perubahan yang terjadi juga mempengaruhi nilai-nilai yang selama ini dianut oleh manusia menjadi krisis nilai, yakni nilai-nilai kemasyarakatan yang dulunya dipegang teguh dalam kehidupan sebagai sarana penentu dalam segala aktivitas, kini kehilangan makna dan fungsi dalam hidupnya. Akibatnya manusia semakin individualistik, egois dan bahkan manusia sekarang mengidap penyakit a-sosial.
Lebih jauh dari itu bahwa alat-alat produksi baru yang dihasilkan teknologi modern dengan proses mekanis, otomatis dan standarisasinya menyebabkan manusia menjadi elemen yang mati dari proses produksi dan menjadi perbudakan baru. Manusia yang semula merdeka kini telah diturunkan derajatnya menjadi mesin raksasa teknologi modern. Pandangan tentang manusia sudah terreduksi, karena nilai manusia terdegradasi oleh pola kerja teknologi yang mekanistik dan jauh dari nilai-nilai sosial-moral, sehingga manusia terbelenggu oleh proses teknologi yang ada.
Dari kenyataan tersebut diatas, kemudian muncul rasa takut dan putus harapan yang membuat manusia cenderung mengalami kehampaan jiwa (anomi) dan keterasingan hidup (alienasi) baik oleh dirinya, sesamanya dan masyarakatnya. Dalam keterasingan tersebut manusia semakin pesimis melihat diri dan masa depannya. Manusia digambarkan telah menderita kesepian, kebosanan dan kesia-siaan. Sebagaimana digambarkan oleh Syahrin Harahap dengan mengutip dari Ross Poole bahwa manusia di era globalisasi dan modern ini sedang berada dibawah bayang-bayang nihilisme dan minus agama.[1]
Berangkat dari realitas era teknologi informasi tersebut diatas, kaitannya tentang persoalan-persoalan yang dialami oleh manusia, sesungguhnya mencerminkan sebuah tantangan atau merefleksikan dua kesadaran sekaligus. Dikatakan tantangan karena merefleksikan kesadaran terhadap kegelisahan psikologis dan bahkan juga merambah teologis. Ada perasaan ketidakamanan (insekuritas) dari ketidaktenangan dalam diri manusia, baik sebagai individu maupun kelompok didalam menjalani kehidupan di era globalisasi saat ini.
Sadar akan sisi positif serta tantangan di era teknologi informasi saat ini yang secara terus menerus menyeruak dan mendesak kepermukaan sehingga sangat menarik untuk dikaji dan ditelaah dengan melakukan upaya-upaya preventif-strategis dengan memfokuskan analisis keranah pendidikan, khususnya bagi pendidikan Islam. Sebab, penulis memahami dan menyadari bahwa pendidikan Islam memiliki peranan yang sangat penting dalam Islam, selain sebagai kunci terhadap kontinuitas Islam, juga sangat menentukan karakter bagi masyarakat muslim (moslem society) khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Referensi:
Syahrin Harahap. (1999). Islam; Konsep dan Implementasi Pemberdayaan. Yogyakarta: Tiara Wacana.



[1] Lihat: Syahrin Harahap, Islam; Konsep dan Implementasi Pemberdayaan, Cet. I, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hal. 61.