Saturday, February 24, 2018

MEMOTRET HAKIKAT PENDIDIKAN ISLAM


Pendidikan Islam pada hakikatnya adalah proses perubahan menuju kearah yang positif. Dalam konteks sejarah perubahan yang positif ini adalah jalan Tuhan yang telah dilaksanakan sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Pendidikan Islam dalam konteks perubahan kearah yang positif tersebut identik dengan kegiatan dakwah yang biasanya dipahami sebagai upaya untuk menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat. Sejak wahyu pertama diturunkan dengan program iqra’ (membaca) bahwa pendidikan Islam praksis telah lahir, berkembang, dan eksis dalam kehidupan umat Islam, yakni sebuah proses pendidikan yang melibatkan dan menghadirkan Tuhan. Membaca sebagai sebuah proses pendidikan dilakukan dengan menyebut nama Tuhan yang menciptakan.

Korelasi pendidikan dengan Tuhan tersebut, secara profetik dipandu oleh kitab suci al-Qur’an, dan Nabi sebagai utusan Allah (Rasul) yang memiliki tugas utama menyampaikan wahyu kepada umat manusia secara berangsur-angsur sesuai dengan konteksnya. Proses pewahyuan yang berangsur-angsur tersebut, selain dimaksudkan untuk menjaga agar hidup manusia tidak terlepas dari bimbingan Tuhan, juga menunjukan bahwa wahyu selalu berdialog dengan lingkungan dan alam manusia. Pada saat Nabi menyampaikan wahyu maka hal ini juga berarti beliau juga menyampaikan ilmu dan kebenaran kepada umat manusia. Ia merasa senang dan gembira terhadap ilmu, sehingga wahyu yang diterima kemudian digunakan untuk menggalakkan pendidikan bagi pengikut-pengikutnya. Nabi juga melakukan kampanye bahwa orang yang mengajar orang lain akan memperoleh pahala besar. Orang yang beriman dan berilmu juga akan mendapatkan derajat yang tinggi dan mulia. Pada hakikatnya pelaksanaan pendidikan Islam pada awal kebangkitannya digerakkan oleh Iman dan komitmen yang tinggi terhadap ajaran agamanya.[1] 

Oleh sebab itu maka esensi pendidikan Islam pada hakikatnya terletak pada kriteria iman dan komitmennya terhadap ajaran agama Islam. Hal tersebut sejalan dan senada dengan definisi pendidikan Islam yang sajikan oleh Ahmad D. Marimba, menurtnya pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan ruhani berdasarkan hukum-hukum ajaran Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam, yaitu kepribadian muslim.[2] 

Dari pengertian pendidikan Islam menurut Marimba diatas, minimal memuat tiga unsur pokok yang mendukung pelaksanaan pendidikan Islam, yakni; pertama, usaha berupa bimbingan dan pimpinan bagi pengembangan potensi jasmaniyah dan ruhaniyah secara seimbang; kedua, usaha tersebut didasarkan atas ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad, dan; ketiga, usaha tersebut diarahkan pada upaya untuk membentuk dan mencapai kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang di dalamnya tertanam nilai-nilai Islam. Jika nilai-nilai tersebut telah tertanam dengan baik, maka peserta didik akan mampu meraih derajat insan kamil, yakni manusia paripurna atau manusia ideal.

Seorang yang mematuhi hukum Islam dengan baik, benar, jujur, dan ikhlas, maka dia akan tumbuh menjadi manusia yang stabil atau seimbang, yang pada gilirannya manusia tersebut dapat mencapai tujuannya, yakni menjadi pemimpin dimuka bumi (khalifatullah fil ardl) dengan baik dan sukses. Manusia yang telah berkepribadian muslim maka berarti dia telah berkepribadian utama. Dari sini dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam sebenarnya lebih terfokus pada pengembangan akhlaq mulia (akhlaqul karimah) yang dipandu dengan ilmu-ilmu sosial, eksakta dan humaniora.

Seiring dengan sisi penting akhlaq dan kepribadian mulia sebagai inti pendidikan maka sangat tepat apa yang dinyatakan dari hasil rumusan Kongres se-Dunia II tentang pendidikan Islam. Melalui seminar tentang konsepsi dan kurikulum pendidikan Islam tahun 1980, dengan tegas dinyatakan bahwa:
“Pendidikan Islam ditujukan untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan pribadi manusia secara menyeluruh melalui latihan-latihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan, dan panca indra. Oleh karena itu, pendidikan Islam harus mengembangkan seluruh aspek kehidupan manusia, baik spiritual, intelektual, imaginasi (fantasi), jasmaniyah, keilmiahannya, bahasanya, baik secara individual maupun kelompok, serta mendorong aspek-aspek tersebut kearah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup.[3]
Berdasarkan atas apa yang dinyatakan tersebut diatas, maka pendidikan Islam pada hakikatnya menekankan pada tiga hal pokok, yaitu: (1) suatu upaya pendidikan dengan menggunakan metode-metode tertentu, khususnya metode latihan untuk mengembangkan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan, dan panca indra; (2) yang dikembangkan mencakup seluruh aspek kehidupan manusia baik spiritual, intelektual, imaginasi (fantasi), jasmaniyah, keilmiahannya hingga bahasanya, baik secara individual maupun kelompok; (3) tujuan pendidikan yang ingin dicapai adalah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup.


Referensi:

Ahmad D. Marimba. (1998). Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif.
Hasan Langgulung. (1988). Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21. Jakarta: Pustaka Al-Husna.


[1] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988), hal. 5-6.
[2] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, (1998), hal. 23.
[3] Ibid., hal. 16.
Previous Post
Next Post

Penulis yang mengabdikan tulisannya bagi amal jariyah pemikiran. Tokoh favorit sekaligus panutannya adalah Gus Dur