Pendidikan Islam pada
hakikatnya adalah proses perubahan menuju kearah yang positif. Dalam konteks
sejarah perubahan yang positif ini adalah jalan Tuhan yang telah dilaksanakan
sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Pendidikan Islam dalam konteks perubahan kearah
yang positif tersebut identik dengan kegiatan dakwah yang biasanya dipahami
sebagai upaya untuk menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat. Sejak wahyu
pertama diturunkan dengan program iqra’ (membaca) bahwa pendidikan Islam
praksis telah lahir, berkembang, dan eksis dalam kehidupan umat Islam, yakni
sebuah proses pendidikan yang melibatkan dan menghadirkan Tuhan. Membaca
sebagai sebuah proses pendidikan dilakukan dengan menyebut nama Tuhan yang
menciptakan.
Korelasi pendidikan dengan
Tuhan tersebut, secara profetik dipandu oleh kitab suci al-Qur’an, dan
Nabi sebagai utusan Allah (Rasul) yang memiliki tugas utama menyampaikan wahyu
kepada umat manusia secara berangsur-angsur sesuai dengan konteksnya. Proses
pewahyuan yang berangsur-angsur tersebut, selain dimaksudkan untuk menjaga agar
hidup manusia tidak terlepas dari bimbingan Tuhan, juga menunjukan bahwa wahyu
selalu berdialog dengan lingkungan dan alam manusia. Pada saat Nabi
menyampaikan wahyu maka hal ini juga berarti beliau juga menyampaikan ilmu dan
kebenaran kepada umat manusia. Ia merasa senang dan gembira terhadap ilmu,
sehingga wahyu yang diterima kemudian digunakan untuk menggalakkan pendidikan
bagi pengikut-pengikutnya. Nabi juga melakukan kampanye bahwa orang yang mengajar
orang lain akan memperoleh pahala besar. Orang yang beriman dan berilmu juga
akan mendapatkan derajat yang tinggi dan mulia. Pada hakikatnya pelaksanaan
pendidikan Islam pada awal kebangkitannya digerakkan oleh Iman dan komitmen
yang tinggi terhadap ajaran agamanya.[1]
Oleh sebab itu maka esensi
pendidikan Islam pada hakikatnya terletak pada kriteria iman dan komitmennya
terhadap ajaran agama Islam. Hal tersebut sejalan dan senada dengan definisi
pendidikan Islam yang sajikan oleh Ahmad D. Marimba, menurtnya pendidikan Islam
adalah bimbingan jasmani dan ruhani berdasarkan hukum-hukum ajaran Islam menuju
terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam, yaitu kepribadian
muslim.[2]
Dari pengertian pendidikan
Islam menurut Marimba diatas, minimal memuat tiga unsur pokok yang mendukung
pelaksanaan pendidikan Islam, yakni; pertama, usaha berupa bimbingan dan
pimpinan bagi pengembangan potensi jasmaniyah dan ruhaniyah
secara seimbang; kedua, usaha tersebut didasarkan atas ajaran Islam yang
bersumber dari al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad, dan; ketiga, usaha
tersebut diarahkan pada upaya untuk membentuk dan mencapai kepribadian muslim,
yaitu kepribadian yang di dalamnya tertanam nilai-nilai Islam. Jika nilai-nilai
tersebut telah tertanam dengan baik, maka peserta didik akan mampu meraih
derajat insan kamil, yakni manusia paripurna atau manusia
ideal.
Seorang yang mematuhi hukum
Islam dengan baik, benar, jujur, dan ikhlas, maka dia akan tumbuh menjadi
manusia yang stabil atau seimbang, yang pada gilirannya manusia tersebut dapat
mencapai tujuannya, yakni menjadi pemimpin dimuka bumi (khalifatullah fil
ardl) dengan baik dan sukses. Manusia yang telah berkepribadian muslim maka
berarti dia telah berkepribadian utama. Dari sini dapat dikatakan bahwa pendidikan
Islam sebenarnya lebih terfokus pada pengembangan akhlaq mulia (akhlaqul
karimah) yang dipandu dengan ilmu-ilmu sosial, eksakta dan humaniora.
Seiring dengan sisi penting akhlaq
dan kepribadian mulia sebagai inti pendidikan maka sangat tepat apa yang
dinyatakan dari hasil rumusan Kongres se-Dunia II tentang pendidikan Islam.
Melalui seminar tentang konsepsi dan kurikulum pendidikan Islam tahun 1980,
dengan tegas dinyatakan bahwa:
“Pendidikan Islam ditujukan untuk mencapai
keseimbangan pertumbuhan pribadi manusia secara menyeluruh melalui
latihan-latihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan, dan panca indra.
Oleh karena itu, pendidikan Islam harus mengembangkan seluruh aspek kehidupan
manusia, baik spiritual, intelektual, imaginasi (fantasi), jasmaniyah,
keilmiahannya, bahasanya, baik secara individual maupun kelompok, serta
mendorong aspek-aspek tersebut kearah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan
hidup”.[3]
Berdasarkan
atas apa yang dinyatakan tersebut diatas, maka pendidikan Islam pada hakikatnya
menekankan pada tiga hal pokok, yaitu: (1) suatu upaya pendidikan dengan
menggunakan metode-metode tertentu, khususnya metode latihan untuk
mengembangkan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan, dan panca indra;
(2) yang dikembangkan mencakup seluruh aspek kehidupan manusia baik spiritual,
intelektual, imaginasi (fantasi), jasmaniyah, keilmiahannya
hingga bahasanya, baik secara individual maupun kelompok; (3) tujuan
pendidikan yang ingin dicapai adalah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan
hidup.
Referensi:
Ahmad D.
Marimba. (1998). Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung:
Al-Ma’arif.
Hasan
Langgulung. (1988). Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21. Jakarta:
Pustaka Al-Husna.