Prawacana
Secara sadar, penulis
memang bukan seorang filsuf, melainkan pecinta filsafat dan kebetulan saja
mendapat mandat serta tanggungjawab
keilmuan dari panitia kegiatan ‘Sekolah Filsafat’ PMII Komisariat Joko
Sangkrip IAINU Kebumen untuk menuliskan makalah dan mengantarkan materi pada
acara tersebut. Oleh karenanya, tidak ada maksud apapun dengan penulisan
makalah ini kecuali dimaksudkan untuk membantu peserta pelatihan agar lebih
mudah dalam belajar dan memahami filsafat, terutama pemahamannya akan filsafat
dan ilmu pengetahuan.
Filsafat dan ilmu
adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis,
karena kelahiran ilmu tidak terlepas dari peran filsafat. Sebaliknya,
perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Kedudukan filsafat adalah sebagai
induk atau ibu dari semua ilmu (mater
scientiarum) yang didalamnya memiliki
proses perumusan yang sangat sulit dan membutuhkan pemahaman yang mendalam,
sebab nilai filsafat itu hanyalah dapat dimanifestasikan oleh seorang filsuf
yang otentik.
Mekanisme filsafat
dan ilmu pengetahuan yang dikembangkan orang secara umum sangat terikat oleh
suatu syarat yang sama, yaitu sifat ilmiah. Sifat ilmiah merupakan jalan
pemikiran yang harus menampilkan hubungan ketat antara sebab dan akibat, anteseden dan sekuensi, premis dan konklusi dan seterusnya, dan dari kesemuanya
itu diatur oleh logika. Logika sendiri merupakan suatu ilmu yang memberi atauran
mekanisme akal agar runtut dan benar. Oleh karenanya, wajar apabila orang
berkata bahwa filsafat dan ilmu pengetahuan itu ‘beribu’ pada logika.
Wallter Wallace
membuat konstruksi logis teori ilmu pengetahuan yang disebutnya dengan kalkulus. Melalui deduksi diturunkan
hipotesis baru dalam rumusan putusan universal. Lewat prediksi diperoleh basis
observasi baru yang sekaligus menjadi pembuktian yang menentukan (crucial test). Dengan demikian, rasional siklus yang ketat nyata dalam
pemakaian bahasa logika, yaitu putusan partikular, putusan universal dan kalkulus.[1]
Konsekwensinya, dari perumusan sebuah ilmu pengetahuan—baik teoretis maupun
empiris—tidak bisa dilepaskan dari hukum-hukum logika yang ketat, sehingga
dalam hal ini bahwa bangunan filsafat dan ilmu pengetahuan harus berdasarkan
pada hukum-hukum logika.
Perkembangan ilmu
pengetahuan hingga seperti sekarang ini tidaklah berlangsung secara mendadak,
melainkan melalui proses bertahap, dan evolutif. Karenanya, untuk memahami
sejarah perkembangan ilmu pengetahuan harus melakukan pembagian atau
klasifikasi secara periodik. Setiap periode sejarah pekembangan ilmu
pengetahuan menampilkan ciri khas tertentu. Perkembangan pemikiran, secara
teoretis senantiasa mengacu kepada peradaban Yunani. Kelahiran sebuah ilmu
tidak dapat dipisahkan dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu
memperkuat keberadaan filsafat.
Jika ditinjau dari
segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami
perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, ‘philosophia’ meliputi hampir seluruh
pemikiran teoretis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dikemudian hari,
ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain. Oleh karenanya, mengetahui
perkembangan filsafat sangatlah penting peranannya terhadap perkembangan
pemikiran manusia untuk kedepannya. Sebab, pembahasan tentang filsafat akan
menyelidiki, menggali dan menelusuri sedalam, sejauh dan seluas mungkin semua
tentang hakikat hidup dan aspek didalamnya. Dalam hal ini, kita bisa
mendapatkan gambaran bahwa filsafat merupakan akar dari semua ilmu dan
pengetahuan yang berkembang di muka bumi ini.
Perlu kiranya bagi
kaum akademis-intelektual dan kaum pergerakan untuk mempelajari filsafat hingga
keakar-akarnya. Tujuannya adalah agar mengetahui dasar dari ilmu pengetahuan.
Sebab, manusia hidup pastilah memiliki pengalaman yang berbeda, yang kemudian
dari pengalaman tersebut akan muncul ilmu sebagai kumpulan dari pengalaman atau
pengetahuan yang ada agar terbuka wawasan pemikiran yang ilmiah-filosofis.
A.
Pengertian dan Latar
Belakang Munculnya Filsafat
Seseorang yang berfilsafat dapat
diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang.
Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kemestaan galaksi. Atau seorang yang
berdiri di puncak tinggi memandang arah dan lembah dibawahnya.[2]
Jadi, jika di telaah lebih mendalam, karakteristik berpikir filsafat memiliki
tiga sifat yang pokok, yaitu menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. Sifat
menyeluruh mengandung arti bahwa cara berpikir filsafat tidaklah sempit (fragmentaris atau sektoral), tetapi selalu melihat persoalan dari tiap sudut yang ada.
Sifat mendasar artinya untuk menganalisa tiap sudut persoalan perlu dianalisis
secara mendalam. Sedangkan sifat spekulatif maksudnya bukan menganalisa suatu
persoalan dengan untung-untungan, tetapi harus memiliki dasar-dasar yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.[3]
Secara etimologis,
filsafat berasal dari beberapa bahasa, yaitu bahasa Inggris dan Yunani. Dalam
bahasa Inggris, yaitu ‘philosophy’, sedangkan dalam bahasa Yunani, ‘philen’ atau ‘philos’ dan ‘sofein’ atau
‘sophi’. Ada pula yang mengatakan
bahwa filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘falsafah’ yang artinya al-hikmah.
Akan tetapi, kata tersebut pada awalnya berasal dari bahasa Yunani. ‘philos’ artinya cinta, sedangkan ‘Sophia’ artinya kebijaksanaan.[4]
Secara singkat dapat dikatakan bahwa filsafat adalah cinta akan kebijaksanaan.[5]
Oleh karena itu
filsafat dapat diartikan dengan cinta kebijaksanaan yang dalam bahasa Arab di
istilahkan dengan al-hikmah. Para
ahli filsafat disebut dengan filosof, yakni orang yang mencintai atau mencari
kebijaksanaan atau kebenaran. Filosof bukan orang yang bijaksana atau
berpengaruh benar, melainkan orang yang sedang belajar mencari kebenaran dan
kebijaksanaan.
Selain dengan melacak
arti kata, cara lain memahami filsafat adalah dengan meninjau dari aspek
terminologi. Secara terminologis, ada banyak definisi yang diberikan oleh para
ahli atau filosof mengenai pengertian filsafat. Beragamnya definisi ini dapat
dimaklumi mengingat setiap filosof yang membuat definisi memiliki pertimbangan
tertentu dan sekaligus dipengaruhi oleh berbagai aspek. Implikasinya, tidak ada
definisi yang sama persis yang dibuat, masing-masing definisi mencerminkan
karakteristik pembuatnya.
Adapun beberapa pengertian pokok tentang filsafat menurut
kalangan filosof adalah sebagai berikut:
1.
Plato
(477 SM-347 SM), adalah seorang filsuf Yunani terkenal, gurunya Aristoteles, ia
sendiri berguru kepada Socrates. Menurut Plato, filsafat adalah pengetahuan
tentang segala yang ada, ilmu yang berminat untuk mencapai kebenaran yang asli.
2.
Aristoteles
(381SM-322 SM), menurutnya bahwa filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran
yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu; metafisika, logika, etika, ekonomi,
politik, dan estetika.
3.
Marcus
Tulius Cicero (106SM-43SM), seorang politikus dan ahli pidato Romawi merumuskan
filsafat sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha
untuk mencapainya.
4.
Al-Farabi
(wafat 950 M), seorang filsuf muslim mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu
pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang
sebenarnya.[6]
Dari uraian dan
penjelasan dari para filsuf tentang arti dari filsafat diatas, dapat dijelaskan
secara sederhana bahwa filsafat adalah daya upaya manusia dengan akal budinya
untuk memahami secara radikal dan integral serta sistematik mengenai ketuhanan,
alam semesta dan manusia.
Filsafat pertama kali
muncul di Yunani, dan orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filosof ialah
Thales dari Mileta. Filosof-filosof Yunani yang terbesar yaitu Socrates, Plato,
dan Aristoteles. Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani
dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu, seperti Israel atau Mesir.
Jawabannya adalah di Yunani tidak seperti di daerah lainnya, dimana Yunani tidak
mengenal kasta pendeta sehingga orang lebih bebas.
Munculnya filsafat
ditandai dengan runtuhnya mitos-mitos dan dongeng-dongeng yang selama itu menjadi
pembenaran terhadap setiap gejala alam. Manusia pada waktu itu melalui
mitos-mitos mencari keterangan tentang asal-usul alam semesta dan tentang
kejadian yang berlangsung di dalamnya.
Ada dua bentuk mitos
yang berkembang pada waktu itu, yaitu mitos kosmogonis,
yaitu mitos yang mencari tentang asal-usul alam semesta, dan mitos kosmologis yang berusaha mencari
keterangan tentang asal usul serta sifat kejadian di alam semesta. Meskipun
memberikan jawaban-jawaban tersebut diberikan dalam bentuk mitos yang lolos
dari kontrol akal (rasio).
Cara berfikir seperti
itu berlangsung sampai abad ke-6 sebelum masehi (SM), sedangkan sejak abad ke-6
masehi orang mulai mencari jawaban-jawaban rasional tentang asal-usul dan
kejadian alam semesta. Pencarian kebijaksanaan bermakna menyelusuri hakikat dan
sumber kebenaran. Alat untuk menemukan kebijaksanaan adalah akal yang merupakan
sumber primer dan berfikir. Oleh karenanya, kebenaran filosofis tidak lebih
dari kebenaran berfikir yang rasional dan radikal.
Dalam ilmu filsafat
yang identik dengan pertanyaan-pertanyaan yang kemudian filsafat selalu mencari
jawaban-jawaban, sekalipun jawaban-jawaban yang ditemukan tidak pernah abadi.
Oleh karenanya filsafat tidak pernah selesai dengan satu pertanyaan dan satu
jawaban dan tidak pernah sampai pada akhir sebuah masalah. Masalah-masalah
filsafat tidak pernah selesai, karena itulah memang sebenarnya berfilsafat.
B.
Sejarah Kelahiran Filsafat
1.
Masa Yunani
Yunani terletak di Asia Kecil. Kehidupan
penduduknya sebagai nelayan dan pedagang, sebab sebagian besar penduduknya
tinggal di daerah pantai, sehingga mereka dapat menguasai jalur perdagangan di
Laut Tengah. Kebiasaan mereka hidup di alam bebas sebagai nelayan itulah sehingga
mewarnai kepercayaan yang dianutnya, yaitu berdasarkan kekuatan alam yang beranggapan
bahwa hubungan manusia dengan Sang Maha Pencipta bersifat formalitas. Artinya bahwa
kedudukan Tuhan terpisah dengan kehidupan manusia.
Kepercayaan yang bersifat formalitas (natural religion) tidak memberikan kebebasan kepada manusia, ini ditentang
oleh Homerus dengan dua buah karyanya yang terkenal, yaitu Ilias dan Odyseus.
Kedua karya Homerus itu memuat nilai-nilai yang tinggi dan bersifat edukatif.
Sedemikian besar peranan karya Homerus, sama kedudukannya seperti wayang purwa
di Jawa. Akibatnya masyarakat lebih kritis dan rasional.
Pada abad ke-6 SM, bermunculan para pemikir
yang berkepercayaan sangat bersifat rasional (cultural religion)
menimbulkan pergeseran. Tuhan tidak lagi terpisah dengan manusia, melainkan
justru menyatu dengan kehidupan manusia. Sistem kepercayaan yang natural-religius berubah menjadi sistem cultural-religius.
Dalam sistem kepercayaan natural-religius ini,
manusia terikat oleh tradisionalisme. Sedangkan dalam sistem kepercayaan cultural-religius ini memungkinkan manusia mengembangkan potensi dan
budayanya dengan bebas, sekaligus dapat mengembangkan pemikirannya untuk
menghadapai dan memecahkan berbagai kehidupan alam dengan akal pikiran.
Ahli pikir pertama kali yang muncul adalah
Thales (625-545 SM) yang berhasil mengembangkan geometri dan matematika.
Likipos dan Democritos mengembangkan teori materi, Hipocrates mengembangkan
ilmu kedokteran, Euclid mengembangkan geometri edukatif, Socrates mengembangkan
teori tentang moral, Plato mengembangkan teori tentang ide, Aristoteles
mengembang teori tentang dunia dan benda serta berhasil mengumpulkan data 500
jenis binatang (ilmu biologi). Suatu keberhasilan yang luar biasa dari
Aristoteles adalah menemukan sistem pengaturan pemikiran (logika formal) yang sampai
sekarang masih terkenal.
Para ahli pikir Yunani Kuno ini mencoba
membuat konsep tentang asal mula alam. Walaupun sebelumnya sudah ada tentang
konsep tersebut. Akan tetapi konsepnya bersifat mitos, yaitu mite kosmogonis
(tentang asal usul alam semesta), dan mite
kosmologis (tentang asal-usul serta
sifat kejadian-kejadian dalam alam semesta), sehingga konsep mereka sebagai
mencari asche (asal mula) alam
semesta, dan mereka disebutnya sebagai filosof alam.
Oleh karena arah pemikiran filsafatnya pada
alam semesta, maka corak pemikirannya kosmosentris.
Sedangkan para ahli piker, seperti Socrates, Plato dan Aristoteles yang hidup
pada masa Yunani Klasik, karena arah pemikirannya pada manusia sehingga corak
pemikiran filsafatnya antroposentris.
Hal ini disebabkan oleh arah pemikiran para ahli pikir Yunani Klasik tersebut yang
memasukkan manusia sebagai subyek yang harus bertanggungjawab terhadap segala
tindakannya.
2.
Masa Abad Pertengahan
Masa ini diawali dengan lahirnya filsafat
Eropa. Sebagaimana halnya dengan filsafat Yunani yang dipengaruhi oleh
kepercayaan, maka filsafat atau pemikiran pada abad pertengahan pun dipengaruhi
oleh kepercayaan Kristen. Artinya bahwa pemikiran filsafat abad pertengahan
didominasi oleh agama. Pemecahan semua persoalan selalu didasarkan atas dogma
agama, sehingga corak pemikiran kefilsafatannya bersifat teosentris.
Baru pada abad ke-6 Masehi, setelah
mendapatkan dukungan dari Karel Agung, maka didirikanlah sekolah-sekolah yang
memberi pelajaran gramatika, dialektika, geometri, aritmatika, astronomi dan
musik. Keadaan yang demikan akan mendorong perkembangan pemikiran filsafat pada
abad ke-13 yang ditandai berdirinya universitas-universitas dan ordo-ordo.
Dalam ordo inilah mereka mengabdikan dirinya untuk kemajuan ilmu dan agama,
seperti Anselmus (1033 – 1109), Abaelardus (1079-1143), Thomas Aquinas (1225-1274).
Dikalangan para ahli pikir Islam (periode
filsafat Skolastik Islam) muncul al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali,
Ibnu Bajah, Ibnu Tufail, Ibnu Rusyd. Periode skolastik Islam ini berlangsung
tahun 850-1200. Pada masa itulah kejayaan Islam berlangsung dan ilmu
pengetahuan berkembang dengan pesat. Akan tetapi, setelah jatuhnya kerajaan
Islam di Granada Spanyol (tahun 1492) mulailah kekuasaan politik Barat menjarah
ke Timur. Suatu prestasi yang paling besar dalam kegiatan ilmu pengetahuan
terutama dalam bidang filsafat. Di sini mereka merupakan mata rantai yang
mentransfer filsafat Yunani, sebagaimana yang dilakukan oleh sarjana-sarjana
Islam di Timur terhadap Eropa dengan menambah pikiran-pikiran Islam sendiri.
Para filosof Islam sendiri sebagian
menganggap bahwa filsafat Aristoteles adalah benar, Plato dan al-Qur’an adalah
benar, karena mereka mengadakan perpaduan dan sinkretisme antara agama dan filsafat. Kemudian pikiran-pikiran ini
masuk ke Eropa yang merupan sumbangan Islam yang paling besar, yang besar
pengaruhnya terhadap ilmu pengetahuan dan pemikiran filsafat, terutama dalam
bidang teologi dan ilmu pengetahuan alam.
Peralihan dari abad pertengahan ke abad
modern dalam sejarah filsafat disebut sebagai masa peralihan (masa transisi),
yaitu munculnya Renaissance dan Humanisme yang berlangsung pada abad
15-16. Munculnya Renaissance dan Humanisme inilah yang mengawali masa
abad modern. Mulai zaman modern inilah peranan ilmu alam kodrat sangat
menonjol, sehingga akibatnya pemikiran filsafatat semakin dianggap sebagai
pelayan dari teologi, yaitu sebagai suatu sarana untuk menetapkan
kebenaran-kebenaran mengenai Tuhan yang dapat dicapai oleh akal manusia.
3.
Masa Abad Modern
Pada masa abad modern ini, pemikiran filsafat
berhasil menempatkan manusia pada tempat yang sentral dalam pandangan
kehidupan, sehingga corak pemikirannnya antroposentris,
yaitu pemikiran filsafatnya mendasarkan pada akal fikir dan pengalaman.
Di atas telah dikemukakan bahwa munculnya Renaisance dan Humanisme sebagai awal masa abad modern, dimana para ahli (filosof)
menjadi pelopor perkembangan filsafat (kalau pada abad pertengahan yang menjadi
pelopor perkembangan filsafat adalah para pemuka agama), namun pemikiran
filsafat masa abad modern ini berusaha meletakkan dasar-dasar bagi metode
logis-ilmiah. Pemikiran filsafat diupayakan lebih bersifat praktis. Artinya bahwa
pemikiran filsafat modern diarahkan pada upaya manusia agar dapat menguasai
lingkungan alam dengan menggunakan berbagai penemuan ilmiah.
Karena semakin pesatnya orang menggunakan
metode induksi atau eksperimental dalam berbagai penelitian ilmiah, akibatnya
perkembangan pemikiran filsafat mulai tertinggal oleh perkembangan ilmu-ilmu
alam kodrat (natural sciences). Rene Descartes (1596-1650)
sebagai bapak filsafat modern yang berhasil melahirkan suatu konsep dari
perpaduan antara metode ilmu alam dengan ilmu pasti ke dalam pemikiran filsafat.
Upaya ini dimaksudkan agar kebenaran dan kenyataan filsafat juga sebagai
kebenaran dan kenyataan yang jelas dan terang.
Pada abad ke-18, perkembangan pemikiran
filsafat mengarah kepada filsafat ilmu pengetahuan, di mana pemikiran filsafat
diisi dengan upaya manusia, bagaimana cara atau sarana apa yang dipakai untuk
mencari kebenaran dan kenyataan. Sebagai tokohnya George Berkeley (1685-1753),
David Hume (1711-1776), Rousseau (1722-1778).
Di Jerman muncul Christian Wolft (1679-1754)
dan Immanuel Kant (1724-1804), yang mengupayakan agar filsafat menjadi ilmu pengetahuan
yang pasti dan berguna, yaitu dengan cara membentuk pengertian-pengertian yang
jelas dan bukti yang kuat.
Abad ke-19, perkembangan pemikiran filsafat
terpecah belah. Pemikiran filsafat pada saat itu telah mampu membentuk suatu
kepribadian tiap-tiap bangsa dengan pengertian dan caranya sendiri. Ada
filsafat Amerika, filsafat Perancis, filsafat Inggris, filasafat Jerman.
Tokoh-tokohnya adalah Hegel (1770-18311), Karl Marx (1818 -1883), August Comte
(1798-1857), JS. Mill (1806-1873), John Dewey (1858-1952) dan lainnya. Dengan munculnya
pemikiran filsafat yang bermacam-macam ini, berakibat tidak terdapat lagi
pemikiran filsafat yang mendominasi. Giliran selanjutnya lahirlah filsafat
kontemporer.[7]
4.
Masa Kontemporer
(Abad ke-20 dan Seterusnya)
Tema
yang menguasai refleksi filosofis dalam abad ke-20 ini adalah pemikiran tentang
bahasa. Sebagian besar pemikir abad ke-20 pernah menulis tentang bahasa. Menurut Wittgenstein, apa yang dihasilkan oleh sebuah karya
filsafat melulu sederetan ungkapan filsafati, melainkan upaya membuat
ungkapan-ungkapan menjadi jelas. Para filsuf analitik ini tidak lain sebagai
reaksi atau respons terhadap aktivitas filsafat yang dilakukan oleh para
penganut aliran filsafat idealisme.
Aliran
filsafat idealisme lebih menekankan pada upaya mengintrodusir ungkapan-ungkapan
filsafati. Ungkapan-ungkapan filsafati yang di introdusir oleh penganut
idealisme itu menurut filsuf analitik kebanyakan bermakna ganda atau kubur dan
tidak terpahami oleh akal sehat. Hal-hal semacam itulah yang perlu diatasi
dengan analisis bahasa. Perkembangan filsafat abad ke-20 juga ditandai oleh munculnya
berbagai aliran filsafat, kebanyakan aliran itu merupakan kelanjutan dari
aliran-aliran filsafat yang telah berkembang pada abad modern.
Beberapa
aliran dan tokoh yang paling berpengaruh pada abad ke-20 adalah Edmund Husserl
(1859-1938), selaku pendiri aliran Fenomenologi, ia telah mempengaruhi
pemikiran filsafat abad ke-20 ini secara amat mendalam.
Eksistensialisme
dan fenomenologi merupakan dua gerakan yang sangat erat dan menunjukkan
pemberontakan tambahan terhadap metode-metode dan pandangan-pandangan Barat.
Terdapat perbedaan-perbedaan yang besar antara para pengikut aliran ini, namun
terdapat tema-tema yang sama sebagai ciri khas aliran ini yang tampak pada para
penganutnya. Mengidentifikasi ciri aliran eksistensialisme adalah sebagai
berikut:
a.
Eksistensialisme adalah pemberontakan dan
protes terhadap rasionalisme dan masyarakat modern, khususnya terhadap idealisme
Hegel.
b.
Eksistensialisme adalah suatu protes atas nama
individualis terhadap konsep-konsep, filsafat akademis yang jauh dari kehidupan
konkret.
c.
Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan
terhadap alam yang impersonal (tanpa
kepribadian) dari zaman industri modern dan teknologi, serta gerakan massa.
Masyarakat industri cenderung untuk menundukkan orang-seorang kepada mesin.
d.
Eksistensialisme merupakan protes terhadap
gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan Fasis, Komunis yang cenderung
menghancurkan atau menenggelamkan perorangan didalam kolektif atau massa.
e.
Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan
prospek manusia di dunia.
f.
Eksistensialisme menekankan keunikan dan
kedudukan pertama eksistensi dan pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.
Salah
seorang tokoh eksistensialisme yang popular adalah Jean Paul Sartre (1905-1980),
ia membedakan dialektis dengan rasio analitis. Aliran
filsafat eksistensialisme yang menjadi mode berfilsafat pada pertengahan abad
ke-20 mendapat reaksi dari aliran strukturalisme. Jika eksistensialisme
menekankan pada peranan pada individu, maka strukturalisme justru melihat
manusia ‘terkukung’ dalam berbagai struktur dalam kehidupannya.
Secara
garis besar, ada dua pengertian pokok yang sangat erat kaitannya dengan
strukturalisme sebagai aliran filsafat. Pertama, strukturalisme adalah metode atau metodologi yang digunakan untuk
mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip linguistic yang dirintis oleh Ferdinand
de Saussure. Kedua, strukturalisme merupakan aliran filsafat yang hendak
memahami masalah yang muncul dalam sejarah filsafat. Disini metodologi
struktural dipakai untuk membahas tentang manusia, sejarah kebudayaan, serta
hubungan antara kebudayaan dan alam.
Para
strukturalis filosofis yang menerapkan prinsip-prinsip strukturalisme
linguistic dalam berfilsafat bereaksi terhadap aliran filsafat fenomenologi dan
eksistensialisme yang melihat manusia dari sudut pandang yang subjektif. Para
penganut aliran filsafat strukturalisme ini memiliki kesamaan.
Tokoh
berpengaruh dalam aliran filsafat struktulisme adalah Michel Foucault
(1926-1984). Kesudahan ‘manusia’ sudah dekat itulah pendirian Foucalt yang
sudah terkenal tentang ‘kematian’ manusia. Maksud Foucault bukanya bahwa nanti
tidak ada manusia lagi, melainkan bahwa akan hilang konsep ‘manusia’ sebagai
suatu kategori istimewa dalam pemikiran kita.
Pada
abad ke-20, ada aliran filsafat yang pengaruhnya dalam dunia praktis cukup
besar, yaitu aliran filsafat pragmatisme. Aliran filsafat ini merupakan suatu
sikap metode dan filsafat yang memakai akibat-akibat praktis dari pikiran dan
kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai kebenaran.
Salah
seorang tokoh pragmatisme adalah Willam James (1842-1910), ia memandang
pemikirannya sendiri sebagai kelanjutan empirisme Inggris, namun empirismenya
bukan merupakan upaya untuk menyusun kenyataan berdasar atas fakta-fakta lepas
sebagai hasil pengamatan. James membedakan dua macam bentuk pengetahuan:
a.
Pengetahuan yang langsung diperoleh dengan
jalan pengamatan.
b.
Pengetahuan tidak langsung yang diperoleh
melalui pengertian.
Suatu
ide dapat menjadi benar apabila didukung oleh peristiwa-peristiwa sebagai
akibat atau buah dari ide itu.
Pada
awalnya, postmodernisme lahir sebagai reaksi terhadap kegagalan modernism.
Dalam modernisme, filsafat memang berpusat pada Epistemologi yang bersandar
pada gagasan tentang subjektivitas dan objektivitas murni yang satu sama lain
terpisah dan tidak saling berkaitan. Tugas pokok filsafat adalah mencari
pondasi segala pengetahuan, dan tugas pokok subjek adalah mempresentasikan
kenyataan objektif.
Wacana
postmodern menjadi popular setelah Francois Lyotard (1924) menerbitkan bukunya The
Postmodern Condition; A Report on Knowledge (1979). Modernitas menurut
Lyotard ditandai oleh kisah-kisah besar yang mempunyai fungsi mengarahkan serta
menjiwai masyarakat modern, mirip dengan mitos-mitos yang mendasari masyarakat-masyarakat
primitif dulu.[8]
C.
Sumber Pengetahuan
Semua orang mengakui dan
memiliki pengetahuan. Persoalannya adalah dari mana pengetahuan itu diperoleh
atau lewat apa pengetahuan didapat. Dari situ kemudian timbul pertanyaan
bagaimana caranya kita memperoleh pengetahuan atau dari mana sumber pengetahuan
kita?
Sumber pengetahuan merupakan aspek-aspek yang mendasari lahirnya
ilmu pengetahuan yang berkembang dan muncul dalam kehidupan manusia. Mengenai
sumber pengetahuan dikalangan ilmuwan, ada semacam perbedaan sudut pandang mengenai
kisaran dari manakah sebenarnya pengetahuan itu ada. Perbedaan-perbedaan inilah
yang dalam filsafat, baik filsafat Barat maupun filsafat Islam melahirkan
berbagai aliran, yaitu aliran empirisme, rasionalisme, dan intusionalisme.
Ada semacam perbedaan sudut pandang antara filsafat Barat dan
filsafat Timur dalam hal epistimologi. Dalam hal ini, epistemologi Barat itu
lebih mengistimewakan peranan manusia dalam memecahkan segala sesuatu. Filosof
Barat lebih mengandalkan kekuatan akal dan indera. Sedangkan epistemologi Islam
dari gagasan epistemologinya diformulasikan berdasarkan al-Qur'an dan Sunnah
sebagai sumber utama dalam memecahkan segala sesuatu.
1.
Empirisme
Kata empirisme berasal dari kata Yunani,
‘empeirisko’ yang memiliki arti
pengalaman. Menurut aliran ini, manusia memperoleh pengetahuan melalui
pengalamannya. Apabila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman inderawi.[9]
Pengetahuan inderawi bersifat parsial. Itu disebabkan oleh adanya
perbedaan antara indera yang satu dengan yang lainnya, berhubungan dengan sifat
khas fisiologis indera dan dengan objek yang dapat ditangkap sesuai dengannya.
Masing-masing indera menangkap aspek yang berbeda mengenai barang atau makhluk
yang menjadi objeknya. Jadi pengetahuan inderawi berada menurut perbedaan
indera dan terbatas pada sensibilitas organ-organ tertentu.[10]
John Locke (1632-1704), bapak empiris
Britania mengemukakan teori tabula rasa (sejenis buku catatan kosong).
Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas
pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan.
Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lama-kelamaan menjadi
kompleks, lalu tersusunlah pengetahuan berarti. Jadi, bagaimanapun kompleks
pengetahuan manusia, ia selalu dapat dicari ujungnya pada pengalaman indera.
Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar.
Jadi, pengalaman indera itulah merupakan sumber pengetahuan yang benar.[11]
David Hume, salah satu tokoh empirisme
mengatakan bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya.
Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yaitu kesan-kesan
(impression), dengan pengamatan
langsung yang diterima dari pengalaman, seperti merasakan tangan terbakar, dan
ide-ide (ideas) yang berasal dari gambaran
tentang pengamatan yang samar-samar yang dihasilkan dengan merenungkan kembali
atau terefleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman.[12] Jadi,
gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empirisme adalah bersifat konkret
dan dapat dinyatakan lewat panca indera.
Berdasarkan teori ini, akal hanya
mengelola konsep gagasan inderawi. Kaum empiris juga menganggap akal sebagai
sejenis tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut.
Akal berfungsi untuk memastikan hubungan urutan-urutan peristiwa tersebut,
padahal hubungan yang demikian itu bersifat kemungkinan belaka, dan pengetahuan
kita tentang hubungan peristiwa tersebut sesungguhnya berasal dari pengalaman.
Jadi, dalam empirisme bahwa sumber
utama untuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris yang diperoleh dari
panca indera. Sedangkan Akal tidak berfungsi banyak, kalaupun ada, itu hanya sebatas
ide yang kabur.[13]
2.
Rasionalisme (akal)
Secara etimologi, rasionalisme
berasal dari kata bahasa Inggris ‘rationalism’.
Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ‘ratio’
yang berarti ‘akal’. A.R. Lacey menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya, ‘rasionalisme’
adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi
pengetahuan dan pembenaran. Sementara itu, secara terminologis aliran ini
dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi
peranan utama dalam penjelasan. la menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber
utama pengetahuan, mendahului atau unggul dan bebas (terlepas) dari pengamatan
inderawi. Rasionalisme adalah faham yang mengatakan bahwa akal itulah alas
pencari dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuanya
diukur dengan akal pula.[14]
Pada intinya, aliran rasionalisme
menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang
benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui
kegiatan menangkap objek.
Aliran rasionalisme
tidak mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh pengetahuan sebagaimana
menurut empirisme. Namun bagi rasionalisme bahwa pengalaman indera diperlukan
untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat
bekerja, tetapi sampainya manusia kepada kebenaran adalah semata-mata akal.
Para penganut
rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak dalam ide dan
bukannya didalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai
ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, kebenaran hanya
ada dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.[15]
Akal, selain berkerja karena ada bahan dari indera, juga akal dapat
menghasilkan pengetahuan yang tidak berdasarkan bahan inderawi sama
sekali. Jadi akal dapat juga mengahasilkan pengetahuan tentang objek yang
betul-betul abstrak.
Rene Descartes,
seorang pelopor rasionalisme berusaha menemukan suatu kebenaran yang
tidak dapat diragukan lagi. Ia yakin bahwa kebenaran-kebenaran semacam itu ada,
dan kebenaran tersebut dikenal dengan cahaya yang terang dari akal budi sebagai
hal-hal yang tidak dapat diragukan. Dengan demikian, akal budi dipahamkan
sebagai sejenis perantara suatu teknik deduktif, yang dengan memakai teknik
tersebut dapat ditemukan kebenaran, artinya dengan melakukan penalaran yang akhirnya tersusunlah sebuah pengetahuan.[16]
Tetapi rasionalisme
juga mempunyai kelemahan, seperti mengenai kriteria untuk mengetahui akan
kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorang adalah jelas dan dapat
dipercaya, namun belum tentu menurut orang itu sebagai sebuah kebenaran.
Dari dua aliran
tersebut (empirisme dan rasionalisme) terlahirlah metode ilmiah
atau pengetahuan sains yang merupakan penggabungan dari kedua aliran tersebut.
Dalam hal ini panca indera mengumpulkan data-data, sedangkan akal
menyimpulkan berdasarkan pada prinsip-prinsip universal, kemudian disebut
universal. Tapi kebenaran yang model ini bukan kebenaran mutlak, tapi kebenaran
yang dekat pada hakikat, yaitu menurut kesanggupan tertinggi dari akal dalam
mendekati hakikat itu.
3.
Intuisi
Organ
fisik yang berkaitan dengan fungsi hati atau intuisi tidak diketahui dengan pasti, ada yang menyebut jantung,
ada juga yang menyebut otak bagian kanan. Pada praktiknya, intuisi muncul
berupa pengetahuan yang tiba-tiba saja hadir dalam kesadaran tanpa melalui
proses penalaran yang jelas, non-analitis
dan tidak selalu logis. Intuisi bisa muncul kapan saja tanpa kita rencanakan,
baik saat santai maupun tegang, ketika diam maupun bergerak. Kadang ia datang
saat kita tengah jalan-jalan di trotoar, saat kita sedang mandi, bangun tidur,
saat main catur, atau saat kita menikmati pemandangan alam.
Menurut
Henry Bergson, intusi adalah hasil dari evolusi dari pemahaman yang tertinggi.
Pengembangan kemampuan ini (intuisi)
memerlukan suatu usaha.[17] Ia
juga mengatakan bahwa intuisi adalah suatu pengetahuan yang langsung, yang
mutlak dan bukan pengetahuan yang nisbi. Menuruutnya juga bahwa intuisi
mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis, yang pada dasarnya bersifat
analis, menyeluruh, mutlak dan tanpa dibantu oleh penggambaran secara simbolis.
Karena itu, intuisi adalah sarana untuk mengetahui secara langsung dan
seketika.
Intuisi
bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun
pengetahuan secara teratur intuisi tidak dapat diandalkan. Kegiatan
intuisi dan analisis bisa bekerja saling membantu dalam menemukan kebenaran.
Bagi Nietzchen, intuisi merupakan ‘intelegensi yang paling tinggi’, dan bagi
Maslow intuisi merupakan ‘pengalaman puncak’ (peak experience).[18]
Intuisi
disebut juga ilham atau inspirasi, meskipun pengetahuan intuisi hadir begitu
saja secara tiba-tiba, namun tampaknya ia tidak jatuh ke sembarang orang,
melainkan hanya kepada orang yang sebelumnya sudah berpikir keras mengenai
suatu masalah. Ketika seseorang sudah memaksimalkan daya pikirnya dan mengalami
kemacetan, lalu ia mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau bersantai,
pada saat itulah intuisi berkemungkinan muncul. Oleh karena itu, intuisi sering
disebut supra-rasional atau suatu kemampuan yang berada di atas rasio, dan hanya
berfungsi jika rasio sudah digunakan secara maksimal namun menemui jalan buntu.
Hati
bekerja pada wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh akal, yakni pengalaman
emosional dan spiritual. Kelemahan akal ialah terpagari oleh kategori-kategori
sehingga hal ini, menurut Immanuel Kant (1724-1804), membuat akal tidak pernah
bisa sampai pada pengetahuan langsung tentang sesuatu sebagaimana adanya (das
ding an sich) atau noumena. Akal hanya bisa menangkap yang tampak
dari benda itu (fenoumena), sementara hati bisa mengalami sesuatu secara
langsung tanpa terhalang oleh apapun, tanpa ada jarak antara subjek dan objek.
Kecenderungan
akal untuk selalu melakukan generalisasi (meng-umumkan) dan spatialisasi
(meruang-ruangkan) yang membuatnya tidak akan mengerti keunikan-keunikan dari
kejadian sehari-hari. Hati dapat memahami pengalaman-pengalaman khusus,
misalnya pengalaman eksistensial, yakni pengalaman riil manusia seperti yang dirasakan langsung dan bukan lewat konsepsi
akal. Akal tidak bisa mengetahui rasa cinta, hatilah yang merasakannya. Hati
juga bisa merasakan pengalaman religius, berhubungan dengan Tuhan atau
makhluk-makhluk gaib lainnya, dan juga pengalaman menyatu dengan alam.
Pengutamaan
hati sebagai sumber pengetahuan yang paling bisa dipercaya dibanding sumber
lainnya disebut intuisionisme. Mayoritas filosof Muslim memercayai
kelebihan hati atas akal. Puncaknya adalah Suhrawardi al-Maqtul (1153-1192)
yang mengembangkan mazhab isyraqi (iluminasionisme), dan
diteruskan oleh Mulla Shadra (w.1631). Di Barat, intuisionisme dikembangkan
oleh Henry Bergson.
Dalam
tradisi filsafat Barat, pertentangan keras terjadi antara aliran empirisisme
dan rasionalisme. Hingga awal abad ke-20, empirisisme masih memegang kendali
dengan kuatnya kecenderungan positivisme di kalangan ilmuwan Barat. Sedangkan
dalam tradisi filsafat Islam, pertentangan kuat terjadi antara aliran
rasionalisme dan intuisionisme (iluminasionisme,
‘irfani), dengan kemenangan pada
aliran yang kedua. Dalam kisah perjalanan Nabi Khidir dan Nabi Musa, penerimaan
Musa atas tindakan-tindakan Khidir yang mulanya ia pertanyakan dianggap sebagai
kemenangan intuisionisme. Penilaian
positif umumnya para filosof Muslim atas intuisi ini kemungkinan besar
dimaksudkan untuk memberikan status ontologis yang kuat pada wahyu dan sebagai
sumber pengetahuan yang lebih sahih dari pada rasio.
Daftar
Pustaka:
A.B. Shah. (1986). Metodologi Ilmu Pengetahuan, terj. Hasan Basari.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ahmad
Tafsir. (2000). Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Anton Bakker dan Ahmad Charris Zubair.
(1994). Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Asmoro Ahmadi. (2001). Filsafat Umum. Jakarta: Raja Grafindo.
Burhanuddin Salam. (2000). Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara.
Jujun
S. Suriasumantri. (1984). Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Sinar Harapan.
Louis O. Kattsof. (1996). Pengantar
filsafat. Yogyakarta: Tiara Wicana Yogya.
Rizal Mustansyir. (2001). Filsafat Umum.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maftukhin. (2012). Filsafat Islam.
Yogyakarta: Teras.
Neong Muhadjir. (2001). Filsafat Ilmu.
Yogyakarta: Rake Sarasin.
[1] Kalkulus
adalah cabang ilmu matematika yang menganalisis masalah-masalah perubahan.
Kalkulus memuat tentang turunan, integral, limit dan deret tak terhingga.
Kalkulus terbagi menjadi dua cabang utama, yaitu kalkulus diferensial dan
integral, keduanya saling berhubungan melalui teorema dasar kalkulus. A.B.
Shah, Metodologi Ilmu Pengetahuan, terj.
Hasan Basari, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm. xii.
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales
Sampai Capra, Cet. X, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 13.
[3] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer, Cet. I, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm. 20.
[4] Rizal Mustansyir, Filsafat Umum, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm.
2.
[5] Maftukhin, Filsafat Islam, Cet. I,
(Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 1. Lihat juga: Peter A. Angeles, Dictionary of Philosophy, (New York:
Bornes & Noble Books, 1981), hlm. 221.
[8] Neong Muhadjir, Filsafat Ilmu, Cet. I, (Yogyakarta: Rake Sarasin,
2001), hlm. 197-198.
[9] Jujun S. Suriasumantri, Op. Cit.,
hlm. 54.
[10] Ahmad Tafsir, Op. Cit., hlm. 27.
[11] Anton Bakker dan Ahmad Charris
Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Cet. IV, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 42.
[12] Amsal Bakhtiar, Op. Cit., hlm.
43.
[13] Ibid.,
hlm. 44.
[15] Louis O. Kattsof, Pengantar
filsafat, Cet. VII, (Yogyakarta:
Tiara Wicana Yogya, 1996), hlm. 139.
[16] Ibid.
[17] Ahmad Tafsir, Op. Cit., hlm. 27.