Saturday, March 10, 2018

FILSAFAT DAN ILMU PENGETAHUAN

Prawacana
Secara sadar, penulis memang bukan seorang filsuf, melainkan pecinta filsafat dan kebetulan saja mendapat mandat serta tanggungjawab  keilmuan dari panitia kegiatan ‘Sekolah Filsafat’ PMII Komisariat Joko Sangkrip IAINU Kebumen untuk menuliskan makalah dan mengantarkan materi pada acara tersebut. Oleh karenanya, tidak ada maksud apapun dengan penulisan makalah ini kecuali dimaksudkan untuk membantu peserta pelatihan agar lebih mudah dalam belajar dan memahami filsafat, terutama pemahamannya akan filsafat dan ilmu pengetahuan.
Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis, karena kelahiran ilmu tidak terlepas dari peran filsafat. Sebaliknya, perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Kedudukan filsafat adalah sebagai induk atau ibu dari semua ilmu (mater scientiarum) yang didalamnya memiliki proses perumusan yang sangat sulit dan membutuhkan pemahaman yang mendalam, sebab nilai filsafat itu hanyalah dapat dimanifestasikan oleh seorang filsuf yang otentik.
Mekanisme filsafat dan ilmu pengetahuan yang dikembangkan orang secara umum sangat terikat oleh suatu syarat yang sama, yaitu sifat ilmiah. Sifat ilmiah merupakan jalan pemikiran yang harus menampilkan hubungan ketat antara sebab dan akibat, anteseden dan sekuensi, premis dan konklusi dan seterusnya, dan dari kesemuanya itu diatur oleh logika. Logika sendiri merupakan suatu ilmu yang memberi atauran mekanisme akal agar runtut dan benar. Oleh karenanya, wajar apabila orang berkata bahwa filsafat dan ilmu pengetahuan itu ‘beribu’ pada logika.
Wallter Wallace membuat konstruksi logis teori ilmu pengetahuan yang disebutnya dengan kalkulus. Melalui deduksi diturunkan hipotesis baru dalam rumusan putusan universal. Lewat prediksi diperoleh basis observasi baru yang sekaligus menjadi pembuktian yang menentukan (crucial test). Dengan demikian, rasional siklus yang ketat nyata dalam pemakaian bahasa logika, yaitu putusan partikular, putusan universal dan kalkulus.[1] Konsekwensinya, dari perumusan sebuah ilmu pengetahuan—baik teoretis maupun empiris—tidak bisa dilepaskan dari hukum-hukum logika yang ketat, sehingga dalam hal ini bahwa bangunan filsafat dan ilmu pengetahuan harus berdasarkan pada hukum-hukum logika.
Perkembangan ilmu pengetahuan hingga seperti sekarang ini tidaklah berlangsung secara mendadak, melainkan melalui proses bertahap, dan evolutif. Karenanya, untuk memahami sejarah perkembangan ilmu pengetahuan harus melakukan pembagian atau klasifikasi secara periodik. Setiap periode sejarah pekembangan ilmu pengetahuan menampilkan ciri khas tertentu. Perkembangan pemikiran, secara teoretis senantiasa mengacu kepada peradaban Yunani. Kelahiran sebuah ilmu tidak dapat dipisahkan dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat.
Jika ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, ‘philosophia’ meliputi hampir seluruh pemikiran teoretis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dikemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain. Oleh karenanya, mengetahui perkembangan filsafat sangatlah penting peranannya terhadap perkembangan pemikiran manusia untuk kedepannya. Sebab, pembahasan tentang filsafat akan menyelidiki, menggali dan menelusuri sedalam, sejauh dan seluas mungkin semua tentang hakikat hidup dan aspek didalamnya. Dalam hal ini, kita bisa mendapatkan gambaran bahwa filsafat merupakan akar dari semua ilmu dan pengetahuan yang berkembang di muka bumi ini.
Perlu kiranya bagi kaum akademis-intelektual dan kaum pergerakan untuk mempelajari filsafat hingga keakar-akarnya. Tujuannya adalah agar mengetahui dasar dari ilmu pengetahuan. Sebab, manusia hidup pastilah memiliki pengalaman yang berbeda, yang kemudian dari pengalaman tersebut akan muncul ilmu sebagai kumpulan dari pengalaman atau pengetahuan yang ada agar terbuka wawasan pemikiran yang ilmiah-filosofis.

A.      Pengertian dan Latar Belakang Munculnya Filsafat
Seseorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kemestaan galaksi. Atau seorang yang berdiri di puncak tinggi memandang arah dan lembah dibawahnya.[2] Jadi, jika di telaah lebih mendalam, karakteristik berpikir filsafat memiliki tiga sifat yang pokok, yaitu menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. Sifat menyeluruh mengandung arti bahwa cara berpikir filsafat tidaklah sempit (fragmentaris atau sektoral), tetapi selalu melihat persoalan dari tiap sudut yang ada. Sifat mendasar artinya untuk menganalisa tiap sudut persoalan perlu dianalisis secara mendalam. Sedangkan sifat spekulatif maksudnya bukan menganalisa suatu persoalan dengan untung-untungan, tetapi harus memiliki dasar-dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.[3]
Secara etimologis, filsafat berasal dari beberapa bahasa, yaitu bahasa Inggris dan Yunani. Dalam bahasa Inggris, yaitu ‘philosophy, sedangkan dalam bahasa Yunani, ‘philen’ atau ‘philos’ dan ‘sofein’ atau ‘sophi’. Ada pula yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘falsafah’ yang artinya al-hikmah. Akan tetapi, kata tersebut pada awalnya berasal dari bahasa Yunani. ‘philos’ artinya cinta, sedangkan ‘Sophia’ artinya kebijaksanaan.[4] Secara singkat dapat dikatakan bahwa filsafat adalah cinta akan kebijaksanaan.[5]
Oleh karena itu filsafat dapat diartikan dengan cinta kebijaksanaan yang dalam bahasa Arab di istilahkan dengan al-hikmah. Para ahli filsafat disebut dengan filosof, yakni orang yang mencintai atau mencari kebijaksanaan atau kebenaran. Filosof bukan orang yang bijaksana atau berpengaruh benar, melainkan orang yang sedang belajar mencari kebenaran dan kebijaksanaan.
Selain dengan melacak arti kata, cara lain memahami filsafat adalah dengan meninjau dari aspek terminologi. Secara terminologis, ada banyak definisi yang diberikan oleh para ahli atau filosof mengenai pengertian filsafat. Beragamnya definisi ini dapat dimaklumi mengingat setiap filosof yang membuat definisi memiliki pertimbangan tertentu dan sekaligus dipengaruhi oleh berbagai aspek. Implikasinya, tidak ada definisi yang sama persis yang dibuat, masing-masing definisi mencerminkan karakteristik pembuatnya.
Adapun beberapa pengertian pokok tentang filsafat menurut kalangan filosof adalah sebagai berikut:
1.          Plato (477 SM-347 SM), adalah seorang filsuf Yunani terkenal, gurunya Aristoteles, ia sendiri berguru kepada Socrates. Menurut Plato, filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada, ilmu yang berminat untuk mencapai kebenaran yang asli.
2.         Aristoteles (381SM-322 SM), menurutnya bahwa filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu; metafisika, logika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
3.         Marcus Tulius Cicero (106SM-43SM), seorang politikus dan ahli pidato Romawi merumuskan filsafat sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya.
4.        Al-Farabi (wafat 950 M), seorang filsuf muslim mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.[6]
Dari uraian dan penjelasan dari para filsuf tentang arti dari filsafat diatas, dapat dijelaskan secara sederhana bahwa filsafat adalah daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami secara radikal dan integral serta sistematik mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia.
Filsafat pertama kali muncul di Yunani, dan orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filosof ialah Thales dari Mileta. Filosof-filosof Yunani yang terbesar yaitu Socrates, Plato, dan Aristoteles. Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu, seperti Israel atau Mesir. Jawabannya adalah di Yunani tidak seperti di daerah lainnya, dimana Yunani tidak mengenal kasta pendeta sehingga orang lebih bebas.
Munculnya filsafat ditandai dengan runtuhnya mitos-mitos dan dongeng-dongeng yang selama itu menjadi pembenaran terhadap setiap gejala alam. Manusia pada waktu itu melalui mitos-mitos mencari keterangan tentang asal-usul alam semesta dan tentang kejadian yang berlangsung di dalamnya.
Ada dua bentuk mitos yang berkembang pada waktu itu, yaitu mitos kosmogonis, yaitu mitos yang mencari tentang asal-usul alam semesta, dan mitos kosmologis yang berusaha mencari keterangan tentang asal usul serta sifat kejadian di alam semesta. Meskipun memberikan jawaban-jawaban tersebut diberikan dalam bentuk mitos yang lolos dari kontrol akal (rasio).
Cara berfikir seperti itu berlangsung sampai abad ke-6 sebelum masehi (SM), sedangkan sejak abad ke-6 masehi orang mulai mencari jawaban-jawaban rasional tentang asal-usul dan kejadian alam semesta. Pencarian kebijaksanaan bermakna menyelusuri hakikat dan sumber kebenaran. Alat untuk menemukan kebijaksanaan adalah akal yang merupakan sumber primer dan berfikir. Oleh karenanya, kebenaran filosofis tidak lebih dari kebenaran berfikir yang rasional dan radikal.
Dalam ilmu filsafat yang identik dengan pertanyaan-pertanyaan yang kemudian filsafat selalu mencari jawaban-jawaban, sekalipun jawaban-jawaban yang ditemukan tidak pernah abadi. Oleh karenanya filsafat tidak pernah selesai dengan satu pertanyaan dan satu jawaban dan tidak pernah sampai pada akhir sebuah masalah. Masalah-masalah filsafat tidak pernah selesai, karena itulah memang sebenarnya berfilsafat.
B.      Sejarah Kelahiran Filsafat
1.         Masa Yunani
Yunani terletak di Asia Kecil. Kehidupan penduduknya sebagai nelayan dan pedagang, sebab sebagian besar penduduknya tinggal di daerah pantai, sehingga mereka dapat menguasai jalur perdagangan di Laut Tengah. Kebiasaan mereka hidup di alam bebas sebagai nelayan itulah sehingga mewarnai kepercayaan yang dianutnya, yaitu berdasarkan kekuatan alam yang beranggapan bahwa hubungan manusia dengan Sang Maha Pencipta bersifat formalitas. Artinya bahwa kedudukan Tuhan terpisah dengan kehidupan manusia.
Kepercayaan yang bersifat formalitas (natural religion) tidak memberikan kebebasan kepada manusia, ini ditentang oleh Homerus dengan dua buah karyanya yang terkenal, yaitu Ilias dan Odyseus. Kedua karya Homerus itu memuat nilai-nilai yang tinggi dan bersifat edukatif. Sedemikian besar peranan karya Homerus, sama kedudukannya seperti wayang purwa di Jawa. Akibatnya masyarakat lebih kritis dan rasional.
Pada abad ke-6 SM, bermunculan para pemikir yang berkepercayaan sangat bersifat rasional (cultural religion) menimbulkan pergeseran. Tuhan tidak lagi terpisah dengan manusia, melainkan justru menyatu dengan kehidupan manusia. Sistem kepercayaan yang natural-religius berubah menjadi sistem cultural-religius.
Dalam sistem kepercayaan natural-religius ini, manusia terikat oleh tradisionalisme. Sedangkan dalam sistem kepercayaan cultural-religius ini memungkinkan manusia mengembangkan potensi dan budayanya dengan bebas, sekaligus dapat mengembangkan pemikirannya untuk menghadapai dan memecahkan berbagai kehidupan alam dengan akal pikiran.
Ahli pikir pertama kali yang muncul adalah Thales (625-545 SM) yang berhasil mengembangkan geometri dan matematika. Likipos dan Democritos mengembangkan teori materi, Hipocrates mengembangkan ilmu kedokteran, Euclid mengembangkan geometri edukatif, Socrates mengembangkan teori tentang moral, Plato mengembangkan teori tentang ide, Aristoteles mengembang teori tentang dunia dan benda serta berhasil mengumpulkan data 500 jenis binatang (ilmu biologi). Suatu keberhasilan yang luar biasa dari Aristoteles adalah menemukan sistem pengaturan pemikiran (logika formal) yang sampai sekarang masih terkenal.
Para ahli pikir Yunani Kuno ini mencoba membuat konsep tentang asal mula alam. Walaupun sebelumnya sudah ada tentang konsep tersebut. Akan tetapi konsepnya bersifat mitos, yaitu mite kosmogonis (tentang asal usul alam semesta), dan mite kosmologis (tentang asal-usul serta sifat kejadian-kejadian dalam alam semesta), sehingga konsep mereka sebagai mencari asche (asal mula) alam semesta, dan mereka disebutnya sebagai filosof alam.
Oleh karena arah pemikiran filsafatnya pada alam semesta, maka corak pemikirannya kosmosentris. Sedangkan para ahli piker, seperti Socrates, Plato dan Aristoteles yang hidup pada masa Yunani Klasik, karena arah pemikirannya pada manusia sehingga corak pemikiran filsafatnya antroposentris. Hal ini disebabkan oleh arah pemikiran para ahli pikir Yunani Klasik tersebut yang memasukkan manusia sebagai subyek yang harus bertanggungjawab terhadap segala tindakannya.
2.        Masa Abad Pertengahan
Masa ini diawali dengan lahirnya filsafat Eropa. Sebagaimana halnya dengan filsafat Yunani yang dipengaruhi oleh kepercayaan, maka filsafat atau pemikiran pada abad pertengahan pun dipengaruhi oleh kepercayaan Kristen. Artinya bahwa pemikiran filsafat abad pertengahan didominasi oleh agama. Pemecahan semua persoalan selalu didasarkan atas dogma agama, sehingga corak pemikiran kefilsafatannya bersifat teosentris.
Baru pada abad ke-6 Masehi, setelah mendapatkan dukungan dari Karel Agung, maka didirikanlah sekolah-sekolah yang memberi pelajaran gramatika, dialektika, geometri, aritmatika, astronomi dan musik. Keadaan yang demikan akan mendorong perkembangan pemikiran filsafat pada abad ke-13 yang ditandai berdirinya universitas-universitas dan ordo-ordo. Dalam ordo inilah mereka mengabdikan dirinya untuk kemajuan ilmu dan agama, seperti Anselmus (1033 – 1109), Abaelardus (1079-1143), Thomas Aquinas (1225-1274).
Dikalangan para ahli pikir Islam (periode filsafat Skolastik Islam) muncul al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Bajah, Ibnu Tufail, Ibnu Rusyd. Periode skolastik Islam ini berlangsung tahun 850-1200. Pada masa itulah kejayaan Islam berlangsung dan ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat. Akan tetapi, setelah jatuhnya kerajaan Islam di Granada Spanyol (tahun 1492) mulailah kekuasaan politik Barat menjarah ke Timur. Suatu prestasi yang paling besar dalam kegiatan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang filsafat. Di sini mereka merupakan mata rantai yang mentransfer filsafat Yunani, sebagaimana yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Islam di Timur terhadap Eropa dengan menambah pikiran-pikiran Islam sendiri.
Para filosof Islam sendiri sebagian menganggap bahwa filsafat Aristoteles adalah benar, Plato dan al-Qur’an adalah benar, karena mereka mengadakan perpaduan dan sinkretisme antara agama dan filsafat. Kemudian pikiran-pikiran ini masuk ke Eropa yang merupan sumbangan Islam yang paling besar, yang besar pengaruhnya terhadap ilmu pengetahuan dan pemikiran filsafat, terutama dalam bidang teologi dan ilmu pengetahuan alam.
Peralihan dari abad pertengahan ke abad modern dalam sejarah filsafat disebut sebagai masa peralihan (masa transisi), yaitu munculnya Renaissance dan Humanisme yang berlangsung pada abad 15-16. Munculnya Renaissance dan Humanisme inilah yang mengawali masa abad modern. Mulai zaman modern inilah peranan ilmu alam kodrat sangat menonjol, sehingga akibatnya pemikiran filsafatat semakin dianggap sebagai pelayan dari teologi, yaitu sebagai suatu sarana untuk menetapkan kebenaran-kebenaran mengenai Tuhan yang dapat dicapai oleh akal manusia.
3.         Masa Abad Modern
Pada masa abad modern ini, pemikiran filsafat berhasil menempatkan manusia pada tempat yang sentral dalam pandangan kehidupan, sehingga corak pemikirannnya antroposentris, yaitu pemikiran filsafatnya mendasarkan pada akal fikir dan pengalaman.
Di atas telah dikemukakan bahwa munculnya Renaisance dan Humanisme sebagai awal masa abad modern, dimana para ahli (filosof) menjadi pelopor perkembangan filsafat (kalau pada abad pertengahan yang menjadi pelopor perkembangan filsafat adalah para pemuka agama), namun pemikiran filsafat masa abad modern ini berusaha meletakkan dasar-dasar bagi metode logis-ilmiah. Pemikiran filsafat diupayakan lebih bersifat praktis. Artinya bahwa pemikiran filsafat modern diarahkan pada upaya manusia agar dapat menguasai lingkungan alam dengan menggunakan berbagai penemuan ilmiah.
Karena semakin pesatnya orang menggunakan metode induksi atau eksperimental dalam berbagai penelitian ilmiah, akibatnya perkembangan pemikiran filsafat mulai tertinggal oleh perkembangan ilmu-ilmu alam kodrat (natural sciences). Rene Descartes (1596-1650) sebagai bapak filsafat modern yang berhasil melahirkan suatu konsep dari perpaduan antara metode ilmu alam dengan ilmu pasti ke dalam pemikiran filsafat. Upaya ini dimaksudkan agar kebenaran dan kenyataan filsafat juga sebagai kebenaran dan kenyataan yang jelas dan terang.
Pada abad ke-18, perkembangan pemikiran filsafat mengarah kepada filsafat ilmu pengetahuan, di mana pemikiran filsafat diisi dengan upaya manusia, bagaimana cara atau sarana apa yang dipakai untuk mencari kebenaran dan kenyataan. Sebagai tokohnya George Berkeley (1685-1753), David Hume (1711-1776), Rousseau (1722-1778).
Di Jerman muncul Christian Wolft (1679-1754) dan Immanuel Kant (1724-1804), yang mengupayakan agar filsafat menjadi ilmu pengetahuan yang pasti dan berguna, yaitu dengan cara membentuk pengertian-pengertian yang jelas dan bukti yang kuat.
Abad ke-19, perkembangan pemikiran filsafat terpecah belah. Pemikiran filsafat pada saat itu telah mampu membentuk suatu kepribadian tiap-tiap bangsa dengan pengertian dan caranya sendiri. Ada filsafat Amerika, filsafat Perancis, filsafat Inggris, filasafat Jerman. Tokoh-tokohnya adalah Hegel (1770-18311), Karl Marx (1818 -1883), August Comte (1798-1857), JS. Mill (1806-1873), John Dewey (1858-1952) dan lainnya. Dengan munculnya pemikiran filsafat yang bermacam-macam ini, berakibat tidak terdapat lagi pemikiran filsafat yang mendominasi. Giliran selanjutnya lahirlah filsafat kontemporer.[7]
4.        Masa Kontemporer (Abad ke-20 dan Seterusnya)
Tema yang menguasai refleksi filosofis dalam abad ke-20 ini adalah pemikiran tentang bahasa. Sebagian besar pemikir abad ke-20 pernah menulis tentang bahasa. Menurut Wittgenstein, apa yang dihasilkan oleh sebuah karya filsafat melulu sederetan ungkapan filsafati, melainkan upaya membuat ungkapan-ungkapan menjadi jelas. Para filsuf analitik ini tidak lain sebagai reaksi atau respons terhadap aktivitas filsafat yang dilakukan oleh para penganut aliran filsafat idealisme.
Aliran filsafat idealisme lebih menekankan pada upaya mengintrodusir ungkapan-ungkapan filsafati. Ungkapan-ungkapan filsafati yang di introdusir oleh penganut idealisme itu menurut filsuf analitik kebanyakan bermakna ganda atau kubur dan tidak terpahami oleh akal sehat. Hal-hal semacam itulah yang perlu diatasi dengan analisis bahasa. Perkembangan filsafat abad ke-20 juga ditandai oleh munculnya berbagai aliran filsafat, kebanyakan aliran itu merupakan kelanjutan dari aliran-aliran filsafat yang telah berkembang pada abad modern.
Beberapa aliran dan tokoh yang paling berpengaruh pada abad ke-20 adalah Edmund Husserl (1859-1938), selaku pendiri aliran Fenomenologi, ia telah mempengaruhi pemikiran filsafat abad ke-20 ini secara amat mendalam.
Eksistensialisme dan fenomenologi merupakan dua gerakan yang sangat erat dan menunjukkan pemberontakan tambahan terhadap metode-metode dan pandangan-pandangan Barat. Terdapat perbedaan-perbedaan yang besar antara para pengikut aliran ini, namun terdapat tema-tema yang sama sebagai ciri khas aliran ini yang tampak pada para penganutnya. Mengidentifikasi ciri aliran eksistensialisme adalah sebagai berikut:
a.         Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan masyarakat modern, khususnya terhadap idealisme Hegel.
b.        Eksistensialisme adalah suatu protes atas nama individualis terhadap konsep-konsep, filsafat akademis yang jauh dari kehidupan konkret.
c.         Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri modern dan teknologi, serta gerakan massa. Masyarakat industri cenderung untuk menundukkan orang-seorang kepada mesin.
d.        Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan Fasis, Komunis yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan didalam kolektif atau massa.
e.         Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek manusia di dunia.
f.          Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi dan pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.
Salah seorang tokoh eksistensialisme yang popular adalah Jean Paul Sartre (1905-1980), ia membedakan dialektis dengan rasio analitis. Aliran filsafat eksistensialisme yang menjadi mode berfilsafat pada pertengahan abad ke-20 mendapat reaksi dari aliran strukturalisme. Jika eksistensialisme menekankan pada peranan pada individu, maka strukturalisme justru melihat manusia ‘terkukung’ dalam berbagai struktur dalam kehidupannya.
Secara garis besar, ada dua pengertian pokok yang sangat erat kaitannya dengan strukturalisme sebagai aliran filsafat. Pertama, strukturalisme adalah metode atau metodologi yang digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip linguistic yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Kedua, strukturalisme merupakan aliran filsafat yang hendak memahami masalah yang muncul dalam sejarah filsafat. Disini metodologi struktural dipakai untuk membahas tentang manusia, sejarah kebudayaan, serta hubungan antara kebudayaan dan alam.
Para strukturalis filosofis yang menerapkan prinsip-prinsip strukturalisme linguistic dalam berfilsafat bereaksi terhadap aliran filsafat fenomenologi dan eksistensialisme yang melihat manusia dari sudut pandang yang subjektif. Para penganut aliran filsafat strukturalisme ini memiliki kesamaan.
Tokoh berpengaruh dalam aliran filsafat struktulisme adalah Michel Foucault (1926-1984). Kesudahan ‘manusia’ sudah dekat itulah pendirian Foucalt yang sudah terkenal tentang ‘kematian’ manusia. Maksud Foucault bukanya bahwa nanti tidak ada manusia lagi, melainkan bahwa akan hilang konsep ‘manusia’ sebagai suatu kategori istimewa dalam pemikiran kita.        
Pada abad ke-20, ada aliran filsafat yang pengaruhnya dalam dunia praktis cukup besar, yaitu aliran filsafat pragmatisme. Aliran filsafat ini merupakan suatu sikap metode dan filsafat yang memakai akibat-akibat praktis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai kebenaran.
Salah seorang tokoh pragmatisme adalah Willam James (1842-1910), ia memandang pemikirannya sendiri sebagai kelanjutan empirisme Inggris, namun empirismenya bukan merupakan upaya untuk menyusun kenyataan berdasar atas fakta-fakta lepas sebagai hasil pengamatan. James membedakan dua macam bentuk pengetahuan:
a.         Pengetahuan yang langsung diperoleh dengan jalan pengamatan.
b.        Pengetahuan tidak langsung yang diperoleh melalui pengertian.
Suatu ide dapat menjadi benar apabila didukung oleh peristiwa-peristiwa sebagai akibat atau buah dari ide itu.
Pada awalnya, postmodernisme lahir sebagai reaksi terhadap kegagalan modernism. Dalam modernisme, filsafat memang berpusat pada Epistemologi yang bersandar pada gagasan tentang subjektivitas dan objektivitas murni yang satu sama lain terpisah dan tidak saling berkaitan. Tugas pokok filsafat adalah mencari pondasi segala pengetahuan, dan tugas pokok subjek adalah mempresentasikan kenyataan objektif.
Wacana postmodern menjadi popular setelah Francois Lyotard (1924) menerbitkan bukunya The Postmodern Condition; A Report on Knowledge (1979). Modernitas menurut Lyotard ditandai oleh kisah-kisah besar yang mempunyai fungsi mengarahkan serta menjiwai masyarakat modern, mirip dengan mitos-mitos yang mendasari masyarakat-masyarakat primitif dulu.[8]
C.      Sumber Pengetahuan
Semua orang mengakui dan memiliki pengetahuan. Persoalannya adalah dari mana pengetahuan itu diperoleh atau lewat apa pengetahuan didapat. Dari situ kemudian timbul pertanyaan bagaimana caranya kita memperoleh pengetahuan atau dari mana sumber pengetahuan kita?
Sumber pengetahuan merupakan aspek-aspek yang mendasari lahirnya ilmu pengetahuan yang berkembang dan muncul dalam kehidupan manusia. Mengenai sumber pengetahuan dikalangan ilmuwan, ada semacam perbedaan sudut pandang mengenai kisaran dari manakah sebenarnya pengetahuan itu ada. Perbedaan-perbedaan inilah yang dalam filsafat, baik filsafat Barat maupun filsafat Islam melahirkan berbagai aliran, yaitu aliran empirisme, rasionalisme, dan intusionalisme.
Ada semacam perbedaan sudut pandang antara filsafat Barat dan filsafat Timur dalam hal epistimologi. Dalam hal ini, epistemologi Barat itu lebih mengistimewakan peranan manusia dalam memecahkan segala sesuatu. Filosof Barat lebih mengandalkan kekuatan akal dan indera. Sedangkan epistemologi Islam dari gagasan epistemologinya diformulasikan berdasarkan al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber utama dalam memecahkan segala sesuatu.
1.         Empirisme
Kata empirisme berasal dari kata Yunani, ‘empeirisko’ yang memiliki arti pengalaman. Menurut aliran ini, manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Apabila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman inderawi.[9] Pengetahuan inderawi bersifat parsial. Itu disebabkan oleh adanya perbedaan antara indera yang satu dengan yang lainnya, berhubungan dengan sifat khas fisiologis indera dan dengan objek yang dapat ditangkap sesuai dengannya. Masing-masing indera menangkap aspek yang berbeda mengenai barang atau makhluk yang menjadi objeknya. Jadi pengetahuan inderawi berada menurut perbedaan indera dan terbatas pada sensibilitas organ-organ tertentu.[10]
John Locke (1632-1704), bapak empiris Britania mengemukakan teori tabula rasa (sejenis buku catatan kosong). Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan. Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lama-kelamaan menjadi kompleks, lalu tersusunlah pengetahuan berarti. Jadi, bagaimanapun kompleks pengetahuan manusia, ia selalu dapat dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar. Jadi, pengalaman indera itulah merupakan sumber pengetahuan yang benar.[11]
David Hume, salah satu tokoh empirisme mengatakan bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yaitu kesan-kesan (impression), dengan pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, seperti merasakan tangan terbakar, dan ide-ide (ideas) yang berasal dari gambaran tentang pengamatan yang samar-samar yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau terefleksikan dalam kesan-kesan yang diterima  dari pengalaman.[12] Jadi, gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empirisme adalah bersifat konkret dan dapat dinyatakan lewat panca indera.
Berdasarkan teori ini, akal hanya mengelola konsep gagasan inderawi. Kaum empiris juga menganggap akal sebagai sejenis tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Akal berfungsi untuk memastikan hubungan urutan-urutan peristiwa tersebut, padahal hubungan yang demikian itu bersifat kemungkinan belaka, dan pengetahuan kita tentang hubungan peristiwa tersebut sesungguhnya berasal dari pengalaman.
Jadi, dalam empirisme bahwa sumber utama untuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris yang diperoleh dari panca indera. Sedangkan Akal tidak berfungsi banyak, kalaupun ada, itu hanya sebatas ide yang kabur.[13]
2.        Rasionalisme (akal)
Secara etimologi, rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris ‘rationalism’. Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ‘ratio’ yang berarti ‘akal’. A.R. Lacey menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya, ‘rasionalisme’ adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Sementara itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. la menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi. Rasionalisme adalah faham yang mengatakan bahwa akal itulah alas pencari dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuanya diukur dengan akal pula.[14]
Pada intinya, aliran rasionalisme menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek.
Aliran rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh pengetahuan sebagaimana menurut empirisme. Namun bagi rasionalisme bahwa pengalaman indera diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja, tetapi sampainya manusia kepada kebenaran adalah semata-mata akal.
Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak dalam ide dan bukannya didalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan,  kebenaran hanya ada dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.[15] Akal, selain berkerja karena ada bahan  dari indera, juga akal dapat menghasilkan pengetahuan yang  tidak berdasarkan bahan inderawi sama sekali. Jadi akal dapat juga mengahasilkan pengetahuan tentang objek yang betul-betul abstrak.
Rene Descartes, seorang pelopor rasionalisme berusaha  menemukan suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan lagi. Ia yakin bahwa kebenaran-kebenaran semacam itu ada, dan kebenaran tersebut dikenal dengan cahaya yang terang dari akal budi sebagai hal-hal yang tidak dapat diragukan. Dengan demikian, akal budi dipahamkan sebagai sejenis perantara suatu teknik deduktif, yang dengan memakai teknik tersebut dapat ditemukan kebenaran, artinya dengan melakukan penalaran yang akhirnya tersusunlah sebuah pengetahuan.[16]
Tetapi rasionalisme juga mempunyai kelemahan, seperti mengenai kriteria untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide  yang menurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya, namun belum tentu menurut orang itu sebagai sebuah kebenaran.
Dari dua aliran tersebut (empirisme dan rasionalisme) terlahirlah metode ilmiah atau pengetahuan sains yang merupakan penggabungan dari kedua aliran tersebut. Dalam hal ini panca indera  mengumpulkan data-data, sedangkan akal menyimpulkan berdasarkan pada prinsip-prinsip universal, kemudian disebut universal. Tapi kebenaran yang model ini bukan kebenaran mutlak, tapi kebenaran yang dekat pada hakikat, yaitu menurut kesanggupan tertinggi dari akal dalam mendekati hakikat itu.
3.         Intuisi
Organ fisik yang berkaitan dengan fungsi hati atau intuisi tidak diketahui dengan pasti, ada yang menyebut jantung, ada juga yang menyebut otak bagian kanan. Pada praktiknya, intuisi muncul berupa pengetahuan yang tiba-tiba saja hadir dalam kesadaran tanpa melalui proses penalaran yang jelas, non-analitis dan tidak selalu logis. Intuisi bisa muncul kapan saja tanpa kita rencanakan, baik saat santai maupun tegang, ketika diam maupun bergerak. Kadang ia datang saat kita tengah jalan-jalan di trotoar, saat kita sedang mandi, bangun tidur, saat main catur, atau saat kita menikmati pemandangan alam.
Menurut Henry Bergson, intusi adalah hasil dari evolusi dari pemahaman yang tertinggi. Pengembangan kemampuan ini (intuisi) memerlukan suatu usaha.[17] Ia juga mengatakan bahwa intuisi adalah suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak dan bukan pengetahuan yang nisbi. Menuruutnya juga bahwa intuisi mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis, yang pada dasarnya bersifat analis, menyeluruh, mutlak dan tanpa dibantu oleh penggambaran secara simbolis. Karena itu, intuisi adalah sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika.
Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur intuisi  tidak dapat diandalkan. Kegiatan intuisi dan analisis bisa bekerja saling membantu dalam menemukan kebenaran. Bagi Nietzchen, intuisi merupakan ‘intelegensi yang paling tinggi’, dan bagi Maslow intuisi merupakan ‘pengalaman puncak’ (peak experience).[18]
Intuisi disebut juga ilham atau inspirasi, meskipun pengetahuan intuisi hadir begitu saja secara tiba-tiba, namun tampaknya ia tidak jatuh ke sembarang orang, melainkan hanya kepada orang yang sebelumnya sudah berpikir keras mengenai suatu masalah. Ketika seseorang sudah memaksimalkan daya pikirnya dan mengalami kemacetan, lalu ia mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau bersantai, pada saat itulah intuisi berkemungkinan muncul. Oleh karena itu, intuisi sering disebut supra-rasional atau suatu kemampuan yang berada di atas rasio, dan hanya berfungsi jika rasio sudah digunakan secara maksimal namun menemui jalan buntu.
Hati bekerja pada wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh akal, yakni pengalaman emosional dan spiritual. Kelemahan akal ialah terpagari oleh kategori-kategori sehingga hal ini, menurut Immanuel Kant (1724-1804), membuat akal tidak pernah bisa sampai pada pengetahuan langsung tentang sesuatu sebagaimana adanya (das ding an sich) atau noumena. Akal hanya bisa menangkap yang tampak dari benda itu (fenoumena), sementara hati bisa mengalami sesuatu secara langsung tanpa terhalang oleh apapun, tanpa ada jarak antara subjek dan objek.
Kecenderungan akal untuk selalu melakukan generalisasi (meng-umumkan) dan spatialisasi (meruang-ruangkan) yang membuatnya tidak akan mengerti keunikan-keunikan dari kejadian sehari-hari. Hati dapat memahami pengalaman-pengalaman khusus, misalnya pengalaman eksistensial, yakni pengalaman riil manusia seperti yang dirasakan langsung dan bukan lewat konsepsi akal. Akal tidak bisa mengetahui rasa cinta, hatilah yang merasakannya. Hati juga bisa merasakan pengalaman religius, berhubungan dengan Tuhan atau makhluk-makhluk gaib lainnya, dan juga pengalaman menyatu dengan alam.
Pengutamaan hati sebagai sumber pengetahuan yang paling bisa dipercaya dibanding sumber lainnya disebut intuisionisme. Mayoritas filosof Muslim memercayai kelebihan hati atas akal. Puncaknya adalah Suhrawardi al-Maqtul (1153-1192) yang mengembangkan mazhab isyraqi (iluminasionisme), dan diteruskan oleh Mulla Shadra (w.1631). Di Barat, intuisionisme dikembangkan oleh Henry Bergson.
Dalam tradisi filsafat Barat, pertentangan keras terjadi antara aliran empirisisme dan rasionalisme. Hingga awal abad ke-20, empirisisme masih memegang kendali dengan kuatnya kecenderungan positivisme di kalangan ilmuwan Barat. Sedangkan dalam tradisi filsafat Islam, pertentangan kuat terjadi antara aliran rasionalisme dan intuisionisme (iluminasionisme, ‘irfani), dengan kemenangan pada aliran yang kedua. Dalam kisah perjalanan Nabi Khidir dan Nabi Musa, penerimaan Musa atas tindakan-tindakan Khidir yang mulanya ia pertanyakan dianggap sebagai kemenangan intuisionisme. Penilaian positif umumnya para filosof Muslim atas intuisi ini kemungkinan besar dimaksudkan untuk memberikan status ontologis yang kuat pada wahyu dan sebagai sumber pengetahuan yang lebih sahih dari pada rasio.

Daftar Pustaka:
A.B. Shah. (1986). Metodologi Ilmu Pengetahuan, terj. Hasan Basari. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ahmad Tafsir. (2000). Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Anton Bakker dan Ahmad Charris Zubair. (1994). Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Asmoro Ahmadi. (2001). Filsafat Umum. Jakarta: Raja Grafindo.
Burhanuddin Salam. (2000). Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi  Aksara.
Jujun S. Suriasumantri. (1984). Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
Louis O. Kattsof. (1996). Pengantar filsafat. Yogyakarta: Tiara Wicana Yogya.
Rizal Mustansyir. (2001). Filsafat Umum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maftukhin. (2012). Filsafat Islam. Yogyakarta: Teras.
Neong Muhadjir. (2001). Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Rake Sarasin.



[1] Kalkulus adalah cabang ilmu matematika yang menganalisis masalah-masalah perubahan. Kalkulus memuat tentang turunan, integral, limit dan deret tak terhingga. Kalkulus terbagi menjadi dua cabang utama, yaitu kalkulus diferensial dan integral, keduanya saling berhubungan melalui teorema dasar kalkulus. A.B. Shah, Metodologi Ilmu Pengetahuan, terj. Hasan Basari, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm. xii.
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Cet. X, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 13.
[3] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. I, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm. 20.
[4] Rizal Mustansyir, Filsafat Umum, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 2.
[5] Maftukhin, Filsafat Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 1. Lihat juga: Peter A. Angeles, Dictionary of Philosophy, (New York: Bornes & Noble Books, 1981), hlm. 221.
[6] Asmoro Ahmadi, Filsafat Umum, Cet. I, (Jakarta: Raja Grafindo, 2001), hlm. 2-3.
[7] Ibid., hlm. 21-27.
[8] Neong Muhadjir, Filsafat Ilmu, Cet. I, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2001), hlm. 197-198.
[9] Jujun S. Suriasumantri, Op. Cit., hlm. 54.
[10] Ahmad Tafsir, Op. Cit., hlm. 27.
[11] Anton Bakker dan Ahmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Cet. IV, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 42.
[12] Amsal Bakhtiar, Op. Cit., hlm. 43.
[13] Ibid., hlm. 44.
[14] Ahmad Tafsir . Op. Cit., hlm. 30-31.
[15] Louis O. Kattsof, Pengantar filsafat, Cet. VII, (Yogyakarta: Tiara Wicana Yogya, 1996), hlm. 139.
[16] Ibid.
[17] Ahmad Tafsir, Op. Cit., hlm. 27.
[18] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, Cet. III, (Jakarta: Bumi  Aksara, 2000), hlm. 131.

Previous Post
Next Post

Penulis yang mengabdikan tulisannya bagi amal jariyah pemikiran. Tokoh favorit sekaligus panutannya adalah Gus Dur