Saturday, June 25, 2022

Dilema Manusia Modern

Dilema Manusia Modern

Zaman modern sebagai situasi zaman di mana umat manusia hari ini disuguhkan dengan kemegahan dan kemajuan yang pesat di segala bidang, namun di satu sisi ternyata menyimpan senjata yang nampaknya mengancam martabat umat manusia. Berangkat dari alasan manusiawi, perlu kiranya bagi kita atas perkembangan situasi abad modern yang penuh problematik dan dilema manusia ini dengan sikap keprihatinan mendalam.

Abad modern yang penuh problematik ini perlu dibaca dengan kepala dingin, dengan analisis teoretik dan reflektif yang mendalam, sehingga permasalahan zaman ini dapat diungkapkan dalam suatu rangkaian pemikiran filosofis yang ketat dan tajam. Untuk menjawab itu semua, saya tertarik dengan gagasan, pemikiran teoretis Max Horkheimer, dari Frankfurt School. Ketertarikan saya pada Horkheimer karena ia sebagai sosok pemikir sosial kritis yang mempunyai keprihatinan mendalam terhadap problematika zaman modern; dia berusaha berkepala dingin dengan memeriksa permasalahan manusia modern ini semata-mata dari sudut intelektual.

Memang benar adanya, membaca pemikiran Horkheimer sangat terasa betapa kita sedang diseret pada situasi konkret masalah kemanusiaan modern pada suatu refleksi teoretis yang mendalam. Betapa tidak, situasi zaman modern yang penuh problematik ini oleh Horkheimer dikuliti habis dengan kaca mata intelektual-filosofis. Baginya, situasi modern disebutnya sebagai ambisius dan berdarah, yang disebabkan oleh perkembangan pemikiran manusia itu sendiri. Keyakinan ini dibuktikannya dengan serangkaian pemikiran filosofis yang ketat dan tajam atas pertanyaan-pertanyaan mendasar manusia tentang diri dan lingkungannya.

Perlu kiranya, pemikiran filosofis Horkheimer ini patut untuk kita perhatikan, karena di sanalah kita akan menjumpai dan bahkan menemukan alasan-alasan mendasar dan filosofis atas keprihatinan perkembangan zaman modern yang justru menuntun manusia pada kemacetan, kemandegan hingga kegagalan.

Harus diakui bahwa pemikiran Max Horkheimer memang sangat luas, tentu semua pemikirannya itu tidak akan habis jika diuraikan dalam tulisan ringkas dan sederhana ini. Sudi kiranya, tulisan yang pendek ini akan mengantarkan kita pada suatu pemahaman mendasar-filosofis tentang konsep teori kritis yang digagas oleh Max Horkheimer.

Teori Kritis merupakan teori sosial yang berupaya menganalisis sisi gelap abad modern, yakni  tercerabutnya sisi-sisi kemanusiaan dari kehidupan sosial. Tujuan teori kritis adalah mengubah orientasi masyarakat dari kemajuan zaman modern, yang ditandai oleh kemegahan dan kemewahan pembangunan fisik yang ternyata tidak bisa dinikmati oleh semua golongan umat manusia. Bahkan sebagian, terutama golongan-golongan yang kalah, justru tercerabut dari martabat dan eksistensinya sebagai makhluk mulia.

Max Horkheimer mengartikan teori kritis sebagai teori yang mendesak transformasi keseluruhan fenomena sosial. Teori kritis ini bertujuan untuk mengkaitkan teori dengan praksis atau tindakan. Dengan kata lain, teori mesti membawa dampak atau berguna untuk meningkatkan kesadaran dan wawasan yang lebih dan memungkinkan perubahan lingkungan sosial budaya secara rasional juga manusiawi.

Dalam teori kritis, Horkheimer memberikan perhatian mendalam tentang sisi-sisi kemanusiaan yang konkret dalam sebuah telaah teoretis yang reflektif dan humanis. Pergulatan pemikiran yang reflektif dan humanis tersebut membawa Horkheimer pada kesimpulan bahwa kemajuan zaman modern, dengan segala ekses negatifnya, tidak lain adalah karena penggunaan rasio secara teknokratis. Horkheimer menunjukkan bahwa usaha rasional manusia dalam mencari kebenaran pada akhirnya akan kembali pada irasionalitas apabila penggunaan rasio tidak ditata dengan pendekatan baru yang membebaskan, yakni pendekatan teori kritis.

Sebenarnya, pemikiran Horkheimer mengenai teori kritis berbeda dengan pandangan filsafat kritis yang dimulai oleh Kant dan dikembangkan oleh Hegel. Kant berbicara mengenai filsafat kritis, yakni kesadaran subjek sebagai asal-usul pengetahuan. Hegel berbicara mengenai filsafat sosial, yakni kesadaran moral sebagai asal-usul pengetahuan.

Bagi Horkheimer, filsafat Kant dan Hegel tersebut bersifat ideologis, karena keduanya memisahkan antara teori dan praksis. Teori kritis harus memberikan penyadaran terhadap kondisi masyarakat modern melalui penggabungan teori dan praksis agar tidak mengulangi kesalahan filsafat kritis yang menjebak para pendukungnya dalam kondisi modernitas yang irasional.

Menurut Horkheimer, kebebasan individu dalam masyarakat modern bersifat semu. Meskipun kebebasan individu bisa dibayangkan, tapi kenyataannya justru individu diperbudak secara tidak sadar oleh masyarakat yang digerakkan modal. Bayangan mengenai kebebasan tersebut merupakan khayalan ideologis. Tugas teori kritis adalah melakukan transformasi, yakni pembebasan individu dari khayalan ideologi tentang kebebasan itu. Individu yang secara kritis menyadari situasinya dapat membebaskan diri menjadi ego yang selalu berada dalam ketegangan dengan masyarakat. Inilah mengapa teori kritis tidak bebas nilai. Karena, dengan teori kritis sehingga individu dapat menciptakan kesadaran untuk mendobrak belenggu masyarakat yang menjerat kebebasannya. Bagi Horkheimer, klaim ilmu pengetahuan tentang kenetralan teori, pada zaman modern ini, sebenarnya hanyalah suatu klaim tentang kenetralan yang semu.

Menurut Hokheimer, teori kritis harus menilai (tidak bersikap netral) sehingga bisa mendorong perubahan atau transformasi sosial melalui kecurigaan-kecurigaan yang dibangun terhadap apa yang terjadi dalam masyarakat modern. Kecurigaan dimaksud adalah sikap kritis terhadap pengertian modern mengenai "produktif" yang selama ini diperjuangkan para pendukungnya sebagai sesuatu yang "objektif". Kini, melalui teori kritis, harus dipersoalkan untuk melihat apakah "produktivitas" sebagai ukuran "objektivitas" benar-benar memanifestasikan kesadaran manusia modern?

Teori kritis menolak ilmu pengetahuan yang bebas nilai. Karena dalam pandangan teori kritis bahwa ilmuwan selalu inheren atau terkait dengan masyarakat atau objek yang dipelajarinya. Jadi, teori tidak bersifat steril dari kepentingan. Seperti kata Horkheimer, kegiatan ilmiah pada prinsipnya sama dengan pemihakan pada kelompok masyarakat tertentu. Dalam hal ini, Horkheimer menganggap bahwa rasionalitas modern bersifat instrumental dan irasional. Instrumental, karena rasionalitas modern ditentukan objektivitasnya oleh fungsi pragmatisnya. Irasional, karena rasionalitas modern adalah pernyataan sikap yang dimanipulasikan oleh prasangka tertentu, yakni kesadaran semu yang digerakkan oleh modal.

Masyarakat irasional melestarikan apa yang kelihatan objektif, tetapi sejatinya semu. Teori kritis bertujuan membongkar kesadaran palsu itu sebagai kedok ideologi yang ingin melestarikan keirasionalan di masyarakat dengan menunjukkan kesejatian kepentingan diri, yakni kebebasan manusia.

Intinya, pemikiran Horkheimer merupakan kritik terhadap ilmu pengetahuan warisan modernisme yang kini sudah harus ditinggalkan. Pemikiran Horkheimer berisi kritik tajam terhadap modernitas; yang dipandangnya sebagai sejarah dominasi atau penguasaan rasionalitas subjek. Kritik tajam Horkheimer terhadap modernitas adalah karena pemahaman modernitas secara keliru sebagai perwujudan rasio murni dalam bentuknya yang objektif dan bebas nilai (value free).[]


HUKUM ISLAM INDONESIA

HUKUM ISLAM INDONESIA

Prawacana

Diskursus mengenai ketidakadilan gender kian hari kian menarik untuk diperbincangkan. Hal ini wajar-wajar saja oleh sebab banyak fakta sosial yang menunjukkan betapa seringnya terjadi ketidakadilan gender. Bahkan acapkali ketidakadilan gender ini menggunakan stempel basah yang bernama logika agama; semacam mencari pembenaran melalui ragam penafsiran dalam memahami rancang-bangun hukum Islam yang mengatur hal ihwal relasi antara laki-laki dan perempuan dalam hidup dan kehidupan.

Doktrin agama, termasuk Islam, selama ini dinilai telah ikut melanggengkan ketidakadilan terhadap perempuan yang terimplementasi tidak hanya pada marginalisasi dan subordinasi pada berbagai sektor kehidupan, tapi bahkan sampai pada tingkat kekerasan terhadap perempuan. Beberapa segi dalam hukum Islam pun dinilai cenderung memihak kepada laki-laki dengan mendiskriminasi terhadap perempuan. Institusi-institusi dalam hukum Islam yang sering diangkat untuk mengilustrasikan pemahaman tersebut antara lain adalah masalah kepemimpinan, persaksian, perwalian, poligami, kewarisan, dan lain-lain. Bidang-bidang yang menjadi bagian kajian hukum Islam tersebut oleh kalangan feminis dinilai sangat bias gender.

Kondisi ini menghendaki pengkajian yang lebih mendalam. Benarkah hukum Islam lebih mementingkan laki-laki dan memarginalkan kaum perempuan? Benarkah ajaran Islam bias gender? Benarkah hukum Islam patriarkhis? Apakah benar hukum Islam diskriminatif terhadap kaum perempuan? Apakah aturan-aturan hukum Islam selama ini tidak cukup memberikan akses pemberdayaan dan peluang serta posisi bagi kaum perempuan yang cukup setara dengan laki-laki? Bukankah kehadiran Islam membawa gagasan-gagasan besar kemanusiaan yang universal yang melampaui semua perbedaan manusia, termasuk jenis kelamin di dalamnya.

Pertanyaan-pertanyaan krusial tersebut harus dijawab secara arif dan akademis melalui penalaran ilmiah yang metodologis dan komprehensif. Karena pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagai problem dasar dalam membincang isu kesetaraan gender dalam konteks hukum Islam. Meskipun pandangan-pandangan keagamaan itu merupakan produk fikihpemahaman para ulama atas sebuah tekstapi dalam prakteknya bahwa fikih telah menjadi sumber bagi pembentukan hukum Islam; fikih atau syariah yang dipositivisasi ke dalam hukum negara. Oleh sebab itu, baik fikih maupun hukum Islam, keduanya adalah produk pemikiran manusia yang sangat mungkin mengalami pembiasan, sehingga muatannya bisa kontradiktif dan bahkan kemudian menjadi diskriminatif.

A.           Sejarah Masuknya Islam di Indonesia dan Corak Pemikirannya

Eksistensi hukum Islam di Indonesia saat ini sebenarnya memiliki akar sejarah yang begitu panjang. Jika ditarik jauh ke belakang genealoginya bisa dijangkau dari awal mula Islam masuk ke Indonesia (Nusantara). Karenanya, sebelum membahas mengenai keberadaan dan perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia, ada baiknya dijelaskan secara singkat beberapa teori masuknya Islam di Indonesia. Pembahasan mengenai hal ini lebih dimaksudkan untuk menggali sejauh mana implikasi watak eksklusif awal mula Islam di Indonesia terhadap perkembangan hukum Islam di Indonesia.

Jika menggali dari berbagai sumber sejarah, ada tiga teori yang menjelaskan tentang kedatangan Islam ke Indonesia.[1] Terdapat diskusi dan perdebatan panjang di antara para ahli mengenai tiga masalah pokok, yakni tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Berbagai teori dan pembahasan yang berusaha menjawab ketiga masalah pokok tersebut jelas belum tuntas hingga saat ini, bukan karena kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori yang ada, akan tetapi lebih pada kecenderungan yang kuat masing-masing teori dalam hal penekanannya pada aspek-aspek khusus dari ketiga masalah pokok di maksud, sementara dari sisi lain mengabaikan aspek-aspek yang lainnya.[2] Adapun ketiga teori kedatangan Islam di Indonesia di maksud adalah teori Arabia (Makkah), Gujarat, dan Persia.

1.             Teori Arabia (Makkah)

Teori ini menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dari Makkah dan Madinah. Waktu kedatangannya sekitar abad ke-7 Masehi. Ini berarti, Islam sudah masuk ke Indonesia pada awal abad Hijriyah. Ketika itu, pemerintahan Islam masih berada di tangan Khulafaur Rasyidin. Dalam sumber literatur China disebutkan bahwa menjelang perempat pertama abad ke-7 Masehi banyak terdapat perkampungan Arab-Muslim di pesisir pantai Sumatra. Di perkampungan ini dikabarkan bahwa orang-orang Arab tinggal dan menikah dengan penduduk lokal, kemudian membentuk komunitas Muslim.[3]

Teori Arab ini agaknya hanya di dasarkan pada keinginan emosional para sejarahwan Islam yang ingin memastikan bahwa Islam yang ada di Indonesia adalah Islam yang asli atau otentik, bukan Islam pinggiran (periferal) atau sinkretis. Karena, bagaimana pun juga bahwa teori ini cukup gagap dalam memberikan kontitum dan jawaban pasti terhadap proses konversi agama dan Islamisasi di Nusantara ini. Dengan melihat sifat ketidakmungkinan ini, maka dapat dikatakan bahwa ketika itu proses Islamisasi belum bisa dikatakan telah terjadi di Nusantara.

2.             Teori Gujarat

Sejumlah Sarjana yang kebanyakan asal Belanda, memegang teori bahwa asal mula Islam Nusantara adalah dari anak benua India, bukannya Persia atau Arabia. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnapple, ahli dari Universitas Leiden. Dia mengkaitkan asal mula Islam di Nusantara dengan wilayah Gujarat dan Malabar. Menurutnya, adalah orang-orang Arab bermazhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India tersebut dan kemudian membawa Islam ke Nusantara.[4]

Teori Gujarat ini kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje, yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah yang terdapat di anak benua India. Gujarat, Bengali, dan Malabar disebut-sebut sebagai asal masuknya Islam ke Indonesia. Teori ini berdasarkan pada pengamatan bahwa tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal, yaitu pada abad ke-12 atau 13 Masehi. Snouck juga mengatakan bahwa teorinya ini didukung dengan adanya hubungan yang sudah terjalin lama antara wilayah Indonesia dengan daratan India.[5]

3.             Teori Persia

Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di Indonesia. Sandaran teori ini yaitu adanya kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia. Contohnya, peringatan 10 Muharram yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husain. Selain itu juga terdapat beberapa sarapan bahasa yang diyakini berasal dari wilayah Iran, misalnya kata jabar dari zabar, jer dari zeer, dan sebagainya. Teori ini meyakini bahwa Islam masuk ke wilayah Indonesia pada abad ke-13 Masehi. Adapun wilayah pertama yang disinggahi adalah kawasan Samudra Pasai.[6]

Dalam pengamatan sarjana Barat, Islam di Nusantara disebarkan oleh para pedagang, di samping melakukan aktivitas utamanya, mereka juga melakukan perkawinan dengan wanita setempat. Di samping itu pergerakan para Sufi pengembara, karena berkat otoritas dan kekuatan magis yang mereka miliki, mereka telah mampu melakukan penyebaran Islam di Nusantara dan berhasil mengislamkan penduduk sejak abad ke-8 Hijriyah. Mereka telah mentransplantasi, meramu, dan menghadirkan satu sentuhan yang harmonis dari unsur budaya lokal ke dalam ajaran Islam, sehingga mampu menghadirkan Islam dengan ajarannya yang sinergis dengan tradisi yang dianut oleh masyarakat. Fenomena inilah yang memaksa para penulis Barat untuk mengatakan bahwa karakteristik Islam di Nusantara bersifat sinkretik.[7]

Mengikuti teori yang memaparkan dominasi kaum Sufi dalam penyebaran Islam di Nusantara, maka wajar jika telah membentuk Islam Indonesia dengan corak Sufistik, di mana watak intelektualitas-filosofis redup di dalamnya; karena lebih menampakkan nuansa sufistik-sinkretik yang memberikan pengaruh bagi pemikiran Islam di Indonesia.

Kenyataan tersebut, sebenarnya yang telah membuat Islam di Indonesia kurang memiliki momentum dan kemampuan yang kuat untuk mengembangkan diri secara mandiri dalam segala bidang, termasuk di dalamnya pemikiran tentang Hukum Islam di Indonesia. Atau dengan kata lain, umat Islam Indonesia lebih enjoy menikmati mistisisme dan tradisi yang lebih menekankan asketisme dengan menafikkan masalah-masalah duniawi. Karena begitu kuatnya pengaruh dari tradisi, maka pemikiran-pemikiran Hukum Islam di Indonesia yang ada menjadi terjebak dalam paralelisme epistemologi tasawuf. Secara umum juga bahwa gerakan fikih sebenarnya merupakan kelanjutan dari dan bertumpu pada orientasi tasawuf yang sudah sedemikian kuat dan mengakar dalam kesadaran keilmuan umat Islam di Indonesia.

B.            Hubungan Islam dan Kebudayaan di Indonesia: Proses Pembentukan dan Implementasi

Terdapat hubungan antara Islam dan budaya di satu sisi, dan hukum di sisi lain. Sebagai suatu sistem kepercayaan komprehensif, Islam memainkan peran sebagai sumber inspirasi dan legitimasi. Sedangkan budaya sebagai produk manusia dalam merespons alam dan kehidupan yang dijalani memainkan peran sebagai pedoman hidup dan tingkah laku di samping agama. Karenanya, sebagai sarana untuk menciptakan ketertiban maupun alat rekayasa sosial, hukum Islam di Indonesia tidak bisa lepas dari peran Islam dan budaya yang melingkupinya.

Sistem nilai budaya merupakan bagian dari sistem budaya, yaitu aspek dari sistem gagasan. Sistem nilai budaya adalah sejumlah pandangan mengenai soal-soal paling berharga dan bernilai dalam hidup. Sebagai inti dari suatu sistem kebudayaan, di mana sistem nilai budaya menjiwai semua pedoman yang mengatur tingkah laku warga pendukung kebudayaan yang bersangkutan. Pedoman tingkah laku itu adalah adat istiadat, sistem norma, aturan etika, aturan moral, aturan sopan santun, pandangan hidup, dan ideologi pribadi.

Di Indonesia, di kalangan umat Islam pun berkembang sistem nilai budaya yang bermacam-macam. Sebagian dari sistem nilai budaya itu mengandung esensi ajaran Islam, sebagian yang lain mengandung pula esensi ajaran agama atau kepercayaan di luar Islam, dan sebagian yang lain lagi sama sekali tidak mengandung esensi ajaran Islam. Demikian itu dapat dimaklumi, karena eksistensi sistem-sistem nilai budaya tersebut terdapat pada praktek-praktek budaya yang telah ada sebelum atau berasal dari luar Islam. Terhadap praktek-praktek tersebut Islam kemudian mengelaborasi esensi-esensi ajarannya ke dalam secara halus dan perlahan.

Jika ditelusuri lebih juah ke belakang tentang hukum Islam di Indonesia, di mana fikih klasik yang diwarisi umat Islam hingga kini, memang sangat dipengaruhi oleh pandangan inferior terhadap perempuan. Namun hal tersebut sebenarnya cukup bisa dipahami karena beberapa hal, salah satu di antaranya adalah karena dalam rentang perkembangan sejarah di mana laki-laki selalu menduduki posisi penguasa dalam masyarakat, sehingga ajaran Islam dipahami dan diterapkan sesuai dengan kepentingan laki-laki.[8]

Sebagai produk hukum Islam, fikih memang terkesan tidak menempatkan perempuan sebagaimana mestinya, baik dalam tataran konsep maupun praktek. Hal ini terkait karena fikih yang dibangun oleh para ulama masa lalu, yang besar kemungkinan, mengabaikan kepentingan perempuan; mereka umumnya kaum laki-laki. Dalam hal ini, harus diakui bahwa di dalam bangunan fikih, betapa pun bersihnya, tetap terdapat selubung subjektivitas laki-laki. Secara lahiriyah, subjektivitas memang tidak begitu terlihat secara jelas. Biasanya subjektivitas berada di dalam alam bawah sadar.

Para intelektual abad pertengahan menafsirkan hukum-hukum Al-Quran menyesuaikan dengan keperluan masyarakat mereka yang didominasi laki-laki, dan oleh karena itu perempuan diberi status inferior. Harus dipahami bahwa para ulama tidak bisa keluar dari konteks sosial mereka. Karenanya, penafsiran mereka hendaknya tidak harus mengikat pada konteks sosial yang telah berubah.[9]

Literatur klasik Islam, seperti kitab-kitab fikih dan tafsir, pada umumnya disusun dalam perspektif budaya masyarakat androsentrisme,[10] di mana laki-laki menjadi ukuran segala sesuatu. Jika diukur dalam ukuran sosial masyarakat hari ini banyak yang bias gender. Kitab-kitab tafsir dan fikih klasik yang mu’tabar tidak ada yang tidak bias gender. Namun dari penulis kitab-kitab tersebut tidak bisa disalahkan, karena ukuran keadilan gendernya tentu saja mengacu kepada persepsi relasi gender menurut kultur masyarakat ketika itu.[11]

Jelaslah bahwa produk-produk pemikiran hukum Islam, seperti fikih yang dihasilkan ulama ketika itu, mencerminkan bagaimana realitas historis masyarakat saat itu yang memang didominasi oleh struktur patriarki. Makanya, sangat wajar jika kesan superioritas laki-laki tidak bisa dielakkan dalam hasil karya mereka. Jika demikian halnya, berarti upaya-upaya menyangkut pengkajian status perempuan dalam hukum Islam harus didekati dengan analisa sosial-historis.

Metode sosio-historis merupakan suatu metode pemahaman terhadap suatu kepercayaan, ajaran atau kejadian dengan melihatnya sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan mutlak dengan waktu, tempat, kebudayaan, golongan, dan lingkungan tempat kepercayaan, ajaran dan kejadian itu muncul. Benih metode sosio-historis telah ada dalam kajian Islam yang mengikutsertakan pengetahuan asbab al-nuzul dan asbab al-wurud. Hanya saja, keduanya terbatas pada peristiwa dan pertanyaan yang mendahului turunnya Al-Quran dan disampaikannya sunah.[12] Jadi, metode sosio-historis dapat dikatakan sebagai abstraksi dari teori asbab al-nuzul dan asbab al-wurud tersebut.

Jelaslah bahwa sebuah produk pemikiran sangat tergantung kepada kondisi lingkungan di mana ia dirumuskan, sehingga harus dilihat sebagai upaya atau hasil interaksi penerjemahan ajaran wahyu dan respons ulama terhadap persoalan sosio-politik dan sosio-kultural yang dihadapinya. Begitu pun juga produk hukum Islam di Indonesia, di mana para ulama atau pemegang kebijakan dalam menyusun dan merumuskan produk pemikiran hukum Islam tentu sangat dipengaruhi oleh sosio-politik dan kultural bangsa kita; sampai hari masih diyakini sebagai sumber hukum mutlak untuk dilaksanakan.

Karena itu, jika produk hukum Islam tersebut tidak lagi responsif terhadap berbagai persoalan umat dan masyarakat kita karena perubahan zaman, harus dilakukan pembaruan untuk disesuaikan dengan perkembangan yang ada. Namun, harus selalu diingat bahwa upaya pembaruan harus tetap melalui mekanisme yang ada. Kaitannya dengan hal ini, dalam kajian hukum Islam dikenal istilah ijtihad. Jadi, upaya-upaya pengembangan hukum Islam harus dalam kerangka ijtihad dengan segala persyaraatannya.

Dari berbagai uraian tersebut di atas, dapat ditegaskan bahwa berbagai masalah dalam hukum Islam di Indonesia, khususnya pembahasan tentang perempuan, perlu dikaji ulang. Karena, sebagian dari pembahasan yang ada dinilai sudah tidak relevan untuk diterapkan pada masa kini yang telah diwarnai dengan berbagai perubahan. Hal ini dimaksudkan sebagai bagian dari upaya untuk mendorong akses pemberdayaan bagi perempuan dalam berbagai lini kehidupan; yang mungkin saja selama ini masih terdapat kaum perempuan yang belum bisa berkiprah secara luas karena masih terkooptasi pada pemahaman hukum Islam dan wacana perempuan dalam fikih klasik.

C.           Hukum Islam dan Politik: Kasus Kompilasi Hukum Islam

Mengacu pada gejala studi Islam pada umumnya, hukum Islam dapat dipandang sebagai gejala budaya sekaligus juga gejala sosial. Filsafat dan aturan hukum Islam adalah gejala budaya, sedangkan interaksi orang-orang Islam dengan sesamanya atau dengan masyarakat non-muslim di sekitar hukum Islam sebagai gejala sosial.

Secara lebih terperinci, studi hukum Islam dapat dikategorikan menjadi tiga. Pertama, penelitian hukum Islam sebagai doktrin asas. Dalam penelitian ini, sasaran utamanya lebih pada dasar-dasar konseptual hukum Islam, seperti masalah-masalah filsafat hukum, sumber-sumber hukum, konsep maqashid al-shari’ah, qawa’id al-fiqhiyah, manhaj al-ijtihad, tariq al-istinbat, konsep qiyas, konsep ‘am dan khas, konsep nasikh dan mansukh, dan lainnya. Kedua, penelitian hukum Islam normatif. Dalam penelitian ini, sasaran utamanya adalah hukum Islam sebagai norma atau aturan, baik yang masih dalam bentuk nash maupun yang sudah menjadi produk pemikiran manusia. Aturan yang masih dalam bentuk nash meliputi ayat-ayat ahkam dan hadis-hadis ahkam, sedangkan kitab-kitab fikih perbandingan, keputusan peradilan, undang-undang, fatwa ulama, dan bentuk aturan lainnya yang mengikat seperti Kompilasi Hukum Islam (KHI), konstitusi (dustur), kodifikasi, perjanjian-perjanjian internasional, deklarasi hak manusia, surat-surat kontrak, surat wasiat, kesaksian, dan sebagainya. Ketiga, penelitian hukum Islam sebagai gejala sosial. Sasaran utama dari penelitian ini adalah perilaku hukum masyarakat Muslim dan masalah-masalah interaksi antara sesama manusia, baik antara sesama muslim dengan non-muslim. Di sekitar masalah-masalah hukum ini di dalamnya mencakup tentang masalah-masalah politik (siyasah), perumusan dan penetapan hukum (siyasah al-shar’iyah), perilaku penegak hukum (qadhi), mujtahid, fuqaha, mufti, dan lainnya.[13]

Ketiga bentuk studi tersebut dapat dilakukan secara terpisah dan bersama-bersama untuk melihat keterkaitannya satu dengan lainnya mengenai masalah hukum Islam. Dua bentuk studi Islam yang pertama (studi hukum Islam sebagai doktrin asas dan penelitian hukum Islam sebagai normatif) dapat digabungkan dan disebut sebagai studi hukum Islam doktrinal. Sedangkan bentuk studi hukum Islam yang ketiga (penelitian hukum Islam sebagai gejala sosial) dapat disebut sebagai studi hukum Islam sosiologis (nondoktrinal). Dua bentuk studi yang pertama melihat Islam sebagai gejala budaya, sedangkan bentuk studi Islam yang ketiga melihat Islam sebagai gejala sosial.

Selanjutnya, ketimpangan-ketimpangan gender (gender difference) yang demikian tajam telah terjadi melalui proses yang sangat panjang. Terbentuknya perbedaan peran gender dikarenakan oleh banyak hal, di antaranya adalah karena dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikontruksi secara sosial atau kultural melalui tafsiran ajaran keagamaan maupun hukum.

Posisi perempuan dalam KHI mulai disejajarkan. Sudah banyak bukti yang dapat dijadikan landasan menuju terciptanya struktur sosial yang emansipatoris. Posisi perempuan dalam KHI merupakan cerminan atas keadilan antara laki-laki dan perempuan, yaitu dalam relasi keluarga suami dan istri terupayakan memiliki hak dan kewajiban yang seimbang. Kesejajaran tersebut, misalnya dalam Pasal 2 KHI, bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidan; untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Kemudian Pasal 3 KHI, bahwa perkawinan bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Rumusan ini sebenarnya telah memposisikan perempuan dan laki-laki dalam perkawinan secara seimbang. Keseimbangan lain juga dirumuskan dalam Pasal 79 KHI, bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Rumusan ini jelas mengenai keseimbangan kedudukan antara suami-istri, dan masing-masing mempunyai fungsi dan tanggung jawab yang berbeda tetapi dengan tujuan yang sama, yaitu kebahagian rumah tangga (keluarga) yang sakinah, mawadah wa rahmah.[14]

Sampai saat ini, pandangan mainstream menyatakan bahwa KHI telah sesuai dengan karakter dan budaya masyarakat Indonesia. Ketika ada wacana perubahan rumusan KHI agar lebih mencerminkan keadilan dan kesetaraan gender, seperti counter-legal draf KHI yang diajukan oleh kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender Kementrian Agama RI, banyak penolakan secara keras; meskipun ada sebagian yang mendukung.

Sebagaimana disebutkan di atas, seseorang dalam menilai apakah kedudukan dan hak-hak perempuan sudah sejajar atau tidak, sesungguhnya akan sangat bergantung pada kenyataan apakah diuntungkan oleh sistem yang ada atau pun tidak. Begitu pula dalam menilai KHI, terlebih jika menggunakan struktur relasi gender dengan kaca mata fikih klasik yang terkesan berat sebelah dalam menilai seberapa jauh ketidakadilan gender tersebut.

Oleh sebab itu, di sini sangat perlu agar diwacanakan kembali sebagai agenda tuntutan terhadap keadilan dan persamaan. Sebab, KHI sebagai cerminan hukum Islam ala Indonesia, dalam rumusan pasal-pasalnya, cenderung patriarkat (mengutamakan laki-laki) dengan menempatkan perempuan dalam sektor domestik dan pemberian hak yang tidak sebanding dengan laki-laki. Rumusan yang timpang itu tertuang dalam hukum perkawinan seperti dalam peminangan, rukun dan syarat perkawinan, pemberian mahar, larangan kawin, poligami, batalnya perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, pemeliharaan anak, putusnya perkawinan, akibat putusnya perkawinan, masa berkabung, besarnya bagian warisan dan hirarkinya. Jika diukur dengan prinsip-prinsip ajaran Islam pun banyak rumusan yang tidak sesuai dengan prinsip persamaan (al-musawah), persaudaraan (al-ikha’), dan keadilan (al-adl) yang merupakan ajaran Islam.

Perlu diingat kembali atas status yang diberikan Al-Quran bagi perempuan serta bagaimana para fuqaha memandangnya dalam kondisi yang berbeda-beda. Secara prinsipil Islam menghargai kaum perempuan bahkan berusaha memberdayakannya. Penafsiran keagamaanlah yang memandang bahwa perempuan diberikan status yang lebih rendah; sebagaimana tuangan dalam kitab-kitab fikih klasik. Mereka menghargai perempuan separuh dari harga laki-laki. Sekadar contoh, dalam kesaksian dua orang perempuan sederajat dengan nilai kesaksian seorang laki-laki. Setiap orang yang baru lahir dianjurkan menyembelih aqiqah (kekah; Jawa), yang mana bagi anak-laki-laki minimal dua ekor kambing, sedangkan anak perempuan cukup satu ekor saja. Di dalam masalah poligami, laki-laki dibolehkan lebih dari satu, bahkan sampai empat; meskipun dengan persyaratan yang berat. Berbeda dengan perempuan yang secara mutlak hanya dibenarkan memiliki seorang suami saja.[15]

Kemudian dalam wilayah hukum dan politik dengan pola interaksi antara masyarakat sekitar dengan hukum Islam. Bagaimana kelompok-kelompok keagamaan dan politik di Indonesia merespons RUU anti pornografi dan pornoaksi (RUUPP), atau tidaknya wanita menjadi pemimpin negara ketika fatwa tersebut muncul di tengah gegap gempitanya kampanye dalam pilihan presiden[16] dan pemilu lainnya.[17]Hukum tersebut mendorong dan mendiskriminasi bahwa wanita sesuai dengan syariat tidak dibolehkan menjadi seorang pemimpin. Ini sebagai salah satu contoh kasus hukum yang didengungkan dalam iklim pilitik di Indonesia. Jangan-jangan, kuota 30 persen bagi keterwakilan perempuan di DPR dan DPRD serta komisi pemilihan itu juga bias gender? Artinya, filosofi 30 persen itu pencapurbauran antara perjuangan perempuan dengan pembagian negara yang dikuasai oleh laki-laki sebagai proses pengambilan kembali atas satu rusuk kirinya yang hilang itu. Kalau begitu, tetap saja perempuan tersubordinasi. Maka, budaya patriarki pun tetap berlangsung, dan perempuan tetap menjadi pelengkap dari 70 persen kekuasaan laki-laki.[18]

Bukti-bukti yang diberikan di atas, memberi gambaran kepada kita mengenai pemarginalan, kekerasan, dan ketidakadilan terhadap perempuan yang dikukuhkan oleh penafsiran terhadap teks agama, lembaga keluarga, dan kebijakan pemerintah atau negara merupakan tiga faktor penentu berlangsungnya hubungan laki-laki dan perempuan di Indonesia yang bias gender. Semua itu berasal dari budaya patriarki; yang memposisikan laki-laki sebagai manusia yang superior, sedangkan perempuan sebagai manusia yang inferior.

D.           Analisis Isi Hukum Islam (Positif) di Indonesia: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Citra ideal kehidupan perkawinan adalah sebuah kehidupan yang dipenuhi keharmonisan rumah tangga, kasih sayang dan sikap saling menghormati walaupun dalam kenyataannya untuk membina perkawinan ideal tidak mudah, bahkan dalam kehidupan perkawinan sering kandas di tengah jalan yang berujung dengan perceraian karena tidak terpenuhinya keharmonisan dalam rumah tangga.

Kehidupan keluarga yang ideal menurut Islam adalah keluarga sakinah. Dasar utama pembentukan keluarga sakinah, juga ditentukan oleh keberagamaan pasangan hidup, sebab hal ini akan mendorong terwujudnya saling pengertian dan saling mempercayai antara suami dan istri. Keberagamaan pasangan hidup memberikan nilai positif dalam kehidupan keluarga. Sebaik apapun salah satu pihak dari suami-istri dengan tanpa didukung rasa keberagamaan pihak lainnya, maka akan mudah terjadinya kesalahpahaman yang mengarah pada konflik dan permusuhan. Sebaiknya, dengan keberagamaan yang baik dari kedua belah pihak, maka kekurangan dari salah satu pihak tidak akan dibesar-besaran, justru dimaafkan dan ditutupi agar kekurangan tersebut berubah menjadi sesuatu yang berguna.

Selanjutnya, hukum mengatur hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain dalam hidup bermasyarakat. Dalam mengatur hubungan ini, hukum memberi wewenang dan batasan-batasan sehingga dikenal adanya hak dan kewajiban. Dalam melaksanakan hak dan kewajiban, Islam memformulasikan keduanya dengan tetap memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan keutuhan baik sesama umat manusia maupun dengan lingkungannya. Sehingga dalam Islam, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak yang sama dalam menjalankan peran pemimpin (khalifatullah) dan hamba Allah (‘abdullah).[19]

Berbeda dengan sejarah pra-Islam, yang mana perempuan dimitoskan sebagai pelengkap bagi keinginan laki-laki. Kedatangan Islam membuka pagar keterkungkungan perempuan dalam sebuah tatanan nilai yang ada, yakni perempuan belum pernah sepanjang sejarah diposisikan sejajar dengan laki-laki secara proporsional. Posisi perempuan di sini sebenarnya hanya dibedakan fungsinya saja dari laki-laki, dan bukan direndahkan martabat dan derajatnya.[20]

Perbedaan tersebut sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender yang termanisfestasikan dalam lima bentuk, yaitu (1) marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi; (2) subordinasi atau anggapan tidak penting dalam pengambilan keputusan; (3) stereotype dan diskriminasi atau pelabelan negatif; (4) kekerasan dalam rumah tangga; dan, (5) double burden (beban  ganda)  yang  harus  dipikul  oleh  istri  dalam  rumah tangga,[21] karena hal tersebut sangat bertentangan dengan prinsip egaliter (persamaan) dalam ajaran Islam, bahwa Allah Swt menciptakan laki-laki dan perempuan pada dasarnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam mengelolah bakat dan kemampuannya. Oleh karena itu, suami-istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama pula; sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Aturan pada pasal yang mengatur tentang hak dan kewajiban suami-istri ini memperoleh pengabsahan dan memperkuat pandangan masyarakat bahwa perempuan seharusnya menghabiskan waktu di rumah, aktif di sektor domestik mengurus rumah tangga dan anak. Sebaliknya, bekerja di luar rumah atau bekerja di sektor publik itu dianggap tidak wajar; karena meninggalkan tugas-tugasnya yang menurut nilai-nilai budaya harus dia yang memikulnya. Bahkan ada yang menilai bahwa mengurus rumah tangga dan mengurus anak adalah tugas kodrati dari perempuan. Dalam hal ini, tugas atau peran laki-laki untuk masyarakat kita, seperti yang dibaca dalam undang-undang perkawinan, berarti suami tidak wajib turut mengurus rumah tangga, akan tetapi yang wajib ia lakukan adalah mencari nafkah. Karena hal tersebut telah tersosialisasi dalam masyarakat yang merupakan kontruksi sosial.[22] Karena adanya anggapan bahwa kaum perempuan itu bersifat memelihara dan rajin serta tidak cocok menjadi kepala rumah tangga, maka anggapan tersebut membawa akibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab perempuan. Terlebih jika perempuan tersebut juga harus bekerja, maka ia mengalami beban kerja secara ganda (double burden). 

Stereotype  perempuan dalam psikologi  tersebut,  menjadi  argumen  mendasar  yang  nantinya  akan membenarkan peran tradisional perempuan di sektor domestik, yang anehnya justru dianggap sebagai nature perempuan. Karena itu, kedudukan perempuan sebagai istri (ibu rumah tangga) dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah mendudukkan perempuan pada posisi diskriminatif. Atau dengan kata lain, hukum perkawinan sampai saat ini masih mendudukan perempuan pada posisi yang termarginalkan, khususnya pada Pasal 31 ayat (3) yang mengatur tentang hak dan kewajiban suami-istri.[23] Tentu saja hal ini bertentangan dengan konsep Al-Quran yang bermuatan moral, egaliter, dan universal.

Berkenaan dengan itulah dewasa ini keberadaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang bias gender perlu ditinjau ulang. Selain seperti yang disebutkan di atas, materi undang-undang yang perlu ditinjau ulang adalah salah satu pasalnya menyebutkan bahwa “Suami sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga”.[24] Demikian pula dalam pasal lain bahwa “Suami wajib melindungi istri dan istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya”.[25]

Bunyi dari pasal UU tentang perkawinan yang disebutkan di atas, jika diinterpretasikan lebih dalam, maka kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga (pemimpin) mempunyai tanggung jawab memberi nafkah atas keluarganya, sehingga tugas mereka adalah di ranah publik. Sedangkan istri adalah sebagai ibu rumah tangga bertugas di ranah domestik; mengurusi anak dan suami, yang dinilai mengurung ruang gerak perempuan, menuju ruang-ruang publik baru yang bisa menempatkan perempuan untuk aktif, partisipatif dan berada pada pusat diri (self center) dalam pengambilan kebijakan.[26] Dengan demikian, kebijakan pemerintah pada pasal tersebut semakin melegitimasi berbagai bentuk ketidakadilan bagi perempuan. Karena pembagian tugas publik dan domestik tersebut dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan, ditambah lagi kurang adanya penghargaan terhadap pekerjaan domestik. Karena dengan domestifikasi ini, sehingga mendudukkan perempuan sebagai makhluk nomor dua (the second sex).

Selain itu, pasal UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang disebutkan tadi, semakin menguatkan budaya patriarki yang beranggapan bahwa perempuan tidak memiliki hak untuk menjadi pemimpin dalam rumah tangga, sebaliknya justru ia berhak untuk diatur. Pekerjaan domestik yang dibebankan kepada perempuan dilakukan bersama-sama dengan fungsi reproduksi haid, hamil, menyusui, dan sebagainya. Sementara laki-laki dengan peran publiknya tidak ada kepedulian untuk membantu pekerjaan domestik yang hanya dikerjakan oleh perempuan.

Bagi kelompok menengah ke bawah, perempuan harus bekerja pada peran publik untuk meningkatkan penghasilan ekonomi keluarga, karenanya semakin berat beban yang ditanggung oleh perempuan jika lingkungannya, baik suami maupun anggota keluarga lainnya, tidak ikut menyelesaikan tugas-tugas domestik. Sedangkan bagi kelompok menengah ke atas dan golongan kaya, beban kerja rumah tangga dilimpahkan kepada pembantu (domestik workers), sehingga diskriminasi pun terjadi pada pembantu rumah tangga.

Konklusi

Untuk konteks masa kini, harus dilakukan upaya-upaya pengembangan hukum Islam dalam rangka mengantisispasi perkembangan zaman. Reinterpretasi terhadap nash mutlak dilakukan dengan pertimbangan kondisi masa kini yang telah diwarnai oleh berbagai perkembangan di berbagai lini kehidupan. Meski demikian, bukan berarti pemikiran klasik harus dinafikan sama sekali, melainkan harus tetap menjadi perhatian penting atau sebagai salah satu dasar berpikir.

Untuk itu, perlu dipadukan metode deduktif dan induktif, yakni perpaduan antara pendekatan normatif dan empiris dalam pengembangan hukum Islam yang ramah gender. Kerangka inilah yang harus menjadi acuan dalam pengembangan produk pemikiran hukum Islam di Indonesia. Karena, metode tersebut dinilai bisa menjembatani antara dimensi normativitas dan historisitas dalam hukum Islam, yakni hukum yang bersumber dari wahyu, namun memerlukan penalaran dalam pengembangan serta aplikasinya dalam kehidupan manusia yang terus mengalami perkembangan.[]

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Munawar dan Saptoni, (ed.), 2007, Restrukturisasi Metodologi Islamic Studies Mazhab Yogyakarta, Yogyakarta: Suka Press.

Amin, M. Masyhur, 1992, Wanita dalam Percakapan Antar Agama: Aktualisasinya dalam Pembangunan, Yogyakarta: LKPSDM DIY.

Azra, Azyumardi, 2013, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVII, Jakarta: Kencana.

Engineer, Asghar Ali, 2007, Pembebasan Perempuan, terj. Agus Nuryanto, Yogyakarta: LKiS.

Fakih, Mansour, 2001, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fiderspiel, Howard M., 1996, Persatuan Islam; Pembaruan Islam Indonesia Abad XX, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Jamhari dan Ropi, Ismatu (ed.), 2003, Citra Perempuan dalam Islam; Pandangan Ormas Keagamaan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Maftukhin, dkk., 2010, Nuansa Studi Islam; Sebuah Pergulatan Pemikiran, Yogyakarta: Teras.

Mahmud, Adnan, Dkk. (eds.), 2012, Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Marhumah, Ema dan Khuluq, Latiful (ed.), 2002, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga dan Pustaka Pelajar, 2002.

Mas’udi, Masdar F., 1996, Membincang Feminisme; Diskursus Gender Perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti.

Nashir L.M. & Meuleman J.H. (ed)., 1993, Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: TNIS.

Sulasman, 2013, Sejarah Islam di Asia & Eropa, Bandung: Pustaka Setia.

Syahrur, Muhammad, 2007, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, Yogyakarta: elSAQ Press.

Umar, Nasaruddin, 2002, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Undang-Undang Republik Indonesia Tahun Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Edisi Digital, Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974.

Wijdan SZ., Aden, Dkk. (eds.), 2007, Pemikiran & Peradaban Islam, Yogyakarta: Safiria Insania Press.

 



[1] Sulasman, Sejarah Islam di Asia & Eropa, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 299.

[2] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVII, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 2.

[3] Sulasman, Op. Cit., hlm. 300-301.

[4] Azyumardi Azra, Op. Cit., hlm. 2-3.

[5] Sulasman, Op. Cit., hlm. 300.

[6] Ibid.

[7] Howard M. Fiderspiel, Persatuan Islam; Pembaruan Islam Indonesia Abad XX, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1996), hlm. 1-3.

[8] Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, (Yogyakarta: elSAQ Press, 2007), hlm. 231.

[9] Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, terj. Agus Nuryanto, (Yogyakarta: LKiS, 2007, hlm. 261.

[10] Androsentrisme adalah sebuah pemahaman yang menjadikan laki-laki sebagai pusat dari dunia. Laki-laki dipahami sebagai patokan untuk memandang tentang dunia, tentang kebudayaan, dan tentang sejarah. Pemahaman ini juga menjadikan laki-laki atau pengalaman laki-laki sebagai norma bagi perilaku manusia.

[11] Ema Marhumah dan Latiful Khuluq, (ed.), Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga dan Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 85-85.

[12] Munawar Ahmad dan Saptoni, (ed.), Restrukturisasi Metodologi Islamic Studies Mazhab Yogyakarta, (Yogyakarta: Suka Press, 2007), hlm. 74.

[13] Maftukhin, dkk., Nuansa Studi Islam; Sebuah Pergulatan Pemikiran, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 217-218.

[14] Nashir L.M. & Meuleman J.H. (ed)., Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: TNIS, 1993), hlm. 48-49.

[15] Masdar F. Mas’udi, Membincang Feminisme; Diskursus Gender Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 170-171.

[16] Kelompok yang tidak setuju dengan pemimpin perempuan setingkat Presiden, pada umumnya didominasi oleh ulama konservatif dan orang-orang gerakan seperti Majelis Mujahidin, Front Pembela Islam (FPI), dan sebagainya. Mereka banyak menukil argumentasi dari ulama terdahulu, seperti Taqiyuddin al-Nabhany, dan Abdul Qodim Zallum. Menurutnya, ada tujuh syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh seorang calon pemimpin sebagai kepala negara kaum Muslim, yaitu Muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, dan mampu. Ketujuh syarat itu ditetapkan sebagai syarat mutlak calon pemimpin lantaran memiliki dalil-dalil yang menunjukkan kepastian hukum dari nash-nash syara’. Lihat: Aden Wijdan SZ. Dkk., Pemikiran & Peradaban Islam, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2007), hlm. 223.

[17] Maftukhin, Op. Cit., hlm. 119-120.

[18] Adnan Mahmud, Dkk. (eds.), Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 97-98.

[19] Nasaruddin Umar, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 5.

[20] M. Masyhur Amin, Wanita dalam Percakapan Antar Agama: Aktualisasinya dalam Pembangunan, (Yogyakarta: LKPSDM DIY, 1992), hlm. 23.

[21] Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 12.

[22] Ibid., hlm. 62.

[23] Lihat: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Edisi Digital, (Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974), hlm. 8.

[24] UU RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Bab VI, Pasal 31 ayat (3), hlm. 8.

[25] UU RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 34 ayat (1) dan (2), hlm. 8.

[26] Jamhari dan Ismatu Ropi (ed.), Citra Perempuan dalam Islam; Pandangan Ormas Keagamaan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 9.