Prawacana
Diskursus mengenai ketidakadilan gender kian hari kian menarik untuk
diperbincangkan. Hal ini wajar-wajar saja oleh sebab banyak fakta sosial yang menunjukkan betapa seringnya terjadi ketidakadilan gender. Bahkan
acapkali
ketidakadilan gender ini menggunakan stempel basah
yang bernama logika
agama; semacam mencari pembenaran melalui ragam
penafsiran dalam
memahami rancang-bangun hukum Islam yang mengatur
hal ihwal relasi antara laki-laki dan perempuan dalam hidup dan kehidupan.
Doktrin agama, termasuk Islam, selama ini dinilai telah ikut
melanggengkan ketidakadilan terhadap perempuan yang terimplementasi tidak hanya
pada marginalisasi dan subordinasi pada berbagai sektor kehidupan, tapi bahkan
sampai pada tingkat kekerasan terhadap perempuan. Beberapa segi dalam hukum
Islam pun dinilai cenderung memihak kepada laki-laki dengan mendiskriminasi
terhadap perempuan. Institusi-institusi dalam hukum Islam yang sering diangkat
untuk mengilustrasikan pemahaman tersebut antara lain adalah masalah
kepemimpinan, persaksian, perwalian, poligami, kewarisan, dan lain-lain.
Bidang-bidang yang menjadi bagian kajian hukum Islam tersebut oleh kalangan
feminis dinilai sangat bias gender.
Kondisi ini menghendaki pengkajian yang lebih mendalam. Benarkah
hukum Islam lebih mementingkan laki-laki dan memarginalkan kaum perempuan?
Benarkah ajaran Islam bias gender? Benarkah hukum Islam patriarkhis? Apakah
benar hukum Islam diskriminatif terhadap kaum perempuan? Apakah aturan-aturan
hukum Islam selama ini tidak cukup memberikan akses pemberdayaan dan peluang
serta posisi bagi kaum perempuan yang cukup setara dengan laki-laki? Bukankah
kehadiran Islam membawa gagasan-gagasan besar kemanusiaan yang universal yang
melampaui semua perbedaan manusia, termasuk jenis kelamin di dalamnya.
Pertanyaan-pertanyaan krusial tersebut harus dijawab secara arif
dan akademis melalui penalaran ilmiah yang metodologis dan komprehensif. Karena
pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagai problem dasar dalam membincang isu
kesetaraan gender dalam konteks hukum Islam. Meskipun pandangan-pandangan
keagamaan itu merupakan produk fikih—pemahaman
para ulama atas sebuah teks—tapi dalam
prakteknya bahwa fikih telah menjadi sumber bagi pembentukan hukum Islam; fikih
atau syariah yang dipositivisasi ke dalam hukum negara. Oleh sebab itu, baik
fikih maupun hukum Islam, keduanya adalah produk pemikiran manusia yang sangat
mungkin mengalami pembiasan, sehingga muatannya bisa kontradiktif dan bahkan
kemudian menjadi diskriminatif.
A.
Sejarah Masuknya
Islam di Indonesia dan Corak Pemikirannya
Eksistensi hukum
Islam di Indonesia saat ini sebenarnya memiliki akar sejarah yang begitu
panjang. Jika ditarik jauh ke belakang genealoginya bisa dijangkau dari awal
mula Islam masuk ke Indonesia (Nusantara). Karenanya, sebelum membahas mengenai
keberadaan dan perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia, ada baiknya
dijelaskan secara singkat beberapa teori masuknya Islam di Indonesia.
Pembahasan mengenai hal ini lebih dimaksudkan untuk menggali sejauh mana
implikasi watak eksklusif awal mula Islam di Indonesia terhadap perkembangan
hukum Islam di Indonesia.
Jika menggali dari
berbagai sumber sejarah, ada tiga teori yang menjelaskan tentang kedatangan
Islam ke Indonesia.
Terdapat diskusi dan perdebatan panjang di antara para ahli mengenai tiga
masalah pokok, yakni tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu
kedatangannya. Berbagai teori dan pembahasan yang berusaha menjawab ketiga
masalah pokok tersebut jelas belum tuntas hingga saat ini, bukan karena
kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori yang ada, akan tetapi lebih
pada kecenderungan yang kuat masing-masing teori dalam hal penekanannya pada
aspek-aspek khusus dari ketiga masalah pokok di maksud, sementara dari sisi
lain mengabaikan aspek-aspek yang lainnya.
Adapun ketiga teori kedatangan Islam di Indonesia di maksud adalah teori Arabia
(Makkah), Gujarat, dan Persia.
1.
Teori Arabia (Makkah)
Teori ini menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia
langsung dari Makkah dan Madinah. Waktu kedatangannya sekitar abad ke-7 Masehi.
Ini berarti, Islam sudah masuk ke Indonesia pada awal abad Hijriyah. Ketika
itu, pemerintahan Islam masih berada di tangan Khulafaur Rasyidin. Dalam sumber literatur China disebutkan
bahwa menjelang perempat pertama abad ke-7 Masehi banyak terdapat perkampungan
Arab-Muslim di pesisir pantai Sumatra. Di perkampungan ini dikabarkan bahwa
orang-orang Arab tinggal dan menikah dengan penduduk lokal, kemudian membentuk
komunitas Muslim.
Teori Arab ini agaknya hanya di dasarkan pada keinginan
emosional para sejarahwan Islam yang ingin memastikan bahwa Islam yang ada di
Indonesia adalah Islam yang asli atau otentik, bukan Islam pinggiran (periferal)
atau sinkretis. Karena, bagaimana pun juga bahwa teori ini cukup gagap dalam
memberikan kontitum dan jawaban pasti terhadap proses konversi agama dan Islamisasi
di Nusantara ini. Dengan melihat sifat ketidakmungkinan ini, maka dapat
dikatakan bahwa ketika itu proses Islamisasi belum bisa dikatakan telah terjadi
di Nusantara.
2.
Teori Gujarat
Sejumlah Sarjana
yang kebanyakan asal Belanda, memegang teori bahwa asal mula Islam Nusantara
adalah dari anak benua India, bukannya Persia atau Arabia. Sarjana pertama yang
mengemukakan teori ini adalah Pijnapple, ahli dari Universitas Leiden. Dia
mengkaitkan asal mula Islam di Nusantara dengan wilayah Gujarat dan Malabar.
Menurutnya, adalah orang-orang Arab bermazhab Syafi’i yang bermigrasi dan
menetap di wilayah India tersebut dan kemudian membawa Islam ke Nusantara.
Teori Gujarat ini
kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje, yang mengatakan bahwa Islam masuk
ke Indonesia dari wilayah-wilayah yang terdapat di anak benua India. Gujarat,
Bengali, dan Malabar disebut-sebut sebagai asal masuknya Islam ke Indonesia.
Teori ini berdasarkan pada pengamatan bahwa tidak terlihatnya peran dan
nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal, yaitu pada abad
ke-12 atau 13 Masehi. Snouck juga mengatakan bahwa teorinya ini didukung dengan
adanya hubungan yang sudah terjalin lama antara wilayah Indonesia dengan
daratan India.
3.
Teori Persia
Tanah Persia disebut-sebut
sebagai tempat awal Islam datang di Indonesia. Sandaran teori ini yaitu adanya
kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk
Persia. Contohnya, peringatan 10 Muharram yang dijadikan sebagai hari
peringatan wafatnya Hasan dan Husain. Selain itu juga terdapat beberapa sarapan
bahasa yang diyakini berasal dari wilayah Iran, misalnya kata jabar dari
zabar, jer dari zeer,
dan sebagainya. Teori ini meyakini bahwa Islam masuk ke wilayah
Indonesia pada abad ke-13 Masehi. Adapun wilayah pertama yang disinggahi adalah
kawasan Samudra Pasai.
Dalam pengamatan
sarjana Barat, Islam di Nusantara disebarkan oleh para pedagang, di samping
melakukan aktivitas utamanya, mereka juga melakukan perkawinan dengan wanita
setempat. Di samping itu pergerakan para Sufi pengembara, karena berkat
otoritas dan kekuatan magis yang mereka miliki, mereka telah mampu melakukan
penyebaran Islam di Nusantara dan berhasil mengislamkan penduduk sejak abad ke-8
Hijriyah. Mereka telah mentransplantasi, meramu, dan menghadirkan satu sentuhan
yang harmonis dari unsur budaya lokal ke dalam ajaran Islam, sehingga mampu
menghadirkan Islam dengan ajarannya yang sinergis dengan tradisi yang dianut
oleh masyarakat. Fenomena inilah yang memaksa para penulis Barat untuk
mengatakan bahwa karakteristik Islam di Nusantara bersifat sinkretik.
Mengikuti teori yang
memaparkan dominasi kaum Sufi dalam penyebaran Islam di Nusantara, maka wajar
jika telah membentuk Islam Indonesia dengan corak Sufistik, di mana watak
intelektualitas-filosofis redup di dalamnya; karena lebih menampakkan nuansa
sufistik-sinkretik yang memberikan pengaruh bagi pemikiran Islam di Indonesia.
Kenyataan tersebut,
sebenarnya yang telah membuat Islam di Indonesia kurang memiliki momentum dan
kemampuan yang kuat untuk mengembangkan diri secara mandiri dalam segala
bidang, termasuk di dalamnya pemikiran tentang Hukum Islam di Indonesia. Atau
dengan kata lain, umat Islam Indonesia lebih enjoy menikmati mistisisme dan tradisi yang lebih menekankan
asketisme dengan menafikkan masalah-masalah duniawi. Karena begitu kuatnya
pengaruh dari tradisi, maka pemikiran-pemikiran Hukum Islam di Indonesia yang
ada menjadi terjebak dalam paralelisme epistemologi tasawuf. Secara umum juga
bahwa gerakan fikih sebenarnya merupakan kelanjutan dari dan bertumpu pada
orientasi tasawuf yang sudah sedemikian kuat dan mengakar dalam kesadaran
keilmuan umat Islam di Indonesia.
B.
Hubungan Islam dan
Kebudayaan di Indonesia: Proses Pembentukan dan Implementasi
Terdapat
hubungan antara Islam dan budaya di satu sisi, dan hukum di sisi lain. Sebagai suatu sistem kepercayaan komprehensif, Islam memainkan peran sebagai
sumber inspirasi dan legitimasi. Sedangkan
budaya sebagai produk manusia dalam merespons
alam dan kehidupan yang dijalani memainkan peran sebagai pedoman hidup dan tingkah laku di samping agama. Karenanya,
sebagai sarana untuk menciptakan ketertiban
maupun alat rekayasa sosial, hukum Islam di
Indonesia tidak bisa lepas dari peran Islam dan budaya yang melingkupinya.
Sistem nilai budaya
merupakan bagian dari sistem budaya, yaitu aspek dari sistem gagasan. Sistem
nilai budaya adalah sejumlah pandangan mengenai soal-soal paling berharga dan
bernilai dalam hidup. Sebagai inti dari suatu sistem
kebudayaan, di mana sistem nilai budaya menjiwai semua pedoman yang mengatur
tingkah laku warga pendukung kebudayaan yang bersangkutan. Pedoman tingkah laku
itu adalah adat istiadat, sistem norma, aturan etika, aturan moral, aturan
sopan santun, pandangan hidup, dan ideologi pribadi.
Di Indonesia, di kalangan umat Islam pun berkembang sistem
nilai budaya yang bermacam-macam. Sebagian dari sistem nilai budaya itu
mengandung esensi ajaran Islam, sebagian yang lain mengandung pula esensi
ajaran agama atau kepercayaan di luar Islam, dan sebagian yang lain lagi sama
sekali tidak mengandung esensi ajaran Islam. Demikian itu dapat dimaklumi, karena
eksistensi sistem-sistem nilai budaya tersebut terdapat pada praktek-praktek
budaya yang telah ada sebelum atau berasal dari luar Islam. Terhadap
praktek-praktek tersebut Islam kemudian mengelaborasi esensi-esensi ajarannya
ke dalam secara halus dan perlahan.
Jika ditelusuri lebih juah ke belakang tentang hukum Islam di
Indonesia, di mana fikih klasik yang diwarisi umat Islam hingga
kini, memang sangat dipengaruhi oleh pandangan inferior terhadap perempuan.
Namun hal tersebut sebenarnya cukup bisa dipahami karena beberapa hal, salah
satu di antaranya adalah karena dalam rentang perkembangan sejarah di mana laki-laki
selalu menduduki posisi penguasa dalam masyarakat, sehingga ajaran Islam
dipahami dan diterapkan sesuai dengan kepentingan laki-laki.
Sebagai produk hukum Islam, fikih memang terkesan tidak
menempatkan perempuan sebagaimana mestinya, baik dalam tataran konsep maupun
praktek. Hal ini terkait karena fikih yang dibangun oleh para ulama masa lalu, yang
besar kemungkinan, mengabaikan kepentingan perempuan; mereka umumnya kaum
laki-laki. Dalam hal ini, harus diakui bahwa di dalam bangunan fikih, betapa pun
bersihnya, tetap terdapat selubung subjektivitas laki-laki. Secara lahiriyah,
subjektivitas memang tidak begitu terlihat secara jelas. Biasanya subjektivitas
berada di dalam alam bawah sadar.
Para intelektual abad pertengahan menafsirkan hukum-hukum Al-Quran
menyesuaikan dengan keperluan masyarakat mereka yang didominasi laki-laki, dan
oleh karena itu perempuan diberi status inferior. Harus dipahami bahwa para
ulama tidak bisa keluar dari konteks sosial mereka. Karenanya, penafsiran
mereka hendaknya tidak harus mengikat pada konteks sosial yang telah berubah.
Literatur klasik Islam, seperti kitab-kitab fikih dan tafsir, pada
umumnya disusun dalam perspektif budaya masyarakat androsentrisme,
di mana laki-laki menjadi ukuran segala sesuatu. Jika diukur dalam ukuran sosial
masyarakat hari ini banyak yang bias gender. Kitab-kitab tafsir dan fikih
klasik yang mu’tabar tidak ada yang tidak bias gender. Namun dari penulis kitab-kitab
tersebut tidak bisa disalahkan, karena ukuran keadilan gendernya tentu saja
mengacu kepada persepsi relasi gender menurut kultur masyarakat ketika itu.
Jelaslah bahwa produk-produk pemikiran hukum Islam, seperti fikih
yang dihasilkan ulama ketika itu, mencerminkan bagaimana realitas historis
masyarakat saat itu yang memang didominasi oleh struktur patriarki. Makanya, sangat
wajar jika kesan superioritas laki-laki tidak bisa dielakkan dalam hasil karya
mereka. Jika demikian halnya, berarti upaya-upaya menyangkut pengkajian status
perempuan dalam hukum Islam harus didekati dengan analisa sosial-historis.
Metode sosio-historis merupakan suatu metode pemahaman terhadap
suatu kepercayaan, ajaran atau kejadian dengan melihatnya sebagai suatu
kenyataan yang mempunyai kesatuan mutlak dengan waktu, tempat, kebudayaan,
golongan, dan lingkungan tempat kepercayaan, ajaran dan kejadian itu muncul. Benih
metode sosio-historis telah ada dalam kajian Islam yang mengikutsertakan
pengetahuan asbab al-nuzul dan asbab al-wurud. Hanya saja, keduanya terbatas pada peristiwa dan pertanyaan yang
mendahului turunnya Al-Quran dan disampaikannya sunah.
Jadi, metode sosio-historis dapat dikatakan sebagai abstraksi dari teori asbab al-nuzul dan asbab al-wurud tersebut.
Jelaslah bahwa sebuah produk pemikiran sangat tergantung kepada
kondisi lingkungan di mana ia dirumuskan, sehingga harus dilihat sebagai upaya
atau hasil interaksi penerjemahan ajaran wahyu dan respons ulama terhadap
persoalan sosio-politik dan sosio-kultural yang dihadapinya. Begitu pun juga
produk hukum Islam di Indonesia, di mana para ulama atau pemegang kebijakan
dalam menyusun dan merumuskan produk pemikiran hukum Islam tentu sangat dipengaruhi
oleh sosio-politik dan kultural bangsa kita; sampai hari masih diyakini sebagai
sumber hukum mutlak untuk dilaksanakan.
Karena itu, jika produk hukum Islam tersebut tidak lagi responsif
terhadap berbagai persoalan umat dan masyarakat kita karena perubahan zaman,
harus dilakukan pembaruan untuk disesuaikan dengan perkembangan yang ada.
Namun, harus selalu diingat bahwa upaya pembaruan harus tetap melalui mekanisme
yang ada. Kaitannya dengan hal ini, dalam kajian hukum Islam dikenal istilah
ijtihad. Jadi, upaya-upaya pengembangan hukum Islam harus dalam kerangka
ijtihad dengan segala persyaraatannya.
Dari berbagai uraian tersebut di atas, dapat ditegaskan bahwa
berbagai masalah dalam hukum Islam di Indonesia, khususnya pembahasan tentang
perempuan, perlu dikaji ulang. Karena, sebagian dari pembahasan yang ada
dinilai sudah tidak relevan untuk diterapkan pada masa kini yang telah diwarnai
dengan berbagai perubahan. Hal ini dimaksudkan sebagai bagian dari upaya untuk
mendorong akses pemberdayaan bagi perempuan dalam berbagai lini kehidupan; yang
mungkin saja selama ini masih terdapat kaum perempuan yang belum bisa berkiprah
secara luas karena masih terkooptasi pada pemahaman hukum Islam dan wacana
perempuan dalam fikih klasik.
C.
Hukum Islam dan
Politik: Kasus Kompilasi Hukum Islam
Mengacu pada gejala
studi Islam pada umumnya, hukum Islam dapat dipandang sebagai gejala budaya
sekaligus juga gejala sosial. Filsafat dan aturan hukum Islam adalah gejala
budaya, sedangkan interaksi orang-orang Islam dengan sesamanya atau dengan
masyarakat non-muslim di sekitar hukum Islam sebagai gejala sosial.
Secara lebih
terperinci, studi hukum Islam dapat dikategorikan menjadi tiga. Pertama, penelitian hukum Islam sebagai
doktrin asas. Dalam penelitian ini, sasaran utamanya lebih pada dasar-dasar
konseptual hukum Islam, seperti masalah-masalah filsafat hukum, sumber-sumber
hukum, konsep maqashid al-shari’ah, qawa’id al-fiqhiyah, manhaj al-ijtihad, tariq al-istinbat, konsep qiyas,
konsep ‘am dan khas, konsep nasikh dan mansukh, dan lainnya. Kedua, penelitian hukum Islam normatif.
Dalam penelitian ini, sasaran utamanya adalah hukum Islam sebagai norma atau
aturan, baik yang masih dalam bentuk nash
maupun yang sudah menjadi produk pemikiran manusia. Aturan yang masih dalam
bentuk nash meliputi ayat-ayat ahkam dan hadis-hadis ahkam, sedangkan kitab-kitab fikih
perbandingan, keputusan peradilan, undang-undang, fatwa ulama, dan bentuk
aturan lainnya yang mengikat seperti Kompilasi Hukum Islam (KHI), konstitusi (dustur), kodifikasi,
perjanjian-perjanjian internasional, deklarasi hak manusia, surat-surat
kontrak, surat wasiat, kesaksian, dan sebagainya. Ketiga, penelitian hukum Islam sebagai gejala sosial. Sasaran utama
dari penelitian ini adalah perilaku hukum masyarakat Muslim dan masalah-masalah
interaksi antara sesama manusia, baik antara sesama muslim dengan non-muslim.
Di sekitar masalah-masalah hukum ini di dalamnya mencakup tentang
masalah-masalah politik (siyasah),
perumusan dan penetapan hukum (siyasah
al-shar’iyah), perilaku penegak hukum (qadhi), mujtahid, fuqaha, mufti, dan lainnya.
Ketiga bentuk studi tersebut dapat dilakukan
secara terpisah dan bersama-bersama untuk melihat keterkaitannya satu dengan
lainnya mengenai masalah hukum Islam. Dua bentuk studi Islam yang pertama
(studi hukum Islam sebagai doktrin asas dan penelitian hukum Islam sebagai
normatif) dapat digabungkan dan disebut sebagai studi hukum Islam doktrinal.
Sedangkan bentuk studi hukum Islam yang ketiga (penelitian hukum Islam sebagai
gejala sosial) dapat disebut sebagai studi hukum Islam sosiologis
(nondoktrinal). Dua bentuk studi yang pertama melihat Islam sebagai gejala
budaya, sedangkan bentuk studi Islam yang ketiga melihat Islam sebagai gejala
sosial.
Selanjutnya, ketimpangan-ketimpangan gender (gender difference) yang
demikian tajam telah terjadi melalui proses yang sangat panjang. Terbentuknya
perbedaan peran gender dikarenakan
oleh banyak hal, di antaranya adalah karena dibentuk, disosialisasikan,
diperkuat bahkan dikontruksi secara sosial atau kultural melalui tafsiran
ajaran keagamaan maupun hukum.
Posisi perempuan dalam KHI mulai disejajarkan. Sudah banyak
bukti yang dapat dijadikan landasan menuju terciptanya struktur sosial yang
emansipatoris. Posisi perempuan dalam KHI merupakan cerminan atas keadilan
antara laki-laki dan perempuan, yaitu dalam relasi keluarga suami dan istri
terupayakan memiliki hak dan kewajiban yang seimbang. Kesejajaran tersebut,
misalnya dalam Pasal 2 KHI, bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidan; untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Kemudian Pasal 3 KHI, bahwa perkawinan
bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa
rahmah. Rumusan ini sebenarnya telah memposisikan perempuan dan laki-laki
dalam perkawinan secara seimbang. Keseimbangan lain juga dirumuskan dalam Pasal
79 KHI, bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Rumusan
ini jelas mengenai keseimbangan kedudukan antara suami-istri, dan masing-masing
mempunyai fungsi dan tanggung jawab yang berbeda tetapi dengan tujuan yang
sama, yaitu kebahagian rumah tangga (keluarga) yang sakinah, mawadah wa
rahmah.
Sampai saat ini, pandangan mainstream menyatakan bahwa
KHI telah sesuai dengan karakter dan budaya masyarakat Indonesia. Ketika ada
wacana perubahan rumusan KHI agar lebih mencerminkan keadilan dan kesetaraan
gender, seperti counter-legal draf KHI yang diajukan oleh kelompok Kerja
Pengarusutamaan Gender Kementrian Agama RI, banyak penolakan secara keras; meskipun
ada sebagian yang mendukung.
Sebagaimana disebutkan di atas, seseorang dalam menilai apakah
kedudukan dan hak-hak perempuan sudah sejajar atau tidak, sesungguhnya akan
sangat bergantung pada kenyataan apakah diuntungkan oleh sistem yang ada atau
pun tidak. Begitu pula dalam menilai KHI, terlebih jika menggunakan struktur
relasi gender dengan kaca mata fikih klasik yang terkesan berat sebelah dalam
menilai seberapa jauh ketidakadilan gender tersebut.
Oleh sebab itu, di sini sangat perlu agar diwacanakan kembali
sebagai agenda tuntutan terhadap keadilan dan persamaan. Sebab, KHI sebagai
cerminan hukum Islam ala Indonesia, dalam rumusan pasal-pasalnya, cenderung patriarkat (mengutamakan laki-laki)
dengan menempatkan perempuan dalam sektor domestik dan pemberian hak yang tidak
sebanding dengan laki-laki. Rumusan yang timpang itu tertuang dalam hukum perkawinan
seperti dalam peminangan, rukun dan syarat perkawinan, pemberian mahar,
larangan kawin, poligami, batalnya perkawinan, hak dan kewajiban suami istri,
pemeliharaan anak, putusnya perkawinan, akibat putusnya perkawinan, masa
berkabung, besarnya bagian warisan dan hirarkinya. Jika diukur dengan
prinsip-prinsip ajaran Islam pun banyak rumusan yang tidak sesuai dengan
prinsip persamaan (al-musawah), persaudaraan (al-ikha’), dan
keadilan (al-adl) yang
merupakan ajaran Islam.
Perlu diingat kembali atas status yang diberikan Al-Quran bagi
perempuan serta bagaimana para fuqaha memandangnya dalam kondisi yang
berbeda-beda. Secara prinsipil Islam menghargai kaum perempuan bahkan berusaha
memberdayakannya. Penafsiran keagamaanlah yang memandang bahwa perempuan
diberikan status yang lebih rendah; sebagaimana tuangan dalam kitab-kitab fikih
klasik. Mereka menghargai perempuan separuh dari harga laki-laki. Sekadar
contoh, dalam kesaksian dua orang perempuan sederajat dengan nilai kesaksian
seorang laki-laki. Setiap orang yang baru lahir dianjurkan menyembelih aqiqah (kekah; Jawa), yang mana bagi anak-laki-laki
minimal dua ekor kambing, sedangkan anak perempuan cukup satu ekor saja. Di
dalam masalah poligami, laki-laki dibolehkan lebih dari satu, bahkan sampai
empat; meskipun dengan persyaratan yang berat. Berbeda dengan perempuan yang
secara mutlak hanya dibenarkan memiliki seorang suami saja.
Kemudian dalam
wilayah hukum dan politik dengan pola interaksi antara masyarakat sekitar dengan
hukum Islam. Bagaimana kelompok-kelompok keagamaan dan politik di Indonesia
merespons RUU anti pornografi dan pornoaksi (RUUPP), atau tidaknya wanita
menjadi pemimpin negara ketika fatwa tersebut muncul di tengah gegap gempitanya
kampanye dalam pilihan presiden
dan pemilu lainnya.Hukum
tersebut mendorong dan mendiskriminasi bahwa wanita sesuai dengan syariat tidak
dibolehkan menjadi seorang pemimpin. Ini sebagai salah satu contoh kasus hukum
yang didengungkan dalam iklim pilitik di Indonesia. Jangan-jangan, kuota 30
persen bagi keterwakilan perempuan di DPR dan DPRD serta komisi pemilihan itu
juga bias gender? Artinya, filosofi 30 persen itu pencapurbauran antara
perjuangan perempuan dengan pembagian negara yang dikuasai oleh laki-laki
sebagai proses pengambilan kembali atas satu rusuk kirinya yang hilang itu.
Kalau begitu, tetap saja perempuan tersubordinasi. Maka, budaya patriarki pun
tetap berlangsung, dan perempuan tetap menjadi pelengkap dari 70 persen
kekuasaan laki-laki.
Bukti-bukti yang
diberikan di atas, memberi gambaran kepada kita mengenai pemarginalan,
kekerasan, dan ketidakadilan terhadap perempuan yang dikukuhkan oleh penafsiran
terhadap teks agama, lembaga keluarga, dan kebijakan pemerintah atau negara
merupakan tiga faktor penentu berlangsungnya hubungan laki-laki dan perempuan
di Indonesia yang bias gender. Semua itu berasal dari budaya patriarki; yang
memposisikan laki-laki sebagai manusia yang superior, sedangkan perempuan
sebagai manusia yang inferior.
D.
Analisis Isi Hukum
Islam (Positif) di Indonesia: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan
Citra ideal
kehidupan perkawinan adalah sebuah kehidupan yang dipenuhi keharmonisan rumah
tangga, kasih sayang dan sikap saling menghormati walaupun dalam kenyataannya untuk
membina perkawinan ideal tidak mudah, bahkan dalam kehidupan perkawinan sering
kandas di tengah jalan yang berujung dengan perceraian karena tidak
terpenuhinya keharmonisan dalam rumah tangga.
Kehidupan keluarga
yang ideal menurut Islam adalah keluarga sakinah. Dasar utama pembentukan
keluarga sakinah, juga ditentukan oleh keberagamaan pasangan hidup, sebab hal
ini akan mendorong terwujudnya saling pengertian dan saling mempercayai antara
suami dan istri. Keberagamaan pasangan hidup memberikan nilai positif dalam
kehidupan keluarga. Sebaik apapun salah satu pihak dari suami-istri dengan tanpa
didukung rasa keberagamaan pihak lainnya, maka akan mudah terjadinya
kesalahpahaman yang mengarah pada konflik dan permusuhan. Sebaiknya, dengan
keberagamaan yang baik dari kedua belah pihak, maka kekurangan dari salah satu
pihak tidak akan dibesar-besaran, justru dimaafkan dan ditutupi agar kekurangan
tersebut berubah menjadi sesuatu yang berguna.
Selanjutnya, hukum
mengatur hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain dalam hidup
bermasyarakat. Dalam mengatur hubungan ini, hukum memberi wewenang dan batasan-batasan
sehingga dikenal adanya hak dan kewajiban. Dalam melaksanakan hak dan
kewajiban, Islam memformulasikan keduanya dengan tetap memperhatikan konsep
keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan keutuhan baik sesama umat manusia
maupun dengan lingkungannya. Sehingga dalam Islam, baik laki-laki maupun
perempuan, mempunyai hak yang sama dalam menjalankan peran pemimpin (khalifatullah) dan hamba Allah (‘abdullah).[19]
Berbeda dengan
sejarah pra-Islam, yang mana perempuan dimitoskan sebagai pelengkap bagi keinginan
laki-laki. Kedatangan Islam membuka pagar keterkungkungan perempuan dalam
sebuah tatanan nilai yang ada, yakni perempuan belum pernah sepanjang sejarah
diposisikan sejajar dengan laki-laki secara proporsional. Posisi perempuan di
sini sebenarnya hanya dibedakan fungsinya saja dari laki-laki, dan bukan
direndahkan martabat dan derajatnya.[20]
Perbedaan tersebut
sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan
gender yang termanisfestasikan dalam lima bentuk, yaitu (1) marginalisasi atau
proses pemiskinan ekonomi; (2) subordinasi atau anggapan tidak penting dalam
pengambilan keputusan; (3) stereotype
dan diskriminasi atau pelabelan negatif; (4) kekerasan dalam rumah tangga; dan,
(5) double burden (beban ganda) yang
harus dipikul oleh istri dalam
rumah tangga,[21]
karena hal tersebut sangat bertentangan dengan prinsip egaliter (persamaan)
dalam ajaran Islam, bahwa Allah Swt menciptakan laki-laki dan perempuan pada
dasarnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam mengelolah bakat dan kemampuannya.
Oleh karena itu, suami-istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama pula; sebagaimana
yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Aturan pada pasal
yang mengatur tentang hak dan kewajiban suami-istri ini memperoleh pengabsahan dan
memperkuat pandangan masyarakat bahwa perempuan seharusnya menghabiskan waktu
di rumah, aktif di sektor domestik mengurus rumah tangga dan anak. Sebaliknya, bekerja
di luar rumah atau bekerja di sektor publik itu dianggap tidak wajar; karena
meninggalkan tugas-tugasnya yang menurut nilai-nilai budaya harus dia yang
memikulnya. Bahkan ada yang menilai bahwa mengurus rumah tangga dan mengurus
anak adalah tugas kodrati dari perempuan. Dalam hal ini, tugas atau peran laki-laki
untuk masyarakat kita, seperti yang dibaca dalam undang-undang perkawinan,
berarti suami tidak wajib turut mengurus rumah tangga, akan tetapi yang wajib
ia lakukan adalah mencari nafkah. Karena hal tersebut telah tersosialisasi
dalam masyarakat yang merupakan kontruksi sosial.[22] Karena
adanya anggapan bahwa kaum perempuan itu bersifat memelihara dan rajin serta
tidak cocok menjadi kepala rumah tangga, maka anggapan tersebut membawa akibat
bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab perempuan.
Terlebih jika perempuan tersebut juga harus bekerja, maka ia mengalami beban kerja
secara ganda (double burden).
Stereotype
perempuan dalam psikologi
tersebut, menjadi argumen
mendasar yang nantinya
akan membenarkan peran tradisional perempuan di sektor domestik, yang
anehnya justru dianggap sebagai nature
perempuan. Karena itu, kedudukan perempuan sebagai istri (ibu rumah tangga) dalam
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah mendudukkan perempuan pada
posisi diskriminatif. Atau dengan kata lain, hukum perkawinan sampai saat ini
masih mendudukan perempuan pada posisi yang termarginalkan, khususnya pada Pasal
31 ayat (3) yang mengatur tentang hak dan kewajiban suami-istri.[23]
Tentu saja hal ini bertentangan dengan konsep Al-Quran yang bermuatan moral,
egaliter, dan universal.
Berkenaan dengan itulah
dewasa ini keberadaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang bias gender
perlu ditinjau ulang. Selain seperti yang disebutkan di atas, materi
undang-undang yang perlu ditinjau ulang adalah salah satu pasalnya menyebutkan
bahwa “Suami sebagai kepala rumah tangga
dan istri sebagai ibu rumah tangga”.[24]
Demikian pula dalam pasal lain bahwa “Suami
wajib melindungi istri dan istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya”.[25]
Bunyi dari pasal UU
tentang perkawinan yang disebutkan di atas, jika diinterpretasikan lebih dalam,
maka kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga (pemimpin) mempunyai tanggung
jawab memberi nafkah atas keluarganya, sehingga tugas mereka adalah di ranah
publik. Sedangkan istri adalah sebagai ibu rumah tangga bertugas di ranah
domestik; mengurusi anak dan suami, yang dinilai mengurung ruang gerak
perempuan, menuju ruang-ruang publik baru yang bisa menempatkan perempuan untuk
aktif, partisipatif dan berada pada pusat diri (self center) dalam
pengambilan kebijakan.[26]
Dengan demikian, kebijakan pemerintah pada pasal tersebut semakin melegitimasi
berbagai bentuk ketidakadilan bagi perempuan. Karena pembagian tugas publik dan
domestik tersebut dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan,
ditambah lagi kurang adanya penghargaan terhadap pekerjaan domestik. Karena
dengan domestifikasi ini, sehingga mendudukkan perempuan sebagai makhluk nomor
dua (the second sex).
Selain itu, pasal UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang disebutkan tadi, semakin menguatkan
budaya patriarki yang beranggapan bahwa perempuan tidak memiliki hak untuk
menjadi pemimpin dalam rumah tangga, sebaliknya justru ia berhak untuk diatur.
Pekerjaan domestik yang dibebankan kepada perempuan dilakukan bersama-sama
dengan fungsi reproduksi haid, hamil, menyusui, dan sebagainya. Sementara
laki-laki dengan peran publiknya tidak ada kepedulian untuk membantu pekerjaan
domestik yang hanya dikerjakan oleh perempuan.
Bagi kelompok
menengah ke bawah, perempuan harus bekerja pada peran publik untuk meningkatkan
penghasilan ekonomi keluarga, karenanya semakin berat beban yang ditanggung
oleh perempuan jika lingkungannya, baik suami maupun anggota keluarga lainnya, tidak
ikut menyelesaikan tugas-tugas domestik. Sedangkan bagi kelompok menengah ke
atas dan golongan kaya, beban kerja rumah tangga dilimpahkan kepada pembantu (domestik workers), sehingga diskriminasi pun terjadi pada pembantu rumah tangga.
Konklusi
Untuk konteks masa kini, harus dilakukan upaya-upaya pengembangan hukum
Islam dalam rangka mengantisispasi perkembangan zaman. Reinterpretasi terhadap nash mutlak dilakukan dengan pertimbangan kondisi masa kini yang telah diwarnai oleh berbagai
perkembangan di berbagai lini kehidupan. Meski demikian, bukan berarti pemikiran klasik harus dinafikan sama sekali, melainkan
harus tetap menjadi perhatian penting atau sebagai salah satu dasar berpikir.
Untuk itu, perlu dipadukan metode deduktif dan induktif, yakni perpaduan antara pendekatan
normatif dan empiris dalam pengembangan hukum Islam yang ramah gender. Kerangka
inilah yang harus menjadi acuan dalam pengembangan produk pemikiran hukum Islam
di Indonesia. Karena, metode tersebut dinilai bisa menjembatani
antara dimensi normativitas dan historisitas dalam hukum Islam, yakni hukum yang bersumber dari wahyu, namun
memerlukan penalaran dalam pengembangan serta aplikasinya dalam kehidupan manusia yang terus mengalami perkembangan.[]
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Munawar dan Saptoni, (ed.), 2007, Restrukturisasi Metodologi Islamic Studies
Mazhab Yogyakarta, Yogyakarta: Suka Press.
Amin, M.
Masyhur, 1992, Wanita dalam Percakapan
Antar Agama: Aktualisasinya dalam Pembangunan, Yogyakarta: LKPSDM DIY.
Azra,
Azyumardi, 2013, Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVII, Jakarta: Kencana.
Engineer, Asghar
Ali, 2007, Pembebasan Perempuan,
terj. Agus Nuryanto, Yogyakarta: LKiS.
Fakih, Mansour, 2001, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Fiderspiel, Howard M., 1996, Persatuan Islam; Pembaruan Islam Indonesia
Abad XX, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Jamhari dan Ropi, Ismatu (ed.), 2003, Citra Perempuan dalam Islam; Pandangan Ormas
Keagamaan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Maftukhin, dkk., 2010, Nuansa Studi Islam; Sebuah Pergulatan Pemikiran, Yogyakarta: Teras.
Mahmud, Adnan, Dkk. (eds.), 2012, Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Marhumah, Ema dan Khuluq, Latiful (ed.),
2002, Rekonstruksi Metodologis Wacana
Kesetaraan Gender dalam Islam, Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga dan
Pustaka Pelajar, 2002.
Mas’udi, Masdar F., 1996, Membincang Feminisme; Diskursus Gender
Perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti.
Nashir L.M. & Meuleman J.H. (ed).,
1993, Wanita Islam Indonesia dalam Kajian
Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: TNIS.
Sulasman, 2013, Sejarah Islam di Asia & Eropa, Bandung: Pustaka Setia.
Syahrur, Muhammad, 2007, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam
Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, Yogyakarta: elSAQ Press.
Umar, Nasaruddin, 2002, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan
Gender dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Undang-Undang
Republik Indonesia Tahun Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Edisi Digital,
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974.
Wijdan SZ., Aden, Dkk. (eds.), 2007, Pemikiran & Peradaban Islam,
Yogyakarta: Safiria Insania Press.
Muhammad Syahrur, Prinsip
dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer,
terj. Sahiron Syamsuddin, (Yogyakarta: elSAQ Press, 2007), hlm. 231.
Asghar Ali Engineer, Pembebasan
Perempuan, terj. Agus Nuryanto, (Yogyakarta: LKiS, 2007, hlm. 261.
Ema Marhumah dan Latiful Khuluq, (ed.), Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam
Islam, (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga dan Pustaka Pelajar, 2002),
hlm. 85-85.
Munawar Ahmad dan Saptoni, (ed.), Restrukturisasi Metodologi Islamic Studies
Mazhab Yogyakarta, (Yogyakarta: Suka Press, 2007), hlm. 74.
[13] Maftukhin, dkk., Nuansa Studi Islam; Sebuah Pergulatan
Pemikiran, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 217-218.
[14] Nashir L.M. &
Meuleman J.H. (ed)., Wanita Islam
Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: TNIS, 1993),
hlm. 48-49.
[15] Masdar F. Mas’udi, Membincang Feminisme; Diskursus Gender
Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 170-171.
[16] Kelompok yang tidak
setuju dengan pemimpin perempuan setingkat Presiden, pada umumnya didominasi
oleh ulama konservatif dan orang-orang gerakan seperti Majelis Mujahidin, Front
Pembela Islam (FPI), dan sebagainya. Mereka banyak menukil argumentasi dari
ulama terdahulu, seperti Taqiyuddin al-Nabhany, dan Abdul Qodim Zallum.
Menurutnya, ada tujuh syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh seorang calon
pemimpin sebagai kepala negara kaum Muslim, yaitu Muslim, laki-laki, baligh,
berakal, adil, merdeka, dan mampu. Ketujuh syarat itu ditetapkan sebagai syarat
mutlak calon pemimpin lantaran memiliki dalil-dalil yang menunjukkan kepastian
hukum dari nash-nash syara’. Lihat: Aden Wijdan SZ. Dkk., Pemikiran & Peradaban Islam, (Yogyakarta: Safiria Insania
Press, 2007), hlm. 223.
[17] Maftukhin, Op. Cit., hlm. 119-120.
Mansour Fakih,
Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 12.
Jamhari dan Ismatu Ropi (ed.), Citra Perempuan
dalam Islam; Pandangan Ormas
Keagamaan, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2003), hlm. 9.