Sunday, June 05, 2022

TEORI PEMBANGUNAN DUNIA KETIGA

Prawacana

Istilah Dunia Ketiga dinilai sebagai negara yang ketinggalan jaman. Pasalnya, negara Dunia Ketiga lebih diartikan sebagai negara-negara yang terpinggirkan secara ekonomi, miskin, atau negara-negara yang sedang berkembang dengan tanpa melihat ideologinya. Negara Dunia Ketiga adalah negara-negara yang tidak masuk ke salah satu blok antara Dunia Pertama (blok kapitalis) dan Dunia Kedua (blok sosialis) pasca Perang Dingin.

Memaknai teori-teori pembangunan Dunia Ketiga adalah sebuah teori-teori pembangunan yang berusaha menyelesaikan masalah yang dihadapi negara-negara miskin atau sedang berkembang dalam sebuah dunia yang didominasi oleh kekuatan ekonomi, ilmu pengetahuan dan militer negara-negara adikuasa atau negara industri maju.[1] Tentunya, kompleksitas masalah yang dihadapai antara negara miskin dengan negara adikuasa sangatlah berbeda. Persoalan bagi negara adikuasa adalah bagaimana agar mereka bisa melakukan ekspansi ke negara-negara dunia, karena memang kehidupan ekonominya telah mapan. Sebaliknya, persoalan bagaimana bisa bertahan hidup atau bagaimana meletakkan dasar-dasar ekonominya supaya bisa bersaing di pasar internasional menjadi permasalahan rumit bagi negara-negara Dunia Ketiga, seperti Indonesia.

Langkah konkret negara berkembang untuk mengejar ketertinggalan negara industri maju salah satunya melalui kebijakan negara. Kebijakan pembangunan ekonomi negara-negara berkembang telah berubah secara drastis sejak tahun 1980-an. Hampir semua negara berkembang ini menggeser kebijakan-kebijakan ekonominya ke arah liberalisasi yang lebih besar, dan kepercayaan yang lebih besar pada mekanisme pasar melalui serangkaian reformasi ekonomi yang berorientasi pasar. Nyaris di segala penjuru dunia, negara-negara berkembang ini mulai mengadopsi kebijakan yang dimaksudkan untuk merestrukturisasi watak peran negara dalam perekonomian untuk meliberalisasi perdagangan domestik dan regulasi investasi kemudian menswastakan perusahaan-perusahaan milik negara untuk mengejar pertumbuhan ekonomi.[2]

Masifnya pembangunan di Indonesia seperti infrastruktur, baik gedung pencakar langit maupun jalan tol di berbagai wilayah atau propinsi, disinyalir bahwa negara kita ini memaknai kata “pembangunan” sebagai kata kunci bagi segala hal. Namun secara umum, kata ini diartikan juga sebagai usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat atau warganya. Seringkali, kemajuan dimaksud terutama pada kemajuan material. Karenanya, pembangunan lebih diartikan dalam kerangka kemajuan yang dicapai oleh masyarakat di bidang ekonomi.

Atas nama pembangunan, pemerintah juga sering memberangus kritik yang muncul dari masyarakat. Bagi pemerintah yang berkuasa, kritik dinilainya akan mengganggu stabilitas politik. Dengan jargon ini pula kemudian dijadikan alat atau sarana penting negara untuk memungkinkan pelaksanaan pembangunan. Ini artinya, pembangunan bagi negara dipakai sebagai ideologi politik yang memberikan keabsahan pemerintah untuk membatasi masyarakat yang mengkritiknya.

Pembangunan mula-mula dipakai dalam arti pertumbuhan ekonomi. Masyarakat dinilai berhasil melaksanakan pembangunan jika pertumbuhan ekonomi mereka cukup tinggi. Dengan demikian, yang diukur adalah produktivitas masyarakat atau produktivitas negara tersebut setiap tahunnya, atau dalam bahasa teknis ekonominya bahwa produktivitas ekonomi sebuah negara diukur oleh Produk Nasional Bruto (PNB atau Gross National Product, GNP), dan Produk Domestik Bruto (PDB atau Gross Domestic Product, GDP).[3]

Padahal, sebuah negara yang tinggi produktivitasnya dan merata pendapatan penduduknya bisa saja negara itu berada dalam sebuah proses untuk menjadi semakin miskin, sebab pembangunan yang menghasilkan produktivitas yang tinggi itu tidak mempedulikan dampak terhadap lingkungannya. Akibatnya, lingkungannya semakin rusak, sumber-sumber alamnya semakin terkuras, sementara kecepatan bagi alam untuk melakukan rehabilitasi lebih lembat daripada kecepatan perusakan sumber alam tersebut.

Konsep pembangunan yang sudah diperluas dan melibatkan aspek lingkungan, pada dasarnya masih bersifat materialistis. Sebab yang dipersoalkan hanya terbatas pada persoalan materi yang mau dihasilkan dan yang mau dibagi. Hal ini disebabkan karena teori pembangunan masih sangat didominasi oleh para ahli ekonomi. Padahal, pembangunan itu meliputi dua unsur pokok, yakni masalah materi yang mau dihasilkan dan dibagi, serta masalah manusia yang menjadi pengambil inisiatif yang menjadi manusia pembangun.

 

Teori Pembangunan

Pengertian “pembangunan” mungkin menjadi hal yang paling menarik untuk diperdebatkan. Mungkin saja tidak ada satu disiplin ilmu yang paling tepat mengartikan kata pembangunan. Sejauh ini, serangkaian pemikiran tentang pembangunan telah berkembang, mulai dari perspektif sosiologi klasik (Durkheim, Weber, dan Marx), pandangan Marxis, modernisasi oleh Rostow, strukturalisme bersama modernisasi, memperkaya ulasan pendahuluan pembangunan sosial hingga pembangunan berkelanjutan. Namun, ada tema-tema pokok yang menjadi pesan di dalamnya. Dalam hal ini, pembangunan dapat diartikan sebagai suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi.

Pada awal pemikiran tentang pembangunan sering ditemukan adanya pemikiran yang mengidentikkan pembangunan dengan perkembangan, pembangunan dengan modernisasi dan industrialisasi, bahkan pembangunan dengan westernisasi. Seluruh pemikiran tersebut didasarkan pada aspek perubahan, di mana pembangunan, perkembangan, modernisasi, dan industrialisasi secara keseluruhan mengandung unsur perubahan. Meski demikian, keempat hal tersebut mempunyai perbedaan yang cukup prinsipil, sebab masing-masing mempunyai latar belakang, asas, dan hakikat yang berbeda, serta prinsip kontinuitas yang berbeda pula; meskipun semuanya merupakan bentuk yang merefleksikan perubahan.

Menurut beberapa pakar, teori-teori pembangunan dapat dikelompokkan ke dalam dua paradigma, yaitu paradigma modernisasi dan ketergantungan. Di dalam paradigma modernisasi, termasuk teori-teori makro tentang pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial serta mikro tentang nilai-nilai individu, yang menunjang proses perubahan tersebut. Sementara paradigma ketergantungan mancakup teori-teori keterbelakangan (underdevelopment), ketergantungan (dependent development), dan sistem dunia (world system theory) sesuai dengan klasifikasi Larrain.[4]

Bereda dengan klasifikasi di atas, teori pembangunan dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, teori modernisasi, sebagai sebuah teori yang menekankan faktor-faktor manusia dan nilai-nilai budayanya sebagai pokok persoalan dalam pembangunan. Teori ini dianut baik di kalangan ahli ilmu sosial (termasuk ahli ilmu ekonomi) maupun oleh para pejabat tinggi negara. Kedua, teori ketergantungan, sebagai sebuah teori yang merupakan reaksi terhadap teori modernisasi yang dianggap tidak mencukupi dan bahkan menyesatkan. Teori ini tumbuh di kalangan para ahli ilmu sosial di Amerika Latin, pengaruhnya kemudian meluas ke Amerika Serikat dan Eropa hingga Asia. Teori ini dipengaruhi oleh metode analisis Marxis yang pengaruhnya kemudian menurun dengan munculnya kelompok teori lain. Ketiga, kelompok teori-teori yang merupakan reaksi terhadap teori ketergantungan. Teori ini belum memiliki makna sendiri sebagai satu kelompok, karena itu sering disebut sebagai teori pasca ketergantungan (seperti teori sistem dunia, teori artikulasi, dan sebagainya). Pada dasarnya, teori ini menolak teori ketergantungan yang dianggap terlalu menyederhanakan persoalan, padahal dalam kenyataannya, gejala pembangunan di negara-negara dunia ketiga jauh lebih kompleks. Akibatnya, teori ketergantungan gagal menjelaskan beberapa gejala pembangunan di dunia ketiga, terutama negara-negara yang berhasil memperkuat dirinya dalam kapitalisme global. Teori pasca ketergantungan inilah yang sesungguhnya ingin berusaha menyempurnakan apa yang kurang pada teori ketergantungan.[5]

 

Teori-Teori Pembangunan: Sebuah Analisis Komparatif

Ada suatu masa pada abad yang lalu, di mana teori pembagian kerja secara internasioal merupakan teori yang dianut. Para ahli ekonomi, termasuk mereka yang punya posisi penting dalam menentukan kebijakan perdagangan luar negeri sebuah negara, mengikuti teori ini. Toeri ini menyatakan bahwa setiap negara harus melakukan spesialisasi produksi sesuai dengan keuntungan komparatif yang dimilikinya. Negara-negara di katulistiwa yang tanahnya subur, lebih baik melakukan spesialisasi di bidang produksi pertanian. Sedangkan negara-negara di bagian bumi sebelah utara yang iklimnya tidak cocok pertanian, sebaiknya melakukan kegiatan produksi di bidang industri; mereka harus mengembangkan teknologi untuk menciptakan keunggulan komparatif bagi negerinya.

Karena adanya spesialisasi ini, terjadilah perdagangan internasioal yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Negara-negara pertanian dapat membeli barang-barang industri secara murah, pun juga sebaliknya yang mana negara industri membeli hasil panen dengan harga murah. Intinya, teori ini beranggapan bahwa pembangunan yang meleburkan diri ke dalam kegiatan ekonomi dunia, karena pada dasarnya negara-negara yang ada saling tergantung, akan lebih menguntungkan apabila negara-negara saling mengisi kelemahan.

Teori pembangunan kerja internasional yang didasarkan pada teori keuntungan komparatif yang dimiliki oleh setiap negara mengakibatkan terjadinya spesialisasi prosuksi pada tiap-tiap negara sesuai dengan keuntungan komparatif yang mereka miliki. Karenanya secara umum, di dunia ini terdapat dua kelompok negara, yaitu negara yang memproduksi hasil pertanian, dan negara yang memproduksi barang industri.

Tetapi setelah beberapa puluh tahun kemudian tampak bahwa negara-negara industri menjadi semakin kaya, sebaliknya justru negara pertanian semakin miskin dan tertinggal. Neraca perdagangan antara kedua jenis negara ini selalu menguntungkan negara-negara yang mengkhususkan diri pada produksi barang industri.

Terhadap kenyataan tersebut, secara umum terdapat dua kelompok teori. Pertama, teori-teori yang menyatakan bahwa kemiskinan itu disebabkan oleh faktor-faktor internal atau faktor yang terdapat di dalam negara bersangkutan, atau yang dikenal dengan teori modernisasi. Sedangkan teori yang mempermasalahkan faktor eksternal sebagai penyebab kemiskinan disebut dengan teori struktural.

Beberapa teori yang tergolong ke dalam kelompok modernisasi dan dianggap mewakili satu kelompok pikiran tertentu. Di antaranya yaitu:[6]

Teori Harrod-Doman: Tabungan dan Investasi

Teori Evsey Domar dan Roy Harrod ini, walaupun berkerja secara terpisah, mencapai kesimpulan yang sama, yakni bahwa pertubuhan ekonomi ditentukan oleh tingginya hubungan dan investasi. Jikalau tabungan dan investasi rendah, maka pertumbuhan ekonomi masyarakat atau negara akan rendah. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi (tabungan-investasi) dirumuskan Harrod-Doman yang sangat terkenal di kalangan ahli ekonomi pembangunan, di mana masalah pembangunan pada dasarnya merupakan masalah menambahkan investasi modal. Masalah keterbelakangan adalah masalah kekurangan modal. Jika ada modal dan modal itu diinvestasikan, maka hasilnya adalah pembangunan ekonomi.

Karena itu, berdasarkan pada model ini, resep para ahli ekonomi pembangunan di negara-negara dunia ketiga, untuk memecahkan persoalan keterbelakangan adalah dengan mencari tambahan modal, baik dari dalam negeri (dengan menguasahakan peningkatan tabungan dalam negeri) maupun luar negeri (melalui penanaman modal atau utang luar negeri).

Max Weber: Etika Protestan

Teori Weber mempersoalkan masalah manusia yang dibentuk oleh nilai-nilai budaya sekitarnya, khususnya nilai-nilai agama. Salah satu topik penting bagi masalah pembangunan yang dibahas Weber adalah tentang peran agama sebagai faktor yang menyebabkan munculnya kapitalisme di Eropa Barat dan Amerika Serikat (tahun 1904-1905). Dalam bukunya yang judul The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Weber mencoba menjawab pertanyaan mengapa beberapa negara Eropa dan Amerika mengalami kemajuan ekonomi yang pesat di bawah sistem kapitalisme. Setelah melakukan analisis, Weber mencapai kesimpulan bahwa salah satu penyeban utamanya adalah apa yang disebutnya sebagai Etika Protestan.

Etika protestan lahir di Eropa melalui agama Protestan yang dikembangkan Calvin. Ajaran pokoknya mengatakan bahwa seseorang itu sudah ditakdirkan sebelumnya untuk masuk surga atau neraka. Tetapi orang bersangkutan tidak mengetahuinya, sehingga menjadikan dirinya tidak tenang dan cemas, karena ketidakjelasan nasibnya. Cara untuk mengetahui apakah mereka akan masuk surga atau neraka adalah keberhasilan kerjanya di dunia sekarang ini. Jika kerja di dunia berhasil, maka akan masuk surga setelah ia mati, dan sebaliknya.

Dengan adanya kepercayaan ajaran tersebut, orang-orang bekerja keras untuk meraih sukses dan tanpa pamrih. Artinya, manusia bekerja itu bukan untuk mencari kekayaan material, melainkan untuk mengatasi kecemasannya. Inilah yang disebut Etika Protestan menurut Weber, yakni cara kerja yang keras dan sungguh-sungguh serta lepas dari imbalan materialnya. Intinya bahwa orang menjadi kaya karena keberhasilannya, tetapi ini produk sampingan yang tidak disengaja. Sebab, mereka berkerja bukan untuk megumpulkan harta, melainkan pengabdian bagi agama.

Studi Weber ini merupakan salah satu studi pertama yang meneliti hubungan antara agama dan pertumbuhan ekonomi. Jika agama kita perluas menjadi kebudayaan, studi Weber ini menjadi perangsang utama bagi munculnya studi tentang aspek kebudayaan terhadap pembangunan.

David McClelland: Dorongan Berprestasi atau n-Ach

Menurut McClelland, untuk membuat perkerjaan berhasil adalah sikapnya terhadap pekerjaan tersebut. Persoalan penting menjadi: Apakah seseorang memiliki semangat baru yang sempurna dalam menghadapi pekerjaan? Apakah dia memiliki keinginan untuk berhasil? Dari sini, McClelland tiba pada konsepnya, yaitu the need for Achievement, kebutuhan atau dorongan untuk berprestasi. Konsep ini disingkat dengan sebuah simbol yang sangat terkenal, yakni n-Ach. Selanjutnya, McClelland mengatakan bahwa jika dalam sebuah masyarakat ada banyak orang yang memiliki n-Ach yang tinggi, dapat diharapkan masyarakat akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

W.W. Rostow: Lima Tahap Pembangunan

Sebagai seorang ahli ekonomi, dalam bukunya yang berjudul The Stages of Economic Growth, A Non-Communist Manifesto (1960), Rostow menguraikan teorinya tentang proses pembangunan dalam sebuah masyarakat. Bagi Rostow, pembangunan merupakan proses yang bergerak dalam sebuah garis lurus, yakni dari masyarakat yang terbelakang menuju masyarakat yang maju. Kemudian ia membaginya mejadi lima tahapan, yakni masyarakat tradisional, prakondisi untuk lepas landas, lepas landas, bergerak ke kedewasaan, dan jaman konsumsi masal yang tinggi.

Bert F. Hoselitz: Faktor-Faktor Non-ekonomi

Dalam karyanya yang terkenal dengan judul Economic Growth and Development: Noneconomic Factors in Economic Development, menjelaskan bahwa faktor non-ekonomi ini disebut Hoselitz sebagai faktor kondisi lingkungan, yang dianggap penting dalam proses pembangunan. Menurutnya, masalah utama pembangunan adalah kekurangan modal (teori Harrod-Domar), namun baginya ada masalah lain yang sangat penting, yaitu adanya ketrampilan kerja, termasuk wiraswasta yang tangguh. Karenanya, dibutuhkan perubahan kelembagaan pada masa sebelum lepas landas yang akan mempengaruhi pemasokan modal agar modal ini bisa menjadi produktif. Perubahan kelembagaan ini akan menghasilkan tenaga wiraswasta dan administrasi, serta keterampilan teknis atau keilmuan yang dibutuhkan. Oleh karena itu, pembangunan membutuhkan pemasokan beberapa unsur di dalamnya, yaitu pemasokan modal besar dan perbankan, serta tenaga ahli yang terampil.

Alex Inkeles dan David H. Smith: Manusia Modern

Bagi Inkeles dan Smith, komponen penting penopang pembangunan adalah faktor manusia. Karena, pembangunan bukan sekadar perkara pemasokan modal dan teknologi saja, melainkan juga membutuhkan manusia yang dapat mengembangkan sarana material tersebut supaya menjadi produktif. Untuk itu, dibutuhkan manusia modern. Dalam bukunya yang berjudul Becoming Modern, ciri manusia modern meliputi hal-hal seperti keterbukaan terhadap pengalaman dan ide baru, berorientasi ke masa sekarang dan masa depan, punya kesanggupan merencanakan, pecaya bahwa manusia bisa menguasai alam, dan bukan sebaliknya. Artinya, dengan memberikan lingkungan yang tepat, setiap orang bisa diubah menjadi manusia modern setelah dia mencapai usia dewasa.

 

Perspektif Teori Modernisasi dan Dependensi

Dalam perkembangan sejarahnya, terlihat bahwa kapitalisme lahir lebih kurang tiga abad sebelum teori-teori pembangunan muncul, sehingga berbagai perdebatan terhadap teori maupun praktek pembangunan sudah berada di dalam alam kapitalisme. Karenanya, tidak mengherankan jika kapitalisme sangat mewarnai teori-teori pembangunan.

Sejarah lahirnya teori modernisasi adalah pada tahun 1950-an di Amerika Serikat, dan merupakan respons para kaum intelektual atas Perang Dunia, yang bagi penganut evolusi,[7] dianggap sebagai jalan optimis menuju perubahan. Sebenarnya, teori modernisasi ini lahir dalam suasan ketika dunia memasuki perang dingin[8] antara negara-negara komunis di bawah pimpinan negara Sosialis Uni Sovyet Rusia dengan negara kapitalis yang dipimpin oleh Amerika Serikat.

Motivasi teori modernisasi adalah untuk merubah cara produksi masyarakat berkembang sesungguhnya adalah usaha merubah cara produksi pra-kapitalis ke kapitalis; sebagaimana negara-negara maju sudah menerapkannya untuk ditiru. Selanjutnya, dalam teori dependensi yang bertolak dari analisa Marxis, dapat dikatakan hanyalah mengangkat kritik terhadap kapitalisme dari skala pabrik (majikan dan buruh) ke tingkat antar negara (sentral dan pinggiran) dengan analisis utama yang sama, yaitu eksploitasi. Demikian halnya dengan teori sistem dunia yang didasari teori dependensi, menganalisis persoalan kapitalisme dengan satuan analisis dunia sebagai hanya satu sistem, yaitu sistem ekonomi kapitalis.

Tokoh-tokoh di Amerika Serikat berpendapat bahwa lahirnya teori modernisasi dilatarbelakangi oleh adanya tiga peristiwa penting di dunia setelah usai masa Perang Dunia II, yakni munculnya Amerika Serikat sebagai kekuatan dominan di dunia (Pemimpin Dunia), terjadinya perluasan gerakan komunis, dan lahirnya negara-negara merdeka baru.[9]

Ada beberapa pemikiran klasik teori modernisasi yang telah dikemukakan oleh para ahli, Pertama, Smelsen, tentang diferensiensi structural, bahwa teori modernisasi akan selalu melibatkan diferensiensi struktural. Kedua, Rostow, mengatakan bahwa pembangunan ekonomi ada lima tahapan; dan yang dianggap sebagai tahapan paling kritis adalah tahap tinggal landas. Ketiga, Coleman, tentang pembangunan politik yang ber-keadilan, bahwa ketiga teori pembangunan mirip dengan pendekatan sosiologis. Keempat, Asumsi, tentang teoretis dan metodologi bahwa teori modernisasi juga memberikan rumusan kebijaksanaan pembangunan. Kelima, Implikasi, tentang kebijaksanaan pembangunan, bahwa teori modernisasi mampu menawarkan berbagai implikasi kebijaksanaan pembangunan.[10]

Teori modernisasi banyak menerima warisan dari teori evolusi dan teori struktur fungsionalisme. Teori evolusi mampu membantu proses masa peralihan dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern di negara-negara Eropa Barat. Sedangkan pendukung dari teori modernisasi banyak dididik dalam alam pemikiran teori struktur fungsionalisme. Teori tersebut membuktikan bahwa keduanya merupakan warisan pemikiran dari para ahli sebelumnya.

Teori Evolusi

Teori evolusi lahir pada awal abad ke-19, setelah revolusi industri dan revolusi Perancis. Teori ini yang dapat menghapuskan tatanan lama dan membentuk acuan dasar baru dengan menerapkan teknologi baru, dan ilmu pengetahuan untuk menciptakan tata cara baru dengan menghasilkan produksi yang lebih efisien. Terdapat enam asumsi perubahan dalam teori ini, yakni perubahan itu dilihat sebagai natural, dereksional, imanent, kontinyu, suatu keharusan, dan berjalan melalui sebab yang sama.[11]

Teori Struktur Fungsionalisme

Pemikiran seorang ahli biologi Talcott Parsons, banyak memberi pengaruh dengan rumusan teori fungsionalismenya. Parson berpikir bahwa manusia tak ubahnya seperti organ tubuh yang dapat dipelajari. Karena bagian tubuh manusia saling berhubungan satu dengan yang lain, serta setiap bagian tubuh manusia mempunyai fungsi yang jelas dan khas (spesifik). Dari perumpamaan ini menggambarkan dengan sebuah bentuk kelembagaan dalam masyarakat yang harus mampu melaksanakan tugas tertentu untuk stabilitas dan partumbuhan masyarakat bersangkutan.

Agar kelembagaan masyarakat tidak mati, kemudian Parsons menggambarkan empat macam tugas utama. Pertama, Adaptation to the environment, fungsi lembaga ekonomi adalah adaptasi terhadap lingkungan; Kedua, Goal attainment, fungsi pemerintahan adalah pencapaian tujuan; Ketiga, Integration, fungsi lembaga hukum dan agama adalah menjalankan integrasi, penggabungan atau penyatuan; dan, Keempat, Latency, fungsi keluarga dan lembaga pendidikan adalah usaha pemeliharaan. Sedangkan, penjelasan mengenai tugas utama, menurut Parsons, dapat dijelaskan ke dalam empat fungsi pokok, yaitu fungsi lembaga ekonomi adalah adaptasi lingkungan; fungsi pemerintahan adalah mencapai tujuan; fungsi lembaga hukum dan agama adalah menjalankan integrase; dan fungsi keluarga dan lembaga pendidikan adalah usaha pemeliharaan.[12] Intinya, Konsep teori yang diajukan oleh Parsons adalah keseimbangan dinamis stasioner (Homeostatic Aquilibrium). Artinya, jika bagian tubuh manusia berubah maka bagian lain akan mengikutinya. Teori struktur fungsionalisme Parsons sering disebut konservatif, dalam artian menganggap bahwa masyarakat akan selalu berada pada situasi harmoni, stabil, sembang, dan mapan.

Selanjutnya, teori dependensi (ketergantungan) lahir karena mengagap ketidakmampuan teori Modernisasi dalam membangkitkan ekonomi negara-negara terbelakang, terutama negara di bagian Amerika Latin. Secara teoretik, teori Modernisasi melihat bahwa kemiskinan dan keterbelakangan yang terjadi di negara Dunia Ketiga terjadi karena faktor internal di negara tersebut. Karena faktor internal itulah kemudian negara Dunia Ketiga tidak mampu mencapai kemajuan dan tetap berada dalam keterbelakangan.[13] Paradigma inilah yang kemudian dibantah oleh teori Dependensi. Teori ini berpendapat bahwa kemiskinan dan keterbelakangan yang terjadi di negara-negara Dunia Ketiga bukan disebabkan oleh faktor internal di negara tersebut, melainkan lebih banyak ditentukan oleh faktor eksternal dari luar negara Dunia Ketiga itu.

Faktor luar yang paling menentukan keterbelakangan negara Dunia Ketiga adalah adanya campur tangan dan dominasi negara maju pada laju pembangunan di negara Dunia Ketiga. Dengan campur tangan tersebut, maka pembangunan di negara Dunia Ketiga tidak berjalan dan berguna untuk menghilangkan keterbelakangan yang sedang terjadi, sebaliknya justru membawanya pada kesengsaraan dan keterbelakangan. Keterbelakangan jilid dua di negara Dunia Ketiga ini disebabkan oleh ketergantungan yang diciptakan oleh campur tangan negara maju kepada negara Dunia Ketiga. Jika pembangunan ingin berhasil, maka ketergantungan ini harus diputus dan biarkan negara Dunia Ketiga untuk melakukan roda pembangunannya secara mandiri.

Ada dua hal utama dalam masalah pembangunan yang menjadi karakter kaum Marxis Klasik. Pertama, negara pinggiran yang pra-kapitalis adalah kelompok negara yang tidak dinamis dengan cara produksi Asia, tidak feodal dan dinamis seperti tempat lahirnya kapitalisme, yaitu Eropa. Kedua, negara pinggiran akan maju ketika telah disentuh oleh negara pusat yang membawa kapitalisme ke negara pinggiran tersebut. Ibaratnya, negara pinggiran adalah seorang putri cantik yang sedang tertidur, ia akan bangun dan mengembangkan potensi kecantikannya setelah disentuh oleh pangeran tampan. Pangeran itulah yang disebut dengan negara pusat dengan ketampanan yang dimilikinya, yaitu kapitalisme. Pendapat inilah yang kemudian dibantah oleh teori Dependensi.

Bantahan teori Dependensi atas pendapat kaum Marxis Klasik ini juga ada dua hal. Pertama, negara pinggiran yang pra-kapitalis memiliki dinamika tersendiri yang berbeda dengan dinamika negara kapitalis. Jika tidak mendapat sentuhan dari negara kapitalis yang telah maju, mereka akan bergerak dengan sendirinya mencapai kemajuan yang diinginkannya. Kedua, justru karena dominasi, sentuhan, dan campur tangan negara maju terhadap negara Dunia Ketiga, maka negara pra-kapitalis menjadi tidak pernah maju karena tergantung pada negara maju tersebut. Ketergantungan tersebut ada dalam format “neo-kolonialisme” yang diterapkan oleh negara maju kepada negara Dunia Ketiga tanpa harus menghapuskan kedaulatan negara Dunia Ketiga.

Tentang imperialisme, kaum Marxis Klasik melihatnya dari sudut pandang negara maju yang melakukannya sebagai bagian dari upaya manifestasi Kapitalisme Dewasa, sedangkan kalangan Neo-Marxis melihatnya dari sudut pandang negara pinggiran yang terkena akibat penjajahan. Dalam dua tahapan revolusi, Marxis Klasik berpendapat bahwa revolusi borjuis harus lebih dahulu dilakukan baru kemudian revolusi proletar. Sedangkan Neo-Marxis berpendapat bahwa kalangan borjuis di negara terbelakang pada dasarnya adalah alat atau kepanjangan tangan dari imperialis di negara maju. Sehingga, revolusi yang mereka lakukan tidak akan membawa perubahan di negara pinggiran, terlebih lagi, revolusi tersebut tidak akan mampu membebaskan kalangan proletar di negara berkembang dari eksploitasi kekuatan alat-alat produksi kelompok borjuis di negara tersebut dan kaum borjuis di negara maju.

Tokoh utama dari teori Dependensi adalah Theotonio Dos Santos dan Andre Gunder Frank. Theotonio Dos Santos sendiri mendefinisikan bahwa ketergantungan adalah hubungan relasional yang tidak imbang antara negara maju dan negara miskin dalam pembangunan di kedua kelompok negara tersebut. Dia menjelaskan, kemajuan negara Dunia Ketiga hanyalah akibat dari ekspansi ekonomi negara maju dengan kapitalismenya. Jika terjadi sesuatu negatif di negara maju, maka negara berkembang akan mendapat dampak negatifnya pula. Sedangkan jika hal negatif terjadi di negara berkembang, maka belum tentu negara maju akan menerima dampak tersebut. Sebuah hubungan yang tidak imbang. Artinya, positif-negatif dampak berkembang pembangunan di negara maju akan dapat membawa dampak pada negara.

Dalam perkembangannya, teori Dependensi terbagi dua, yaitu Dependensi Klasik, yang diwakili oleh Andre Gunder Frank dan Theotonio Dos Santos, kemudian Dependensi Baru, yang diwakili oleh F.H. Cardoso. Teori Ketergantungan yang dikembangkan pada akhir 1950-an, di bawah bimbingan Direktur Komisi Ekonomi PBB untuk Amerika Latin, Raul Prebisch. Prebisch dan rekan-rekannya dipicu oleh kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi di negara-negara industri maju tidak harus menyebabkan pertumbuhan di negara-negara miskin. Memang, studi mereka menyarankan bahwa kegiatan ekonomi di negara-negara kaya sering menyebabkan masalah ekonomi yang serius di negara-negara miskin. Kemungkinan seperti itu tidak diprediksi oleh teori neo-klasik; yang diasumsikan bahwa pertumbuhan ekonomi bermanfaat bagi semua, bahkan jika tidak bermanfaat tidak selalu ditanggung bersama. Penjelasan awal Prebisch untuk fenomena ini sangat jelas; di mana negara-negara miskin mengekspor komoditas primer ke negara-negara kaya, kemudian diproduksi produk dari komoditas tersebut, selanjutnya mereka jual kembali ke negara-negara miskin.

Tiga masalah membuat kebijakan ini sulit untuk diikuti. Yang pertama, adalah bahwa pasar internal negara-negara miskin tidak cukup besar untuk mendukung skala ekonomi yang digunakan oleh negara-negara kaya untuk menjaga harga rendah. Isu kedua, menyangkut akan politik negara-negara miskin, apakah transformasi menjadi produsen utama produk itu mungkin atau diinginkan. Isu terakhir, sejauh mana negara-negara miskin sebenarnya memiliki kendali produk utama mereka, khususnya di bidang penjualan produk-produk luar negeri. Hambatan-hambatan dengan kebijakan substitusi impor menyebabkan orang lain berpikir sedikit lebih kreatif dan historis pada hubungan antara negara-negara kaya dan miskin.

Pada titik ini teori ketergantungan itu dipandang sebagai sebuah cara yang mungkin untuk menjelaskan kemiskinan terus-menerus dari negara-negara miskin. Pendekatan neo-klasik tradisional mengatakan hampir tidak ada pada pertanyaan ini, kecuali untuk menegaskan bahwa negara-negara miskin terlambat datang ke praktek-praktek ekonomi yang padat, dan begitu mereka mempelajari teknik-teknik ekonomi modern, maka kemiskinan akan mulai mereda.

Ketergantungan dapat didefinisikan sebagai suatu penjelasan tentang pembangunan ekonomi suatu negara dalam hal pengaruh eksternal-politik, ekonomi dan budaya pada kebijakan pembangunan nasional. Adapun secara spesifik ketergantungan ini dapat dijelaskan ke dalam tiga bagian. Pertama, Raul Prebisch: industri substitusi import. Menurutnya, negara-negara terbelakang harus melakukan industrialisasi yang dimulai dari industri substitusi impor. Kedua, perdebatan tentang imperialisme dan kolonialisme. Hal ini muncul untuk menjawab pertanyaan tentang apa alasan bangsa-bangsa Eropa melakukan ekspansi dan menguasai negara-negara lain secara politis dan ekonomis. Ada tiga teori, yaitu Teori God: Adanya misi menyebarkan agama; Teori Glory: Kehausan akan kekuasaan dan kebesaran; dan, Teori Gospel: Motivasi demi keuntungan ekonomi. Ketiga, Paul Baran: Sentuhan Yang Mematikan dan Kretinisme. Baginya, perkembangan kapitalisme di negara-negara pinggiran beda dengan kapitalisme di negara-negara pusat. Di negara pinggiran, sistem kapitalisme seperti terkena penyakit kretinisme yang membuat orang tetap kerdil.

Ada dua tokoh yang membahas dan menjabarkan pemikirannya sebagai kelanjutan dari tokoh-tokoh di atas, yakni: Pertama, Andre Guner Frank: Pembangunan keterbelakangan. Bagi Frank, keterbelakangan hanya dapat diatasi dengan revolusi, yakni revolusi yang melahirkan sistem sosialis. Kedua, Theotonia De Santos: Membantah Frank. Menurutnya, ada tiga bentuk ketergantungan, yakni: (a) Ketergantungan Kolonial: hubungan antar penjajah dan penduduk setempat bersifat eksploitatif. (b) Ketergantungan Finansial-Industri: pengendalian dilakukan melalui kekuasaan ekonomi dalam bentuk kekuasaan finansial-industri. (c) Ketergantungan Teknologis-Industrial: penguasaan terhadap surplus industri dilakukan melalui monopoli teknologi industri.

 

Pembangunan, Modernisasi dan Permasalahannya[14]

Teori pembangunan dikembangkan sebagai upaya untuk mencegah gerakan-gerakan yang menentang kapitalisme (anti kapitalisme), dan juga sebagai strategi baru untuk mengganti tatanan sosial kolonialisme yang mulai runtuh. Wacana tentang pembangunan itu sendiri muncul pada tahun 1949 saat Presiden Harry S. Truman mengumumkan kebijakan pemerintahannya dan kemudian menjadi doktrin kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Pembangunan atau yang lebih dikenal dengan developmentalism sesungguhnya dilontarkan dalam rangka membendung sosialisme sehingga merupakan bungkus baru dari kapitalisme.

Wacana tentang pembangunan pun mendapat dukungan dari para akademisi dengan jalan menyumbangkan pikiran-pikiran mereka dalam wujud teori-teori tentang development dan modernisasi. Teori-teori tersebut diantaranya dari W.W. Rostow (1960), yang melihat bahwa pembangunan sebagai proses evolusi dari masyarakat yang tradisional ke modern melalui lima tahapan atau five-stage scheme. Lima tahap ini menurut Rostow dimulai dari tahap masyarakat tradisional, kemudian pra-kondisi tinggal landas, diikuti dengan tahapan tinggal landas, kemudian mencapai tahap kematangan pertumbuhan, hingga berakhir pada tahap masyarakat konsumsi tinggi. Berdasarkan pada kerangka tahapan-tahapan tersebut, maka Rostow menyatakan pentingnya untuk negara-negara Dunia Ketiga melakukan pembangunan sebagai upaya mencapai tahap akhir dari pertumbuhan ekonomi.

Pembangunan pada dasarnya merupakan proses yang secara otomatis melalui akumulasi modal (tabungan dan investasi). Namun upaya ini tentu mengalami kendala, yaitu ketersediaan dana investasi yang produktif di negara Dunia Ketiga tersebut. Sebuah alternatif untuk menanggulangi hal ini adalah dengan penyediaan bantuan asing berupa modal, teknologi, dan skil atau tenaga ahli bagi negara Dunia Ketiga. Pemerintah Amerika Serikat menilai bahwa memberi bantuan adalah jalan terbaik dalam membantu negara Dunia Ketiga dalam menjalankan pembangunan untuk mencapai masyarakat yang modern. Maka, Amerika Serikat memberikan dana yang besar jumlahnya untuk mendukung negara Dunia Ketiga membangun infrastuktur dan industri, bahkan mereka juga mengirimkan ribuan tenaga ahlinya. Semua itu dilakukan dalam rangka membantu negara Dunia Ketiga mencapai tahap tinggal landas.

Teori dan konsep tentang pembangunan dan modernisasi yang ditawarkan kemudian banyak diadopsi oleh negara-negara Dunia Ketiga, seperti negara-negara di Amerika Latin dan Asia Tenggara; termasuk Indonesia. Asumsinya adalah bahwa negara-negara tersebut akan mampu menuju tahap seperti negara-negara Dunia Pertama yang telah jauh lebih maju dan mencapai tahap tinggal landas hingga pada tahap masyarakat konsumsi tinggi.

Bagaimana pun, asumsi ini dibangun dengan paradigma evolusi yang menganggap bahwa perkembangan atau perubahan masyarakat seperti garis lurus atau bersifat linear dan melalui rentang waktu yang panjang. Efek yang tidak dapat dihindari dari paradigma ini adalah adanya pandangan bahwa bentuk negara maju merupakan bentuk yang baik dan sempurna serta ‘beradab’. Hal ini menjadi cita-cita yang ingin diwujudkan bagi negara-negara Dunia Ketiga; di samping karena pengaruh dari ahli-ahli ekonomi dari Barat yang melakukan pendekatan dan menawarkan ‘resep’ kepada para penguasa negara Dunia Ketiga tersebut. Namun ternyata yang terjadi, setelah proses pembangunan dan modernisasi tersebut dilaksanakan di negara-negara Dunia Ketiga, tidak sesuai harapan dan keinginan pihak-pihak yang menghendaki masyarakatnya Dunia Ketiga maju seperti negara-negara Dunia Pertama. Ibarat seorang dokter yang salah memberikan resep kepada pasiennya, maka para pakar-pakar pembangunan gagal membuktikan teori pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, justru negara-negara Dunia Ketiga mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran seperti yang terjadi pada negara-negara di Amerika Latin. Kondisi ini menyebabkan munculnya teori-teori ketergantungan yang merupakan reaksi atas kegagalan developmentalism di negara-negara Amerika Latin. Trickle down effect atau teori penetesan ke bawah yaitu keuntungan negara-negara pemilik modal (Dunia Pertama) atau metropolis akan diteteskan kepada negara-negara tempat investasi asing (Dunia Ketiga) atau satelit ternyata tidak terjadi. Justru, keuntungan tersebut hanya menambah akumulasi modal yang ada di negara-negara metropolis, sementara negara satelit tetap saja terbelakang dan tergantung pada negara metropolis.

Pada kasus Meksiko terjadi hal yang sangat tragis, yaitu bagaimana Chiapas yang merupakan wilayah kaya potensi alam tetapi ternyata wilayah tersebut merupakan bagian yang termiskin di Meksiko, dan yang lebih mencengangkan adalah ketika pembangunan yang terjadi telah mengubah struktur dan kehidupan masyarakat secara revolusioner dan bahkan radikal. Artinya, kenyataan yang ada sangat kontradiktif dengan teori pertumbuhan ekonomi masyarakat yang berlandaskan kerangka evolusionis, yaitu perubahan masyarakat terjadi secara perlahan.

Bagaimana pun pembangunan, termasuk juga di dalamnya modernisasi, adalah proses transformasi masyarakat di segala aspek kehidupan. Contohnya seperti yang terjadi pada negara Meksiko yang diharuskan mengubah sistem kepemilikan tanahnya agar lebih kondusif bagi pasar (investasi asing). Presiden Salinas pun secara sewenang-wenang mengamandemen pasal 27 UUD 1917 yang menjamin kepemilikan tanah komunal. Dampaknya adalah masyarakat adat dapat dengan mudah digusur karena tanah mereka dapat diperjualbelikan. Implikasi selanjutnya adalah mereka secara tiba-tiba diharuskan memasuki dunia yang serba materialis dan sistem modern yang sama sekali berbeda dengan mereka.

Hal yang sama terjadi dengan masyarakat suku terasing di Papua (Indonesia) seperti suku Amungme, Kamoro, Dani, dan sebagainya. Dengan kehidupan mereka yang masih tergolong dalam stone age mereka dipaksa menerima kehidupan yang serba canggih dan modern karena hadirnya PT. Freeport Indonesia di tengah wilayah adat mereka. Secara otomatis para anggota komunitas-komunitas tersebut mengalami kondisi yang disebut sebagai shock culture.

 

Konklusi

Pada perkembangannya, teori pembangunan berkembang dengan beragam pendekatan yang memberikan kritik satu dengan yang lain. Oleh para ahli, keberagaman pendekatan ini diberi label teori pembangunan modernisasi, teori pembangunan struktural, Poststruktural, Postdevelopmen, poskolonial, dan sebagainya. Beragamnya teori tersebut tidak dapat diperdebatkan mana yang benar dan mana yang salah; karena persoalan yang dihadapi setiap negara berlainan. Bagi negara-negara dunia ketiga, persoalannya adalah bagaimana bertahan hidup atau bagaimana meletakkan dasar-dasar ekonominya supaya mereka bisa bersaing di pasar internasional. Sedangkan bagi negara-negara adikuasa adalah bagaimana melakukan ekspansi lebih lanjut bagi kehidupan ekonominya yang sudah mapan. Pendekatan yang dipilih pada akhirnya bergantung pada pengaruh negara-negara maju melalui bantuan-bantuan maupun tekanan geopolitik.

Negara berkembang pada akhirnya tetap sulit maju dengan menggunakan teori yang dipilihkan oleh negara mitranya; karena itulah sebetulnya yang diinginkan negara maju untuk dapat menjaga eksistensi dan perluasan pasarnya. Negara berkembang sebaiknya berani untuk memilih pendekatan teori pembangunan yang sesuai dengan karekteristik dan tingkat penguasaan teknologi negaranya. Namun, keberanian tersebut seringkali mendapat tekanan yang hebat; seperti pada kasus Iran dan negara-negara Amerika Latin. Untuk itu, dalam mensiasati tekanan tersebut, pendekatan yang dipilih tidak dapat berdiri sendiri melainkan dapat disintesiskan, sehingga mengahasilkan pendekatan yang tepat bagi negara berkembang.

 

Daftar Pustaka

Budiman, Arief. (1995). Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Digdowiseiso, Kumba. (2019). Teori Pembangunan. Jakarta: Lembaga Penerbitan Universitas Nasional.

Fakih, Mansour. (2013). Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press Bekerja sama dengan Pustaka Pelajar.

Sugiono, Muhadi. (2006). Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kristeva, Nur Sayyid Santoso. (2019). Manifesto Wacana Kiri; Membentuk Solidaritas Organik, Agitasi dan Propaganda Wacana Kiri untuk Kader Inti Ideologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



[1] Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. ix.

[2] Muhadi Sugiono, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. xi.

[3] Arief Budiman, Op. Cit., hlm. 13-14.

[4] Kumba Digdowiseiso, Teori Pembangunan, (Jakarta: Lembaga Penerbitan Universitas Nasional, 2019), hlm. 1.

[5] Arief Budiman, Op. Cit., hlm. x.

[6] Ibid., hlm. 18-35.

[7] Teori evolusi (teori organik) adalah warisan pengaruh zaman pencerahan, khususnya yang menonjol pada zaman itu dan yang berdampak terhadap pemikiran manusia tentang perubahan sosial. Ada enam asumsi perubahan dalam teori ini, yakni perubahan itu dilihat sebagai natural, dereksional, imanent, kontinyu, suatu keharusan, dan berjalan melalui sebab yang sama. Lihat: Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Insist Press Bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 47-48.

[8] Perang dingin merupakan bentuk peperangan ideologi dan teori antara kapitalisme dan sosialisme. Sementara itu, gerakan sosialisme Rusia mulai mengembangkan pengaruhnya di Eropa Timur hingga di negara-negara yang baru merdeka. Dengan demikian, dalam konteks perang dingin tersebut, teori modernisasi terlibat dalam peperangan ideologi. Lihat: Ibid., hlm. 53.

[9] Kumba Digdowiseiso, Op. Cit., hlm. 19.

[10] Ibid., hlm. 21-22.

[11] Lihat: Mansour Fakih, Op. Cit., hlm. 48. Lihat juga: Kumba Digdowiseiso, Op. Cit., hlm. 19.

[12] Kumba Digdowiseiso, Op. Cit., hlm. 20-21.

[13] Teori Dependensi kali pertama muncul di Amerika Latin. Pada awal kelahirannya, teori ini lebih merupakan jawaban atas kegagalan program yang dijalankan oleh ECLA (United Nation Economic Commission for Latin Amerika) pada masa awal tahun 1960-an. Lembaga tersebut dibentuk dengan tujuan untuk mampu menggerakkan perekonomian di negara-negara Amerika Latin dengan membawa percontohan teori Modernisasi yang telah terbukti berhasil di Eropa. Teori Dependensi juga lahir atas respon ilmiah terhadap pendapat kaum Marxis Klasik tentang pembangunan yang dijalankan di negara maju dan berkembang. Aliran neo-marxisme yang kemudian menopang keberadaan teori Dependensi ini.

[14] Diambil dari: Nur Sayyid Santoso Kristeva, Manifesto Wacana Kiri; Membentuk Solidaritas Organik, Agitasi dan Propaganda Wacana Kiri untuk Kader Inti Ideologis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019), hlm. 495-497.

Previous Post
Next Post

Penulis yang mengabdikan tulisannya bagi amal jariyah pemikiran. Tokoh favorit sekaligus panutannya adalah Gus Dur

0 comments: