Prawacana
Istilah Dunia Ketiga dinilai sebagai negara yang
ketinggalan jaman. Pasalnya, negara Dunia Ketiga lebih diartikan sebagai negara-negara
yang terpinggirkan secara ekonomi, miskin, atau negara-negara yang sedang
berkembang dengan tanpa melihat ideologinya. Negara Dunia Ketiga adalah negara-negara
yang tidak masuk ke salah satu blok antara Dunia Pertama (blok kapitalis) dan
Dunia Kedua (blok sosialis) pasca Perang Dingin.
Memaknai teori-teori pembangunan Dunia
Ketiga adalah sebuah teori-teori pembangunan yang berusaha menyelesaikan
masalah yang dihadapi negara-negara miskin atau sedang berkembang dalam sebuah
dunia yang didominasi oleh kekuatan ekonomi, ilmu pengetahuan dan militer
negara-negara adikuasa atau negara industri maju.[1]
Tentunya, kompleksitas masalah yang dihadapai antara negara miskin dengan negara
adikuasa sangatlah berbeda. Persoalan bagi negara adikuasa adalah bagaimana agar
mereka bisa melakukan ekspansi ke negara-negara dunia, karena memang kehidupan
ekonominya telah mapan. Sebaliknya, persoalan bagaimana bisa bertahan hidup
atau bagaimana meletakkan dasar-dasar ekonominya supaya bisa bersaing di pasar
internasional menjadi permasalahan rumit bagi negara-negara Dunia Ketiga,
seperti Indonesia.
Langkah konkret negara berkembang
untuk mengejar ketertinggalan negara industri maju salah satunya melalui
kebijakan negara. Kebijakan pembangunan ekonomi negara-negara berkembang telah
berubah secara drastis sejak tahun 1980-an. Hampir semua negara berkembang ini
menggeser kebijakan-kebijakan ekonominya ke arah liberalisasi yang lebih besar,
dan kepercayaan yang lebih besar pada mekanisme pasar melalui serangkaian
reformasi ekonomi yang berorientasi pasar. Nyaris di segala penjuru dunia, negara-negara
berkembang ini mulai mengadopsi kebijakan yang dimaksudkan untuk
merestrukturisasi watak peran negara dalam perekonomian untuk meliberalisasi
perdagangan domestik dan regulasi investasi kemudian menswastakan perusahaan-perusahaan
milik negara untuk mengejar pertumbuhan ekonomi.[2]
Masifnya pembangunan di Indonesia
seperti infrastruktur, baik gedung pencakar langit maupun jalan tol di berbagai
wilayah atau propinsi, disinyalir bahwa negara kita ini memaknai kata “pembangunan”
sebagai kata kunci bagi segala hal. Namun secara umum, kata ini diartikan juga sebagai
usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat atau warganya. Seringkali, kemajuan
dimaksud terutama pada kemajuan material. Karenanya, pembangunan lebih
diartikan dalam kerangka kemajuan yang dicapai oleh masyarakat di bidang
ekonomi.
Atas nama pembangunan, pemerintah juga
sering memberangus kritik yang muncul dari masyarakat. Bagi pemerintah yang
berkuasa, kritik dinilainya akan mengganggu stabilitas politik. Dengan jargon
ini pula kemudian dijadikan alat atau sarana penting negara untuk memungkinkan
pelaksanaan pembangunan. Ini artinya, pembangunan bagi negara dipakai sebagai
ideologi politik yang memberikan keabsahan pemerintah untuk membatasi
masyarakat yang mengkritiknya.
Pembangunan mula-mula dipakai dalam
arti pertumbuhan ekonomi. Masyarakat dinilai berhasil melaksanakan pembangunan
jika pertumbuhan ekonomi mereka cukup tinggi. Dengan demikian, yang diukur
adalah produktivitas masyarakat atau produktivitas negara tersebut setiap
tahunnya, atau dalam bahasa teknis ekonominya bahwa produktivitas ekonomi
sebuah negara diukur oleh Produk Nasional Bruto (PNB atau Gross National Product, GNP), dan Produk Domestik Bruto
(PDB atau Gross Domestic Product, GDP).[3]
Padahal, sebuah negara yang tinggi
produktivitasnya dan merata pendapatan penduduknya bisa saja negara itu berada
dalam sebuah proses untuk menjadi semakin miskin, sebab pembangunan yang
menghasilkan produktivitas yang tinggi itu tidak mempedulikan dampak terhadap
lingkungannya. Akibatnya, lingkungannya semakin rusak, sumber-sumber alamnya
semakin terkuras, sementara kecepatan bagi alam untuk melakukan rehabilitasi
lebih lembat daripada kecepatan perusakan sumber alam tersebut.
Konsep pembangunan yang sudah
diperluas dan melibatkan aspek lingkungan, pada dasarnya masih bersifat
materialistis. Sebab yang dipersoalkan hanya terbatas pada persoalan materi
yang mau dihasilkan dan yang mau dibagi. Hal ini disebabkan karena teori
pembangunan masih sangat didominasi oleh para ahli ekonomi. Padahal,
pembangunan itu meliputi dua unsur pokok, yakni masalah materi yang mau
dihasilkan dan dibagi, serta masalah manusia yang menjadi pengambil inisiatif yang
menjadi manusia pembangun.
Teori Pembangunan
Pengertian
“pembangunan” mungkin menjadi hal yang paling menarik untuk diperdebatkan.
Mungkin saja tidak ada satu disiplin ilmu yang paling tepat mengartikan kata pembangunan.
Sejauh ini, serangkaian pemikiran tentang pembangunan telah berkembang, mulai
dari perspektif sosiologi klasik (Durkheim, Weber, dan Marx), pandangan Marxis,
modernisasi oleh Rostow, strukturalisme bersama modernisasi, memperkaya ulasan pendahuluan
pembangunan sosial hingga pembangunan berkelanjutan. Namun, ada tema-tema pokok
yang menjadi pesan di dalamnya. Dalam hal ini, pembangunan dapat diartikan
sebagai suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih
banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk memenuhi dan mencapai
aspirasinya yang paling manusiawi.
Pada awal pemikiran tentang pembangunan
sering ditemukan adanya pemikiran yang mengidentikkan pembangunan dengan
perkembangan, pembangunan dengan modernisasi dan industrialisasi, bahkan
pembangunan dengan westernisasi. Seluruh pemikiran tersebut didasarkan pada
aspek perubahan, di mana pembangunan, perkembangan, modernisasi, dan
industrialisasi secara keseluruhan mengandung unsur perubahan. Meski demikian,
keempat hal tersebut mempunyai perbedaan yang cukup prinsipil, sebab
masing-masing mempunyai latar belakang, asas, dan hakikat yang berbeda, serta
prinsip kontinuitas yang berbeda pula; meskipun semuanya merupakan bentuk yang
merefleksikan perubahan.
Menurut beberapa pakar, teori-teori
pembangunan dapat dikelompokkan ke dalam dua paradigma, yaitu paradigma modernisasi
dan ketergantungan. Di dalam paradigma modernisasi, termasuk teori-teori makro
tentang pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial serta mikro tentang
nilai-nilai individu, yang menunjang proses perubahan tersebut. Sementara
paradigma ketergantungan mancakup teori-teori keterbelakangan (underdevelopment),
ketergantungan (dependent development), dan sistem dunia (world system
theory) sesuai dengan klasifikasi Larrain.[4]
Bereda dengan klasifikasi di atas, teori
pembangunan dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, teori modernisasi, sebagai sebuah teori yang menekankan
faktor-faktor manusia dan nilai-nilai budayanya sebagai pokok persoalan dalam
pembangunan. Teori ini dianut baik di kalangan ahli ilmu sosial (termasuk ahli
ilmu ekonomi) maupun oleh para pejabat tinggi negara. Kedua, teori ketergantungan, sebagai sebuah teori yang merupakan
reaksi terhadap teori modernisasi yang dianggap tidak mencukupi dan bahkan
menyesatkan. Teori ini tumbuh di kalangan para ahli ilmu sosial di Amerika
Latin, pengaruhnya kemudian meluas ke Amerika Serikat dan Eropa hingga Asia.
Teori ini dipengaruhi oleh metode analisis Marxis yang pengaruhnya kemudian
menurun dengan munculnya kelompok teori lain. Ketiga, kelompok teori-teori yang merupakan reaksi terhadap teori
ketergantungan. Teori ini belum memiliki makna sendiri sebagai satu kelompok,
karena itu sering disebut sebagai teori pasca ketergantungan (seperti teori
sistem dunia, teori artikulasi, dan sebagainya). Pada dasarnya, teori ini
menolak teori ketergantungan yang dianggap terlalu menyederhanakan persoalan,
padahal dalam kenyataannya, gejala pembangunan di negara-negara dunia ketiga
jauh lebih kompleks. Akibatnya, teori ketergantungan gagal menjelaskan beberapa
gejala pembangunan di dunia ketiga, terutama negara-negara yang berhasil
memperkuat dirinya dalam kapitalisme global. Teori pasca ketergantungan inilah
yang sesungguhnya ingin berusaha menyempurnakan apa yang kurang pada teori
ketergantungan.[5]
Teori-Teori Pembangunan: Sebuah Analisis
Komparatif
Ada
suatu masa pada abad yang lalu, di mana teori pembagian kerja secara
internasioal merupakan teori yang dianut. Para ahli ekonomi, termasuk mereka
yang punya posisi penting dalam menentukan kebijakan perdagangan luar negeri
sebuah negara, mengikuti teori ini. Toeri ini menyatakan bahwa setiap negara
harus melakukan spesialisasi produksi sesuai dengan keuntungan komparatif yang
dimilikinya. Negara-negara di katulistiwa yang tanahnya subur, lebih baik
melakukan spesialisasi di bidang produksi pertanian. Sedangkan negara-negara di
bagian bumi sebelah utara yang iklimnya tidak cocok pertanian, sebaiknya
melakukan kegiatan produksi di bidang industri; mereka harus mengembangkan
teknologi untuk menciptakan keunggulan komparatif bagi negerinya.
Karena adanya spesialisasi ini,
terjadilah perdagangan internasioal yang saling menguntungkan kedua belah
pihak. Negara-negara pertanian dapat membeli barang-barang industri secara
murah, pun juga sebaliknya yang mana negara industri membeli hasil panen dengan
harga murah. Intinya, teori ini beranggapan bahwa pembangunan yang meleburkan
diri ke dalam kegiatan ekonomi dunia, karena pada dasarnya negara-negara yang
ada saling tergantung, akan lebih menguntungkan apabila negara-negara saling
mengisi kelemahan.
Teori pembangunan kerja internasional
yang didasarkan pada teori keuntungan komparatif yang dimiliki oleh setiap negara
mengakibatkan terjadinya spesialisasi prosuksi pada tiap-tiap negara sesuai
dengan keuntungan komparatif yang mereka miliki. Karenanya secara umum, di
dunia ini terdapat dua kelompok negara, yaitu negara yang memproduksi hasil
pertanian, dan negara yang memproduksi barang industri.
Tetapi setelah beberapa puluh tahun
kemudian tampak bahwa negara-negara industri menjadi semakin kaya, sebaliknya justru
negara pertanian semakin miskin dan tertinggal. Neraca perdagangan antara kedua
jenis negara ini selalu menguntungkan negara-negara yang mengkhususkan diri
pada produksi barang industri.
Terhadap kenyataan tersebut, secara umum
terdapat dua kelompok teori. Pertama,
teori-teori yang menyatakan bahwa kemiskinan itu disebabkan oleh faktor-faktor
internal atau faktor yang terdapat di dalam negara bersangkutan, atau yang
dikenal dengan teori modernisasi. Sedangkan teori yang mempermasalahkan faktor
eksternal sebagai penyebab kemiskinan disebut dengan teori struktural.
Beberapa teori yang tergolong ke dalam
kelompok modernisasi dan dianggap mewakili satu kelompok pikiran tertentu. Di antaranya
yaitu:[6]
Teori Harrod-Doman:
Tabungan dan Investasi
Teori Evsey Domar dan Roy Harrod ini, walaupun berkerja
secara terpisah, mencapai kesimpulan yang sama, yakni bahwa pertubuhan ekonomi
ditentukan oleh tingginya hubungan dan investasi. Jikalau tabungan dan
investasi rendah, maka pertumbuhan ekonomi masyarakat atau negara akan rendah. Hubungan
antara pertumbuhan ekonomi (tabungan-investasi) dirumuskan Harrod-Doman yang
sangat terkenal di kalangan ahli ekonomi pembangunan, di mana masalah pembangunan
pada dasarnya merupakan masalah menambahkan investasi modal. Masalah
keterbelakangan adalah masalah kekurangan modal. Jika ada modal dan modal itu
diinvestasikan, maka hasilnya adalah pembangunan ekonomi.
Karena itu, berdasarkan pada model
ini, resep para ahli ekonomi pembangunan di negara-negara dunia ketiga, untuk
memecahkan persoalan keterbelakangan adalah dengan mencari tambahan modal, baik
dari dalam negeri (dengan menguasahakan peningkatan tabungan dalam negeri) maupun
luar negeri (melalui penanaman modal atau utang luar negeri).
Max Weber: Etika
Protestan
Teori Weber mempersoalkan masalah manusia yang dibentuk
oleh nilai-nilai budaya sekitarnya, khususnya nilai-nilai agama. Salah satu topik
penting bagi masalah pembangunan yang dibahas Weber adalah tentang peran agama
sebagai faktor yang menyebabkan munculnya kapitalisme di Eropa Barat dan
Amerika Serikat (tahun 1904-1905). Dalam bukunya yang judul The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism, Weber mencoba menjawab pertanyaan mengapa beberapa negara Eropa
dan Amerika mengalami kemajuan ekonomi yang pesat di bawah sistem kapitalisme.
Setelah melakukan analisis, Weber mencapai kesimpulan bahwa salah satu penyeban
utamanya adalah apa yang disebutnya sebagai Etika
Protestan.
Etika protestan lahir di Eropa melalui
agama Protestan yang dikembangkan Calvin. Ajaran pokoknya mengatakan bahwa
seseorang itu sudah ditakdirkan sebelumnya untuk masuk surga atau neraka.
Tetapi orang bersangkutan tidak mengetahuinya, sehingga menjadikan dirinya
tidak tenang dan cemas, karena ketidakjelasan nasibnya. Cara untuk mengetahui
apakah mereka akan masuk surga atau neraka adalah keberhasilan kerjanya di
dunia sekarang ini. Jika kerja di dunia berhasil, maka akan masuk surga setelah
ia mati, dan sebaliknya.
Dengan adanya kepercayaan ajaran
tersebut, orang-orang bekerja keras untuk meraih sukses dan tanpa pamrih.
Artinya, manusia bekerja itu bukan untuk mencari kekayaan material, melainkan
untuk mengatasi kecemasannya. Inilah yang disebut Etika Protestan menurut Weber,
yakni cara kerja yang keras dan sungguh-sungguh serta lepas dari imbalan
materialnya. Intinya bahwa orang menjadi kaya karena keberhasilannya, tetapi
ini produk sampingan yang tidak disengaja. Sebab, mereka berkerja bukan untuk
megumpulkan harta, melainkan pengabdian bagi agama.
Studi Weber ini merupakan salah satu
studi pertama yang meneliti hubungan antara agama dan pertumbuhan ekonomi. Jika
agama kita perluas menjadi kebudayaan, studi Weber ini menjadi perangsang utama
bagi munculnya studi tentang aspek kebudayaan terhadap pembangunan.
David McClelland: Dorongan Berprestasi
atau n-Ach
Menurut McClelland, untuk membuat perkerjaan berhasil
adalah sikapnya terhadap pekerjaan tersebut. Persoalan penting menjadi: Apakah
seseorang memiliki semangat baru yang sempurna dalam menghadapi pekerjaan?
Apakah dia memiliki keinginan untuk berhasil? Dari sini, McClelland tiba pada
konsepnya, yaitu the need for Achievement,
kebutuhan atau dorongan untuk berprestasi. Konsep ini disingkat dengan sebuah simbol
yang sangat terkenal, yakni n-Ach.
Selanjutnya, McClelland mengatakan bahwa jika dalam sebuah masyarakat ada
banyak orang yang memiliki n-Ach yang
tinggi, dapat diharapkan masyarakat akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang
tinggi.
W.W. Rostow:
Lima Tahap Pembangunan
Sebagai
seorang ahli ekonomi, dalam bukunya yang berjudul The Stages of Economic Growth, A Non-Communist Manifesto (1960), Rostow
menguraikan teorinya tentang proses pembangunan dalam sebuah masyarakat. Bagi
Rostow, pembangunan merupakan proses yang bergerak dalam sebuah garis lurus,
yakni dari masyarakat yang terbelakang menuju masyarakat yang maju. Kemudian ia
membaginya mejadi lima tahapan, yakni masyarakat tradisional, prakondisi untuk
lepas landas, lepas landas, bergerak ke kedewasaan, dan jaman konsumsi masal
yang tinggi.
Bert F. Hoselitz:
Faktor-Faktor Non-ekonomi
Dalam
karyanya yang terkenal dengan judul Economic
Growth and Development: Noneconomic Factors in Economic Development,
menjelaskan bahwa faktor non-ekonomi ini disebut Hoselitz sebagai faktor
kondisi lingkungan, yang dianggap penting dalam proses pembangunan. Menurutnya,
masalah utama pembangunan adalah kekurangan modal (teori Harrod-Domar), namun
baginya ada masalah lain yang sangat penting, yaitu adanya ketrampilan kerja,
termasuk wiraswasta yang tangguh. Karenanya, dibutuhkan perubahan kelembagaan pada
masa sebelum lepas landas yang akan mempengaruhi pemasokan modal agar modal ini
bisa menjadi produktif. Perubahan kelembagaan ini akan menghasilkan tenaga
wiraswasta dan administrasi, serta keterampilan teknis atau keilmuan yang
dibutuhkan. Oleh karena itu, pembangunan membutuhkan pemasokan beberapa unsur
di dalamnya, yaitu pemasokan modal besar dan perbankan, serta tenaga ahli yang
terampil.
Alex Inkeles dan
David H. Smith: Manusia Modern
Bagi Inkeles dan Smith, komponen penting penopang
pembangunan adalah faktor manusia. Karena, pembangunan bukan sekadar perkara
pemasokan modal dan teknologi saja, melainkan juga membutuhkan manusia yang
dapat mengembangkan sarana material tersebut supaya menjadi produktif. Untuk
itu, dibutuhkan manusia modern. Dalam bukunya yang berjudul Becoming Modern, ciri manusia modern
meliputi hal-hal seperti keterbukaan terhadap pengalaman dan ide baru,
berorientasi ke masa sekarang dan masa depan, punya kesanggupan merencanakan,
pecaya bahwa manusia bisa menguasai alam, dan bukan sebaliknya. Artinya, dengan
memberikan lingkungan yang tepat, setiap orang bisa diubah menjadi manusia
modern setelah dia mencapai usia dewasa.
Perspektif Teori Modernisasi dan Dependensi
Dalam
perkembangan sejarahnya, terlihat bahwa kapitalisme lahir lebih kurang tiga
abad sebelum teori-teori pembangunan muncul, sehingga berbagai perdebatan
terhadap teori maupun praktek pembangunan sudah berada di dalam alam
kapitalisme. Karenanya, tidak mengherankan jika kapitalisme sangat mewarnai
teori-teori pembangunan.
Sejarah lahirnya teori modernisasi
adalah pada tahun 1950-an di Amerika Serikat, dan merupakan respons para kaum
intelektual atas Perang Dunia, yang bagi penganut evolusi,[7]
dianggap sebagai jalan optimis menuju perubahan. Sebenarnya, teori modernisasi
ini lahir dalam suasan ketika dunia memasuki perang dingin[8]
antara negara-negara komunis di bawah pimpinan negara Sosialis Uni Sovyet Rusia
dengan negara kapitalis yang dipimpin oleh Amerika Serikat.
Motivasi teori modernisasi adalah untuk
merubah cara produksi masyarakat berkembang sesungguhnya adalah usaha merubah
cara produksi pra-kapitalis ke kapitalis; sebagaimana negara-negara maju sudah
menerapkannya untuk ditiru. Selanjutnya, dalam teori dependensi yang bertolak
dari analisa Marxis, dapat dikatakan hanyalah mengangkat kritik terhadap
kapitalisme dari skala pabrik (majikan dan buruh) ke tingkat antar negara (sentral
dan pinggiran) dengan analisis utama yang sama, yaitu eksploitasi. Demikian
halnya dengan teori sistem dunia yang didasari teori dependensi, menganalisis
persoalan kapitalisme dengan satuan analisis dunia sebagai hanya satu sistem,
yaitu sistem ekonomi kapitalis.
Tokoh-tokoh di Amerika Serikat
berpendapat bahwa lahirnya teori modernisasi dilatarbelakangi oleh adanya tiga
peristiwa penting di dunia setelah usai masa Perang Dunia II, yakni munculnya
Amerika Serikat sebagai kekuatan dominan di dunia (Pemimpin Dunia), terjadinya
perluasan gerakan komunis, dan lahirnya negara-negara merdeka baru.[9]
Ada beberapa pemikiran klasik teori
modernisasi yang telah dikemukakan oleh para ahli, Pertama, Smelsen, tentang diferensiensi structural, bahwa teori
modernisasi akan selalu melibatkan diferensiensi struktural. Kedua, Rostow, mengatakan bahwa pembangunan
ekonomi ada lima tahapan; dan yang dianggap sebagai tahapan paling kritis
adalah tahap tinggal landas. Ketiga,
Coleman, tentang pembangunan politik yang ber-keadilan, bahwa ketiga teori
pembangunan mirip dengan pendekatan sosiologis. Keempat, Asumsi, tentang teoretis dan metodologi bahwa teori
modernisasi juga memberikan rumusan kebijaksanaan pembangunan. Kelima, Implikasi, tentang kebijaksanaan
pembangunan, bahwa teori modernisasi mampu menawarkan berbagai implikasi
kebijaksanaan pembangunan.[10]
Teori modernisasi banyak menerima
warisan dari teori evolusi dan teori struktur fungsionalisme. Teori evolusi
mampu membantu proses masa peralihan dari masyarakat tradisional menuju
masyarakat modern di negara-negara Eropa Barat. Sedangkan pendukung dari teori
modernisasi banyak dididik dalam alam pemikiran teori struktur fungsionalisme.
Teori tersebut membuktikan bahwa keduanya merupakan warisan pemikiran dari para
ahli sebelumnya.
Teori Evolusi
Teori evolusi
lahir pada awal abad ke-19, setelah revolusi industri dan revolusi Perancis.
Teori ini yang dapat menghapuskan tatanan lama dan membentuk acuan dasar baru dengan
menerapkan teknologi baru, dan ilmu pengetahuan untuk menciptakan tata cara
baru dengan menghasilkan produksi yang lebih efisien. Terdapat enam asumsi
perubahan dalam teori ini, yakni perubahan itu dilihat sebagai natural,
dereksional, imanent, kontinyu, suatu keharusan, dan berjalan melalui sebab
yang sama.[11]
Teori Struktur Fungsionalisme
Pemikiran seorang ahli biologi Talcott Parsons, banyak
memberi pengaruh dengan rumusan teori fungsionalismenya. Parson berpikir bahwa
manusia tak ubahnya seperti organ tubuh yang dapat dipelajari. Karena bagian tubuh manusia
saling berhubungan satu dengan yang lain, serta setiap bagian tubuh manusia
mempunyai fungsi yang jelas dan khas (spesifik). Dari perumpamaan ini
menggambarkan dengan sebuah bentuk kelembagaan dalam masyarakat yang harus
mampu melaksanakan tugas tertentu untuk stabilitas dan partumbuhan masyarakat
bersangkutan.
Agar kelembagaan masyarakat tidak
mati, kemudian Parsons menggambarkan empat macam tugas utama. Pertama, Adaptation to the environment, fungsi lembaga ekonomi adalah adaptasi terhadap lingkungan; Kedua, Goal attainment, fungsi
pemerintahan adalah pencapaian tujuan; Ketiga, Integration, fungsi
lembaga hukum dan agama adalah menjalankan integrasi, penggabungan atau
penyatuan; dan,
Keempat, Latency, fungsi
keluarga dan lembaga pendidikan adalah usaha pemeliharaan. Sedangkan, penjelasan mengenai tugas utama,
menurut Parsons, dapat dijelaskan ke dalam empat fungsi pokok, yaitu fungsi
lembaga ekonomi adalah adaptasi lingkungan; fungsi pemerintahan adalah mencapai
tujuan; fungsi lembaga hukum dan agama adalah menjalankan integrase; dan fungsi
keluarga dan lembaga pendidikan adalah usaha pemeliharaan.[12]
Intinya, Konsep
teori yang diajukan oleh Parsons adalah keseimbangan dinamis stasioner (Homeostatic
Aquilibrium). Artinya, jika bagian tubuh manusia berubah maka bagian lain
akan mengikutinya. Teori struktur fungsionalisme Parsons sering disebut
konservatif, dalam artian menganggap bahwa masyarakat akan selalu berada pada
situasi harmoni, stabil, sembang, dan mapan.
Selanjutnya, teori dependensi
(ketergantungan) lahir karena mengagap ketidakmampuan teori Modernisasi dalam membangkitkan
ekonomi negara-negara terbelakang, terutama negara di bagian Amerika Latin.
Secara teoretik, teori Modernisasi melihat bahwa kemiskinan dan keterbelakangan
yang terjadi di negara Dunia Ketiga terjadi karena faktor internal di negara
tersebut. Karena faktor internal itulah kemudian negara Dunia Ketiga tidak
mampu mencapai kemajuan dan tetap berada dalam keterbelakangan.[13]
Paradigma inilah yang kemudian dibantah oleh teori Dependensi. Teori ini
berpendapat bahwa kemiskinan dan keterbelakangan yang terjadi di negara-negara Dunia
Ketiga bukan disebabkan oleh faktor internal di negara tersebut, melainkan
lebih banyak ditentukan oleh faktor eksternal dari luar negara Dunia Ketiga
itu.
Faktor luar yang paling menentukan
keterbelakangan negara Dunia Ketiga adalah adanya campur tangan dan dominasi
negara maju pada laju pembangunan di negara Dunia Ketiga. Dengan campur tangan
tersebut, maka pembangunan di negara Dunia Ketiga tidak berjalan dan berguna
untuk menghilangkan keterbelakangan yang sedang terjadi, sebaliknya justru membawanya
pada kesengsaraan dan keterbelakangan. Keterbelakangan jilid dua di negara Dunia
Ketiga ini disebabkan oleh ketergantungan yang diciptakan oleh campur tangan negara
maju kepada negara Dunia Ketiga. Jika pembangunan ingin berhasil, maka
ketergantungan ini harus diputus dan biarkan negara Dunia Ketiga untuk melakukan
roda pembangunannya secara mandiri.
Ada
dua hal utama dalam masalah pembangunan yang menjadi karakter kaum Marxis
Klasik. Pertama, negara pinggiran yang pra-kapitalis adalah kelompok
negara yang tidak dinamis dengan cara produksi Asia, tidak feodal dan dinamis
seperti tempat lahirnya kapitalisme, yaitu Eropa. Kedua, negara
pinggiran akan maju ketika telah disentuh oleh negara pusat yang membawa
kapitalisme ke negara pinggiran tersebut. Ibaratnya, negara pinggiran adalah
seorang putri cantik yang sedang tertidur, ia akan bangun dan mengembangkan
potensi kecantikannya setelah disentuh oleh pangeran tampan. Pangeran itulah
yang disebut dengan negara pusat dengan ketampanan yang dimilikinya, yaitu
kapitalisme. Pendapat inilah yang kemudian dibantah oleh teori Dependensi.
Bantahan
teori Dependensi atas pendapat kaum Marxis Klasik ini juga ada dua hal. Pertama,
negara pinggiran yang pra-kapitalis memiliki dinamika tersendiri yang berbeda
dengan dinamika negara kapitalis. Jika tidak mendapat sentuhan dari negara
kapitalis yang telah maju, mereka akan bergerak dengan sendirinya mencapai
kemajuan yang diinginkannya. Kedua, justru karena dominasi, sentuhan, dan
campur tangan negara maju terhadap negara Dunia Ketiga, maka negara pra-kapitalis
menjadi tidak pernah maju karena tergantung pada negara maju tersebut.
Ketergantungan tersebut ada dalam format “neo-kolonialisme” yang diterapkan
oleh negara maju kepada negara Dunia Ketiga tanpa harus menghapuskan kedaulatan
negara Dunia Ketiga.
Tentang
imperialisme, kaum Marxis Klasik melihatnya dari sudut pandang negara maju yang
melakukannya sebagai bagian dari upaya manifestasi Kapitalisme Dewasa,
sedangkan kalangan Neo-Marxis melihatnya dari sudut pandang negara pinggiran
yang terkena akibat penjajahan. Dalam dua tahapan revolusi, Marxis Klasik
berpendapat bahwa revolusi borjuis harus lebih dahulu dilakukan baru kemudian
revolusi proletar. Sedangkan Neo-Marxis berpendapat bahwa kalangan borjuis di
negara terbelakang pada dasarnya adalah alat atau kepanjangan tangan dari imperialis
di negara maju. Sehingga, revolusi yang mereka lakukan tidak akan membawa
perubahan di negara pinggiran, terlebih lagi, revolusi tersebut tidak akan
mampu membebaskan kalangan proletar di negara berkembang dari eksploitasi
kekuatan alat-alat produksi kelompok borjuis di negara tersebut dan kaum
borjuis di negara maju.
Tokoh
utama dari teori Dependensi adalah Theotonio Dos Santos dan Andre Gunder Frank.
Theotonio Dos Santos sendiri mendefinisikan bahwa ketergantungan adalah
hubungan relasional yang tidak imbang antara negara maju dan negara miskin
dalam pembangunan di kedua kelompok negara tersebut. Dia menjelaskan, kemajuan
negara Dunia Ketiga hanyalah akibat dari ekspansi ekonomi negara maju dengan
kapitalismenya. Jika terjadi sesuatu negatif di negara maju, maka negara
berkembang akan mendapat dampak negatifnya pula. Sedangkan jika hal negatif
terjadi di negara berkembang, maka belum tentu negara maju akan menerima dampak
tersebut. Sebuah hubungan yang tidak imbang. Artinya, positif-negatif dampak
berkembang pembangunan di negara maju akan dapat membawa dampak pada negara.
Dalam perkembangannya, teori Dependensi
terbagi dua, yaitu Dependensi Klasik, yang diwakili oleh Andre Gunder Frank dan
Theotonio Dos Santos, kemudian Dependensi Baru, yang diwakili oleh F.H.
Cardoso. Teori Ketergantungan yang dikembangkan pada akhir 1950-an, di bawah
bimbingan Direktur Komisi Ekonomi PBB untuk Amerika Latin, Raul Prebisch.
Prebisch dan rekan-rekannya dipicu oleh kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi di
negara-negara industri maju tidak harus menyebabkan pertumbuhan di
negara-negara miskin. Memang, studi mereka menyarankan bahwa kegiatan ekonomi
di negara-negara kaya sering menyebabkan masalah ekonomi yang serius di
negara-negara miskin. Kemungkinan seperti itu tidak diprediksi oleh teori neo-klasik;
yang diasumsikan bahwa pertumbuhan ekonomi bermanfaat bagi semua, bahkan jika
tidak bermanfaat tidak selalu ditanggung bersama. Penjelasan awal Prebisch untuk
fenomena ini sangat jelas; di mana negara-negara miskin mengekspor komoditas
primer ke negara-negara kaya, kemudian diproduksi produk dari komoditas
tersebut, selanjutnya mereka jual kembali ke negara-negara miskin.
Tiga masalah membuat kebijakan ini sulit
untuk diikuti. Yang pertama, adalah bahwa pasar internal negara-negara miskin
tidak cukup besar untuk mendukung skala ekonomi yang digunakan oleh
negara-negara kaya untuk menjaga harga rendah. Isu kedua, menyangkut akan
politik negara-negara miskin, apakah transformasi menjadi produsen utama produk
itu mungkin atau diinginkan. Isu terakhir, sejauh mana negara-negara miskin
sebenarnya memiliki kendali produk utama mereka, khususnya di bidang penjualan
produk-produk luar negeri. Hambatan-hambatan dengan kebijakan substitusi impor
menyebabkan orang lain berpikir sedikit lebih kreatif dan historis pada
hubungan antara negara-negara kaya dan miskin.
Pada titik ini teori ketergantungan itu
dipandang sebagai sebuah cara yang mungkin untuk menjelaskan kemiskinan
terus-menerus dari negara-negara miskin. Pendekatan neo-klasik tradisional
mengatakan hampir tidak ada pada pertanyaan ini, kecuali untuk menegaskan bahwa
negara-negara miskin terlambat datang ke praktek-praktek ekonomi yang padat, dan
begitu mereka mempelajari teknik-teknik ekonomi modern, maka kemiskinan akan
mulai mereda.
Ketergantungan dapat didefinisikan
sebagai suatu penjelasan tentang pembangunan ekonomi suatu negara dalam hal
pengaruh eksternal-politik, ekonomi dan budaya pada kebijakan pembangunan
nasional. Adapun secara spesifik ketergantungan ini dapat dijelaskan ke dalam
tiga bagian. Pertama, Raul Prebisch:
industri substitusi import. Menurutnya, negara-negara terbelakang harus
melakukan industrialisasi yang dimulai dari industri substitusi impor. Kedua, perdebatan tentang imperialisme
dan kolonialisme. Hal ini muncul untuk menjawab pertanyaan tentang apa alasan
bangsa-bangsa Eropa melakukan ekspansi dan menguasai negara-negara lain secara
politis dan ekonomis. Ada tiga teori, yaitu Teori God: Adanya misi menyebarkan
agama; Teori Glory: Kehausan akan kekuasaan dan kebesaran; dan, Teori Gospel:
Motivasi demi keuntungan ekonomi. Ketiga,
Paul Baran: Sentuhan Yang Mematikan dan Kretinisme. Baginya, perkembangan
kapitalisme di negara-negara pinggiran beda dengan kapitalisme di negara-negara
pusat. Di negara pinggiran, sistem kapitalisme seperti terkena penyakit
kretinisme yang membuat orang tetap kerdil.
Ada dua tokoh yang membahas dan
menjabarkan pemikirannya sebagai kelanjutan dari tokoh-tokoh di atas, yakni: Pertama, Andre Guner Frank: Pembangunan keterbelakangan.
Bagi Frank, keterbelakangan hanya dapat diatasi dengan revolusi, yakni revolusi
yang melahirkan sistem sosialis. Kedua,
Theotonia De Santos: Membantah Frank. Menurutnya, ada tiga bentuk
ketergantungan, yakni: (a) Ketergantungan Kolonial: hubungan antar penjajah dan
penduduk setempat bersifat eksploitatif. (b) Ketergantungan Finansial-Industri:
pengendalian dilakukan melalui kekuasaan ekonomi dalam bentuk kekuasaan finansial-industri.
(c) Ketergantungan Teknologis-Industrial: penguasaan terhadap surplus industri
dilakukan melalui monopoli teknologi industri.
Pembangunan,
Modernisasi dan Permasalahannya[14]
Teori pembangunan
dikembangkan sebagai upaya untuk mencegah gerakan-gerakan yang menentang kapitalisme (anti kapitalisme), dan juga sebagai strategi
baru untuk mengganti tatanan sosial kolonialisme yang mulai runtuh. Wacana
tentang pembangunan itu sendiri muncul pada tahun 1949
saat Presiden Harry S. Truman mengumumkan kebijakan pemerintahannya dan kemudian menjadi doktrin kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Pembangunan
atau yang lebih
dikenal dengan developmentalism sesungguhnya
dilontarkan dalam rangka membendung sosialisme sehingga
merupakan bungkus baru dari kapitalisme.
Wacana
tentang pembangunan pun mendapat dukungan dari para akademisi dengan jalan menyumbangkan pikiran-pikiran mereka dalam wujud teori-teori
tentang development dan
modernisasi. Teori-teori tersebut diantaranya
dari W.W. Rostow (1960), yang melihat bahwa pembangunan
sebagai proses evolusi dari masyarakat yang tradisional ke modern melalui lima
tahapan atau five-stage scheme.
Lima tahap ini menurut Rostow dimulai dari tahap masyarakat tradisional, kemudian pra-kondisi tinggal landas, diikuti dengan tahapan tinggal
landas, kemudian mencapai
tahap kematangan pertumbuhan, hingga berakhir
pada tahap masyarakat konsumsi tinggi. Berdasarkan
pada kerangka tahapan-tahapan tersebut, maka Rostow menyatakan pentingnya untuk negara-negara Dunia Ketiga melakukan pembangunan sebagai upaya
mencapai tahap akhir dari
pertumbuhan ekonomi.
Pembangunan
pada dasarnya merupakan proses yang secara otomatis melalui akumulasi modal (tabungan dan investasi). Namun upaya ini tentu mengalami
kendala, yaitu ketersediaan dana investasi yang produktif di negara Dunia
Ketiga tersebut. Sebuah alternatif untuk menanggulangi hal ini adalah dengan penyediaan bantuan asing berupa modal, teknologi,
dan skil atau tenaga ahli bagi negara Dunia Ketiga. Pemerintah Amerika
Serikat menilai bahwa memberi bantuan adalah jalan terbaik dalam membantu negara Dunia Ketiga dalam menjalankan
pembangunan untuk mencapai masyarakat yang modern. Maka, Amerika Serikat
memberikan dana yang besar jumlahnya untuk mendukung
negara Dunia Ketiga membangun infrastuktur dan industri, bahkan mereka juga mengirimkan ribuan tenaga ahlinya. Semua itu dilakukan dalam rangka
membantu negara Dunia Ketiga mencapai tahap tinggal landas.
Teori
dan konsep tentang pembangunan dan modernisasi yang ditawarkan kemudian banyak diadopsi oleh negara-negara Dunia Ketiga, seperti negara-negara
di Amerika Latin dan Asia Tenggara; termasuk Indonesia. Asumsinya adalah bahwa
negara-negara tersebut akan mampu menuju tahap seperti negara-negara Dunia
Pertama yang telah jauh lebih maju dan mencapai tahap tinggal landas hingga
pada tahap masyarakat konsumsi tinggi.
Bagaimana
pun, asumsi ini dibangun dengan paradigma evolusi yang menganggap bahwa
perkembangan atau perubahan masyarakat seperti garis
lurus atau bersifat linear dan melalui rentang waktu yang panjang. Efek yang
tidak dapat dihindari dari paradigma ini adalah adanya pandangan bahwa
bentuk negara maju merupakan bentuk yang baik dan sempurna serta ‘beradab’.
Hal ini menjadi cita-cita yang ingin diwujudkan bagi negara-negara Dunia Ketiga; di samping karena pengaruh dari
ahli-ahli ekonomi dari Barat yang melakukan
pendekatan dan menawarkan ‘resep’ kepada para penguasa negara Dunia Ketiga tersebut.
Namun ternyata yang terjadi, setelah proses
pembangunan dan modernisasi tersebut dilaksanakan
di negara-negara Dunia Ketiga, tidak sesuai harapan dan keinginan pihak-pihak yang menghendaki masyarakatnya Dunia Ketiga maju seperti negara-negara
Dunia Pertama. Ibarat
seorang dokter yang salah memberikan resep
kepada pasiennya, maka para pakar-pakar pembangunan
gagal membuktikan teori pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, justru negara-negara Dunia
Ketiga mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran seperti yang terjadi pada
negara-negara di
Amerika Latin. Kondisi ini menyebabkan
munculnya teori-teori ketergantungan yang merupakan reaksi atas kegagalan developmentalism di negara-negara Amerika
Latin. Trickle down effect atau teori penetesan ke bawah yaitu keuntungan negara-negara pemilik
modal (Dunia Pertama) atau metropolis akan diteteskan kepada
negara-negara tempat investasi asing (Dunia Ketiga) atau satelit ternyata tidak
terjadi. Justru, keuntungan tersebut hanya menambah akumulasi modal yang ada di
negara-negara metropolis, sementara negara satelit tetap saja terbelakang dan
tergantung pada negara metropolis.
Pada
kasus Meksiko terjadi hal yang sangat tragis, yaitu bagaimana Chiapas yang
merupakan wilayah kaya potensi alam tetapi ternyata wilayah tersebut merupakan
bagian yang termiskin di Meksiko, dan yang lebih mencengangkan adalah ketika
pembangunan yang terjadi telah mengubah struktur dan kehidupan masyarakat
secara revolusioner dan bahkan radikal. Artinya, kenyataan yang ada sangat
kontradiktif dengan teori pertumbuhan ekonomi masyarakat yang berlandaskan
kerangka evolusionis, yaitu perubahan masyarakat terjadi secara perlahan.
Bagaimana
pun pembangunan, termasuk juga di dalamnya modernisasi, adalah proses
transformasi masyarakat di segala aspek kehidupan. Contohnya seperti yang
terjadi pada negara Meksiko yang diharuskan mengubah sistem kepemilikan
tanahnya agar lebih kondusif bagi pasar (investasi asing). Presiden Salinas pun
secara sewenang-wenang mengamandemen pasal 27 UUD 1917 yang menjamin
kepemilikan tanah komunal. Dampaknya adalah masyarakat adat dapat dengan mudah
digusur karena tanah mereka dapat diperjualbelikan. Implikasi selanjutnya
adalah mereka secara tiba-tiba diharuskan memasuki dunia yang serba materialis
dan sistem modern yang sama sekali berbeda dengan mereka.
Hal
yang sama terjadi dengan masyarakat suku terasing di Papua (Indonesia) seperti
suku Amungme, Kamoro, Dani, dan sebagainya. Dengan kehidupan mereka yang masih
tergolong dalam stone age mereka dipaksa menerima kehidupan
yang serba canggih dan modern karena hadirnya PT. Freeport Indonesia di tengah
wilayah adat mereka. Secara otomatis para anggota komunitas-komunitas tersebut
mengalami kondisi yang disebut sebagai shock
culture.
Konklusi
Pada perkembangannya, teori pembangunan berkembang dengan
beragam pendekatan yang memberikan kritik satu dengan yang lain. Oleh para
ahli, keberagaman pendekatan ini diberi label teori pembangunan modernisasi,
teori pembangunan struktural, Poststruktural, Postdevelopmen, poskolonial, dan
sebagainya. Beragamnya teori tersebut tidak dapat diperdebatkan mana yang benar
dan mana yang salah; karena persoalan yang dihadapi setiap negara berlainan. Bagi
negara-negara dunia ketiga, persoalannya adalah bagaimana bertahan hidup atau
bagaimana meletakkan dasar-dasar ekonominya supaya mereka bisa bersaing di
pasar internasional. Sedangkan bagi negara-negara adikuasa adalah bagaimana
melakukan ekspansi lebih lanjut bagi kehidupan ekonominya yang sudah mapan.
Pendekatan yang dipilih pada akhirnya bergantung pada pengaruh negara-negara
maju melalui bantuan-bantuan maupun tekanan geopolitik.
Negara berkembang pada akhirnya tetap
sulit maju dengan menggunakan teori yang dipilihkan oleh negara mitranya; karena
itulah sebetulnya yang diinginkan negara maju untuk dapat menjaga eksistensi
dan perluasan pasarnya. Negara berkembang sebaiknya berani untuk memilih
pendekatan teori pembangunan yang sesuai dengan karekteristik dan tingkat
penguasaan teknologi negaranya. Namun, keberanian tersebut seringkali mendapat
tekanan yang hebat; seperti pada kasus Iran dan negara-negara Amerika Latin.
Untuk itu, dalam mensiasati tekanan tersebut, pendekatan yang dipilih tidak
dapat berdiri sendiri melainkan dapat disintesiskan, sehingga mengahasilkan
pendekatan yang tepat bagi negara berkembang.
Daftar Pustaka
Budiman,
Arief. (1995). Teori Pembangunan Dunia
Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Digdowiseiso, Kumba. (2019). Teori
Pembangunan. Jakarta: Lembaga Penerbitan
Universitas Nasional.
Fakih, Mansour. (2013).
Runtuhnya Teori Pembangunan dan
Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press Bekerja sama dengan Pustaka Pelajar.
Sugiono, Muhadi. (2006).
Kritik Antonio Gramsci Terhadap
Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kristeva, Nur Sayyid Santoso. (2019). Manifesto Wacana Kiri; Membentuk Solidaritas Organik, Agitasi dan Propaganda Wacana Kiri untuk Kader Inti Ideologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1] Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1995), hlm. ix.
[2] Muhadi Sugiono, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. xi.
[3] Arief Budiman, Op. Cit., hlm. 13-14.
[4] Kumba Digdowiseiso, Teori Pembangunan,
(Jakarta: Lembaga Penerbitan Universitas Nasional, 2019), hlm. 1.
[5] Arief Budiman, Op. Cit., hlm. x.
[6] Ibid., hlm. 18-35.
[7] Teori evolusi (teori organik) adalah
warisan pengaruh zaman pencerahan, khususnya yang menonjol pada zaman itu dan
yang berdampak terhadap pemikiran manusia tentang perubahan sosial. Ada enam
asumsi perubahan dalam teori ini, yakni perubahan itu dilihat sebagai natural,
dereksional, imanent, kontinyu, suatu keharusan, dan berjalan melalui sebab
yang sama. Lihat: Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi,
(Yogyakarta: Insist Press Bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, 2013), hlm.
47-48.
[8] Perang dingin merupakan bentuk
peperangan ideologi dan teori antara kapitalisme dan sosialisme. Sementara itu,
gerakan sosialisme Rusia mulai mengembangkan pengaruhnya di Eropa Timur hingga
di negara-negara yang baru merdeka. Dengan demikian, dalam konteks perang
dingin tersebut, teori modernisasi terlibat dalam peperangan ideologi. Lihat: Ibid.,
hlm. 53.
[9] Kumba Digdowiseiso, Op. Cit., hlm. 19.
[10] Ibid., hlm. 21-22.
[11] Lihat: Mansour Fakih, Op. Cit., hlm.
48. Lihat juga: Kumba Digdowiseiso, Op. Cit., hlm. 19.
[12] Kumba Digdowiseiso, Op. Cit., hlm.
20-21.
[13]
Teori Dependensi kali pertama muncul di Amerika Latin. Pada awal kelahirannya,
teori ini lebih merupakan jawaban atas kegagalan program yang dijalankan oleh
ECLA (United Nation Economic Commission for Latin Amerika) pada masa
awal tahun 1960-an. Lembaga tersebut dibentuk dengan tujuan untuk mampu
menggerakkan perekonomian di negara-negara Amerika Latin dengan membawa
percontohan teori Modernisasi yang telah terbukti berhasil di Eropa. Teori
Dependensi juga lahir atas respon ilmiah terhadap pendapat kaum Marxis Klasik
tentang pembangunan yang dijalankan di negara maju dan berkembang. Aliran
neo-marxisme yang kemudian menopang keberadaan teori Dependensi ini.
[14] Diambil dari: Nur Sayyid Santoso
Kristeva, Manifesto Wacana Kiri; Membentuk Solidaritas Organik, Agitasi dan
Propaganda Wacana Kiri untuk Kader Inti Ideologis, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2019), hlm. 495-497.
0 comments: