Thursday, March 28, 2019

SELAYANG PANDANG PARADIGMA PMII

SELAYANG PANDANG PARADIGMA PMII

Prawacana
Pada dasarnya, sebuah teori itu dirumuskan untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena yang ada. Sedangkan konstruksi sebuah teori—yang merupakan abstraksi dari sejumlah konsep yang disepakatkan dalam definisi-definisi—akan mengalami perkembangan, dan perkembangan itu terjadi apabila teori sudah tidak relevan dan tidak mampu lagi menjawab berbagai persoalan yang ada, atau kurang berfungsi lagi untuk mengatasi masalah zaman. Jika suatu teori ingin diakui sebagai teori ilmiah, maka teori tersebut haruslah cocok (compatible) dengan teori-teori lain yang telah diakui sebelumnya. Sebaliknya, jika suatu teori memiliki kesimpulan prediktif yang berbeda dengan teori lainnya, maka salah satu di antara kedua teori tersebut bisa dikatakan sebagai teori yang salah.
Penerimaan suatu teori di dalam komunitas ilmiah tidak berarti teori tersebut memiliki kebenaran mutlak, namun dipengaruhi oleh pengandaian-pengandaian dan metode dari ilmuwan yang merumuskannya. Kemampuan suatu teori untuk memprediksi apa yang akan terjadi merupakan kriteria bagi validitas teori tersebut. Untuk itu, semakin prediksi dari teori tersebut dapat dibuktikan, maka semakin besar pula teori tersebut akan diterima di dalam komunitas ilmiah. Ketika suatu bentuk teori telah dianggap mapan di dalam komunitas ilmiah, maka hampir semua ilmuwan dalam komunitas ilmiah menggunakan teori yang mapan itu dalam penelitian mereka. Teori yang mapan dan dominan itulah yang oleh Thomas Kuhn dikatakan sebagai paradigma.[1]
Selanjutnya, paradigma merupakan elan vital bagi pergerakan organisasi, karena paradigma merupakan titik pijak dalam membangun konstruksi pemikiran dan cara memandang sebuah persoalan yang akan termanifestasikan dalam sikap dan perilaku organisasi. Di samping itu, dengan paradigma ini pula sebuah organisasi akan menentukan dan memilih nilai-nilai yang universal dan abstrak menjadi khusus dan praksis operasional, yang pada akhirnya menjadi karakteristik sebuah organisasi dan gaya berpikir seorang kader.
Paradigma dapat diartikan sebagai cara pandang atau kerangka berfikir yang berdasarkannya fakta atau gejala diinterpretasi dan dipahami. Para ilmuwan bekerja dalam kerangka seperangkat aturan yang sudah dirumuskan secara jelas berdasarkan paradigma dalam bidang tertentu, sehingga pada dasarnya solusinya sudah dapat diantisipasi terlebih dahulu. Jika dalam perjalanan kegiatannya timbul hasil yang tidak diharapkan atau penyimpangan dari paradigmanya, inilah yang oleh Kuhn disebut sebagai anomali.[2]
Oleh sebab itu, lewat paradigma inilah pemikiran seseorang dapat dikenali dalam melihat dan melakukan analisis terhadap suatu masalah. Dengan kata lain, paradigma merupakan cara dalam mendekati objek kajianya (the subject matter of particular dicipline) yang ada dalam ilmu pengetahuan. Orientasi atau pendekatan umum (general orientations) ini didasarkan pada asumsi-asumsi yang dibangun dalam kaitannya dengan realitas yang dilihatnya. Perbedaan paradigma yang digunakan oleh seseorang dalam memandang suatu masalah, akan berakibat pada timbulnya perbedaan dalam menyusun sebuah teori, membuat konstruk pemikiran dan cara pandang hingga sampai pada aksi dan solusi yang diambilnya.
Namun demikian, secara faktual dan operasional terdapat karakteristik tertentu yang berlaku dalam warga pergerakan ketika hendak melihat, menganalisis dan menyikapi sebuah persoalan, yaitu sikap kritis dengan pendekatan teorti kritis. Dengan demikian, secara umum telah berlaku paradigma kritis dalam tubuh warga pergerakan PMII. Sikap seperti ini muncul ketika PMII mengusung sejumlah gagasan mengenai demokratisasi, civil society, penguatan masyarakat di hadapan negara yang otoriter sebagai upaya dalam aktualisasi dan implementasi atas nilai-nilai dan ajaran keagamaan yang diyakininya.

A.      Pengertian Paradigma
Secara etimologi, paradigma berasal dari bahasa Inggris, yaitu ‘paradig yang berarti bentuk sesuatu, model dan pola (type of something, model, pattern). Dalam bahasa Yunani, paradigma berasal dari kata ‘para (di samping, di sebelah) dan kata dekynai (memperlihatkan, yang berarti model, contoh, arketipe, ideal).[3] Sedangkan secara terminologi, paradigma berarti a total view of a problem; a total outlook; not just a problem in isolation. Paradigma adalah cara pandang atau cara berfikir tentang sesuatu.[4] Oleh sebab itu, paradigma dapat pula dimaknai sebagai:
1.          Cara memandang sesuatu;
2.         Dalam ilmu pengetahuan berarti model, pola, ideal. Dari model-model ini fenomena yang dipandang dan diperjelas;
3.         Totalitas premis-premis teoretis dan metodologis yang menentukan atau mendefinisikan suatu studi ilmiah konkret; dan,
4.        Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.[5]
Menurut Nasim Butt, paradigma merupakan teori-teori yang berhasil secara empiris yang pada mulanya diterima dan dikembangkan dalam tradisi penelitian, sampai kemudian ditumbangkan oleh paradigma yang lebih progresif secara empiris.[6] Sedangkan menurut Husain Heriyanto, paradigma adalah seperangkat asumsi-asumsi teoretis umum dan hukum-hukum serta teknik-teknik aplikasi yang dianut secara bersama oleh para anggota suatu komunitas ilmiah.[7] Liek Wilaryo mendefinisikan paradigma sebagai model yang dipakai ilmuan dalam kegiatan keilmuannya untuk menentukan jenis-jenis persoalan yang perlu digarap, dan dengan metode apa, serta melalui prosedur yang bagaimana penggarapan itu harus dilakukan.[8]
Sedangkan konsep paradigma populer karena pemikiran Thomas Kuhn dalam bukunya: "The Struktur of Scientific Revolution", ketika menjelaskan revolusi ilmu pengetahuan. Menurutnya, ilmu pengetahuan berkembang dari masa awal pembentukan. Setelahnya, ilmu pengetahuan memperoleh pengakuan dan berkembang mejadi paradigma. Pada tahap inilah sebuah teori ilmu pengetahuan diakui sebagai kebenaran, dan dijadikan acuan masyarakat dalam merumuskan pertanyaan dan cara menjawab. Pada saat ini pula suatu teori ditempatkan sebagai paradigma, yaitu pandangan mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) dari suatu cabang ilmu. Normal science adalah periode berikutnya, yang dalam hal ini terjadi akumulasi ilmu pengetahuan. Karena para ilmuwan bekerja berdasarkan paradigma yang berpengaruh di dalamnya, dan asumsi yang mendasari dijadikan sebagai dasar dalam memahami kenyataan.[9]
Namun dalam perkembangan selanjutnya (sejalan dengan perkembangan masyarakat) apa yang diyakini sebagai kebenaran itu kemudian mengalami kekacauan (anomali), karena asumsi-asumsi paradigma lama tidak lagi mampu menjawab persoalan yang muncul. Akibatnya timbul krisis, karena validitas paradigma lama benar-benar sudah tidak bisa lagi dipertahankan. Pada saat inilah terjadi, apa yang menurut Kuhn, dengan masa terjadinya revolusi ilmu pengetahuan. Pada saat revolusi ilmu pengetahuan terjadi, maka asumsi dan dasar-dasar pemikiran paradigma yang berlaku saat itu tidak lagi dianggap relevan untuk merumuskan pertanyaan dan mengajukan jawaban terhadap fenomena atau kehidupan yang ada. Setelah terjadi revolusi akan ditemukan teori baru, dan dari sinilah dimulai munculnya paradigma baru.[10]
Mengingat banyaknya definisi yang dibentuk oleh para sosiologi, maka perlu ada pemilihan atau perumusan yang tegas mengenai definisi paradigma yang hendak diambil oleh PMII. Hal ini perlu dilakukan untuk memberi batasan yang jelas mengenai paradigma dalam pengertian komunitas PMII agar tidak terjadi perbedaan persepsi dalam memaknai paradigma. Berdasarkan pemikiran dan rumusan definisi yang disusun oleh para ahli sosiologi tersebut di atas, maka pengertian paradigma dalam masyarakat PMII dapat dirumuskan sebagai titik pijak untuk menentukan cara pandang, menyusun sebuah teori, menyusun pertanyaan dan membuat rumusan mengenai suatu masalah.
B.      Sejarah dan Perkembangan Paradigma PMII
Dalam realitasnya, memang setiap Kongres PMII, selalu ada wacana penggodokan paradigma baru oleh PB PMII, tapi belum membuahkan hasil. Tidak hanya pucuk pimpinan PMII di Jakarta, di berbagai daerah pun berlomba-lomba menunjukkan sense of belonging dengan menggelar workshop, seminar, diskusi, kajian dan sebagainya untuk merumuskan paradigma baru bagi PMII.
Sebagaimana dipahami bahwa paradigma merupakan ‘kaca mata’ yang memiliki seperangkat asumsi, nilai, konsep dan praktik yang mempengaruhi cara berfikir, bersikap dan bertindak seluruh kader PMII. Maka dari itu, perlunya formulasi konsep atau gagasan segar dan kontekstual terkait paradigma baru bagi PMII. Sebab, masa-masa sekarang kita sudah tidak vis a vis dengan negara dan penguasa, akan tetapi kita justru harus merebutnya.
Perlu juga kita cermati dialektika sejarah terkait perkembangan paradigma PMII. Sebelum Paradigma Kritis Transformatif (PKT) hadir, sudah ada orok paradigma lain yang pernah dilahirkan PMII, yaitu Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran (Paradigma Pergerakan) yang dirumuskan pada saat Sahabat Muhaimin Iskandar menjadi Ketua Umum PB PMII pada tahun 1994-1997. Paradigma ini dibuat untuk melawan kesewenang-wenangan orde baru yang menindas rakyat. Landasan teori kritis dan konsep perlawanannya membuat kader PMII ibarat singa yang siap menerkam. Sifat frontal paradigma ini diperkuat oleh gerakan intelektual organik melalui advokasi, proses rekayasa sosial dan free market of ideas yang dilakukan PMII untuk melawan hegemoni kekuasaan dan kemapanan. Totalitas pemikiran, sikap dan tindakan kader PMII dicurahkan sepenuhnya untuk melawan. Sehingga pada masa ini mulai populer jargon-jargon perlawanan seperti "hanya ada satu kata, lawan!", "diam tertindas atau bangkit melawan" dan sebagainya.
Tidak ingin disebut kalah dengan pendahulunya, Sahabat Syaiful Bahri Ansori mentransformasi Paradigma Pergerakan menjadi Paradigma Kritis Transformatif (PKT); pada saat periode kepemimpinannya pada tahun 1997-2000. PKT memperkaya perlawanannya secara teoretik dengan konsep pemikiran kritis ala Mazhab Frankfurt yang bersifat totality against, juga wacana intelektual kiri Islam ala Hassan Hanafi, Ali Syariati, Asghar Ali Engineer dan lain sebagainya, yang bicara soal hermeneutika pembebasan dan tafsir revolusioner tentang pembaharuan menyeluruh dan transformasi radikal. Bedanya, perlawanan dalam PKT tidak lagi frontal, tapi substansial karena meniscayakan adanya transformasi. Hal ini dibuat untuk sedikit menyesuaikan realitas sosial politik ketika Gus Dur yang tadinya sebagai inspirasi perlawan, tiba-tiba muncul ke permukaan sebagai penguasa.
Babak baru dialektika dan dinamika pemikiran, juga pertarungan gerakan PMII menemukan persimpangannya ketika Gus Dur dilantik menjadi Presiden pada 20 Oktober 1999. Setiap jalan menyimpan madu dan racun sekaligus. Dikatakan madu karena kelompok NU―termasuk PMII―yang tadinya adalah kaum pinggiran kemudian naik tahta setelah 30 tahun diperlakukan diskriminatif oleh rezim orde baru. Sedang dikatakan racun karena paradigma PMII yang membuka jalan kekritisan harus mampu menjaga komitmen dan konsistensinya sebagai agent of change dan agent of social control jika tidak mau disebut hipokrit intelektual. Sehingga jalan tengahnya, Sahabat Malik Haramain (Ketua Umum periode 2003-2005) mencoba memperkenalkan paradigma "Membangun Sentrum Gerakan di Era Neo Liberal". Paradigma baru ini diharapkan menjadi alternatif bagi lahirnya new common enemy sebagai sasaran gerakan kritis PMII. Neo liberalisme diposisikan sebagai musuh baru yang nyatanya sulit diidentifikasi dan dimaterialkan secara praxis, sehingga paradigma ini tidak disahkan sebagai pengganti PKT.
Upaya yang sama pula dilakukan oleh Sahabat Hery Haryanto Azumi (Periode 2005-2008) dengan membuat “Paradigma Menggiring Arus” sebagai antitesa dari Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran, paling tidak transformasi atau penggeseran dari Paradigma Pergerakan. PMII dipandang sudah tidak perlu melawan arus yang hanya menghabiskan energi tanpa hasil apa-apa, tetapi bagaimana arus itu digiring ke arah yang diinginkan oleh PMII. Namun lagi-lagi belum diterima secara terbuka oleh seluruh kader PMII yang telanjur memaknai PMII sebagai wadah gerakan mahasiswa kritis anti kemapanan. 
Dialektika sejarah perkembangan paradigma PMII menggambarkan betapa alotnya transformasi gagasan kritis ke pandangan moderat, sehingga PKT masih bertahan hingga saat ini. Sebenarnya, kader PMII sudah memposisikan diri dalam percaturan gerakan substansial-partisipatif. Hal itu terbukti dengan adanya diaspora kader PMII ke berbagai posisi di pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, yudikatif dan berbagai profesi seperti bidang ekonomi, keuangan, perbankkan, media, bisnis, pertambangan, perminyakan dan dunia industri lainnya.
Dalam koteks sekarang, di mana Era Presiden Jokowi lebih banyak pos menteri dipegang oleh kader PMII.[11] Di berbagai partai pun terdapat kader PMII, bahkan menjadi pucuk pimpinan partai politik yang nota bene berorientasi pada kekuasaan. Intinya bahwa negara bukan lagi musuh rakyat, tetapi alat untuk mensejahterakan rakyat. Politik dan kekuasaan bukan lagi alat untuk melanggengkan hegemoni, melainkan sebagai jembatan untuk memperbaiki dan memajukan bangsa.
C.      Paradigma PMII ?
Pergerakan Mahasiswa Islam Indoesia (PMII) merupakan organisasi kemahasiswaan dan keindonesiaan yang berhaluan Islam Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja), yang sejak berdirinya pada 17 April 1960 sejatinya bukanlah gerakan perlawanan, tetapi perkumpulan ideologis yang hendak memperjuangkan nilai-nilai yang moderat, toleran, adil dan seimbang, mengukuhkan Islam rahmatan lil'alamin dan perjuangan menjaga cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Maka dari itu, PMII harus kembali ke khittah-nya, yakni sebagai pergerakan mahasiswa yang berjuang untuk Islam dan Indonesia. Islam yang ditanam, disebar dan diperjuangkan secara terus-menerus oleh PMII, sekali lagi adalah Islam ramah (bukan Islam marah) sebagai representasi Aswaja. Indonesia yang diidam-idamkan oleh PMII adalah Indonesia yang maju dan merdeka, bukan Indonesia yang selalu disandera oleh perlawanan kelompok intelektualnya, tetapi dibangun dengan keringat dan kemapanan generasinya. Untuk itu, mahasiswa khususnya kader PMII sudah seharusnya partisipasi membangun bangsa di berbagai sektor kehidupan.
Mengapa PMII harus terlibat? Karena PMII memiliki nilai luhur Aswaja, Islam rahmatan lil'alamin, dan memiliki komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Di samping itu, PMII juga memiliki Nilai Dasar Pergerakan (NDP) yang merupakan pemberi keyakinan dan pembenar mutlak, dan spirit serta elan vital pergerakan sekaligus sebagai sumber kekuatan ideal-moral dari aktivitas pergerakan. Jika memang PMII punya nilai, tujuan dan cita-cita adiluhung, maka PMII harus menjalankan fungsinya dengan baik dalam rangka memberikan ilmu dan bakti untuk bangsa, memperjuangkan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
D.     Konklusi
Kenyataan global nyaris bukan lagi menjadi realitas yang ada di luar diri kita. Melainkan kita, mau tidak mau, telah dan masih akan lagi menjadi bagian dari kenyataan tersebut. Kenyataan saat ini ditandai oleh besarnya daya tekan modal, lobby politik, isu-isu sosial dan budaya. Pada saat ini, kemiskinan tidak bisa lagi dijelaskan dari varibel kegagalan negara semata. Mengapa? Karena setiap fenomena berjejalin dengan fenomena yang lain dalam pola hubungan yang rumit. Demikianlah kurang lebih gambaran kasar dari titik berangkat paradigma PMII.
Oleh sebab itu, kenyataan bukan dihadapi dengan perlawanan, karena kenyataan hari ini tidak mengikuti hukum oposisi biner (binary opposition).  Sehingga kenyataan hanya bisa dihadapi dengan strategi yang disusun untuk jangka waktu panjang. Dalah hal strategi, selain dibutuhkan pengetahuan, ketrampilan dan loyalitas terhadap organisasi, juga dibutuhkan kesabaran revolusioner. Karena, sebuah paradigma akan melahirkan gerakan yang bernas ketika paradigma tersebut sebangun dengan kenyataan di mana gerakan tersebut berada.[]


Daftar Pustaka:

Husain Heriyanto. (2003). Paradigma Holistik; Dialog Filsafat, Sains dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead. Jakarta: Teraju.
Komaruddin, dkk. (2002). Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah. Jakarta: Bumi Aksara.
Lorens Bagus. (2002). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Mahmud. (2011). Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Saifullah. (2007). Refleksi Sosiologi Hukum. Bandung: Refika Aditama.
Soetrisno dan SRDm Rita Hanafie. (2007). Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi Offset.
Thomas S. Kuhn. (2012). The Structure of Scientific Revolution; Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, terj. Tjun Surjaman. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Zainuddin Maliki. (2010). Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


[1] Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution; Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, terj. Tjun Surjaman, cet. VII, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hal. 10.
[2] Ibid., hal. 63.
[3] Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, cet. I, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hal. 55.
[4] Ibid.
[5] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, cet.. III, (Jakarta: Gramedia, 2002), hal. 779.
[6] Soetrisno dan SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, cet.. I, (Yogyakarta: Andi Offset, 2007), hal. 32.
[7] Husain Heriyanto, Paradigma Holistik; Dialog Filsafat, Sains dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead, cet. I, (Jakarta: Teraju, 2003), hal. 28.
[8] Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, cet. I, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hal. 84.
[9] Zainuddin Maliki, Sosiologi Pendidikan, cet. II, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), hal. 15-16.
[10] Ibid.
[11] Khofifah Indar Parawansa (Menteri Sosial), M. Hanif Dhakiri (Meteri Tenaga Kerja), Imam Nahrawi (Menteri Pemuda dan Olahraga), Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama).

Wednesday, March 27, 2019

BERKENALAN DENGAN TEORI KRITIS

BERKENALAN DENGAN TEORI KRITIS

Neo-Marxis adalah sekelompok pemikir Jerman yang tidak dapat dipisahkan atas historisitas teori kritis, dan merupakan kritik atas ketidakpuasannya dengan kondisi teori Marxian yang sudah mengideologis. Jika ditelisik lebih dalam, ketidakpuasan sekelompok pemikir Jerman ini lebih pada kecenderungannya kearah teori Marxis tentang determinisme ekonomi. Neo-Marxian di dalamnya merupakan para pemikir aliran filsafat yang berkembang dalam sebuah lembaga penelitian sosial (Institut Fur Sozialforschung) di Frankfurt, Jerman. Atau seringkali kita kenal dengan Mazhab Frankfurt (Die Frankfurt Schule), atau Teori Kritik Masyarakat.

Sederet beberapa tokoh Mazhab Franfurt yang terkenal diantaranya adalah Max Horkheimer (1895-1973) yang merupakan direktur dari Institute Fur Sozialforschung sekitar tahun 1930. Kemudian disusul tokoh selanjutnya, yaitu Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969). Selanjutnya adalah Herbert Marcuse (1898-1979), sosok figur terkenal terutama ide-idenya yang menginspirasi gerakan-gerakan ‘kiri baru’ sekitar tahun 1960-an.

Di masa pemerintahan Hitler (tahun 1933), yang dikenal dengan pemerintah nasionalis-sosialis, Frankfurt School sempat ditutup dan dipindahkan ke New York. Ditutupnya Franfurt School tidak lain karena para tokoh didalamnya melancarkan sebuah kritik tajam dan penentangan atas kebijakan politik nasional-sosialis, apalagi kebanyakan para tokoh yang tergabung dalam Mazhab Frankfurt tersebut adalah seorang keturunan Yahudi. Namun kemudian, sekitar tahun 1949 Franfurt School dapat kembali lagi ke Frankfurt, dan selanjutnya mampu menghasilkan para generasi penerus yang terkemuka.

Dari beberapa generasi penerus (generasi kedua) Mazhab Frankfurt yang paling terkenal yaitu Jurgen Habermas, sebagai filsuf Jerman yang paling terkemuka dengan kecenderungan istilah tindakan rasional-bertujuan (kerja) dan tindakan komunikatif (interaksi). Selain Habermas, juga muncul beberapa tokoh lain seperti Oscar Negt, Klaus Offe, Albrecht Wellmer dan Alfred Schmitt.

Sunday, March 10, 2019

TEOLOGI PEMBEBASAN (Analisis Pemikiran Hasan Hanafi)

TEOLOGI PEMBEBASAN (Analisis Pemikiran Hasan Hanafi)
Prawacana
Abad ini merupakan abad baru dalam sejarah dengan benturan-benturan yang kritis dan cepat merata ke segenap ujung dan pojok dunia. Benturan-benturan tersebut merupakan produk akal manusia dan aktivitasnya yang kreatif. Dengan itu pula timbul transformasi sosial dan kultural yang akibatnya terasa dalam kehidupan agama. Hal utama yang mengakibatkan terjadinya transfomasi sosial adalah perkembangan sains modern yang telah menimbulkan perubahan luar biasa, baik di bidang sosial-kultural, ekonomi, politik hingga bidang filsafat dan agama. Perubahan-perubahan sosial yang dahsyat tersebut berdampak luar biasa dan mengubah cara pandang keagamaan (religious worldview) dilingkungan umat Islam maupun umat agama lain. Adanya perubahan-perubahan yang mempengaruhi karakteristik pola pikir dan pandangan kegamaan tersebut tidak secara langsung menggugah bagaimana teologi dituntut dapat berperan dan merespons perubahan tersebut.
Memotret keberadaan dan peranan teologi Islam di zaman yang banyak berubah seperti yang sudah disinggung, maka teologi Islam akan terlihat mulai kehilangan peran vitalnya. Teologi Islam terasa kurang aktual dan kurang relevan dalam merespons tantangan zaman, sehingga mengalami reduksi fungsionalnya. Teologi Islam sekarang ini tampak hanya sebagai kekayaan intelektual para pemikir klasik yang di ‘sucikan’, sehingga objek studinya mengalami stagnansi. Ironisnya, perdebatan-perdebatan teologi hanya bersifat abstrak, utopis dan ahistoris tanpa melakukan kontekstualisasi dan merumuskannya dalam formulasi teologi yang cocok dengan realitas sekarang.
Kenyataannya, konsep-konsep teologi yang berkembang hanya digunakan untuk mempertahankan dogma-dogma yang bersifat teosentris daripada mendiskusikan masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan individu dan sosial manusia yang bersifat antroposentris. Kalau melihat kembali kepada sejarah masa lalu—dan bisa jadi juga terjadi pada saat ini—dimana pemikiran teologi kerap dijadikan persembahan kepada penguasa untuk melanggengkan kekuasaan, sehingga tidak jarang terjadi pemaksaan dan pertumpahan darah dalam perjalanannya. Padahal, seharusnya pemikiran teologi bisa menjadi konsep-konsep yang membebaskan manusia, dan menjadi dasar utama motivasi manusia kearah kemandirian, kesadaran dan kemajuan.
Di satu sisi yang lain, dalam realitas yang nyata didepan hamparan ketidakadilan, teologi justru tampak kebingungan dalam mengambil tindakan. Bukan hanya karena ia dikenali dalam soal-soal ritus dan doa-doa, yang oleh Karl Marx disebut sebagai ‘candu’ bagi masyarakat dan manipulasi atas realitas. Karena dalam hal ini, selain tidak membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat, teologi (agama) justru digunakan untuk melanggengkan kekuasaan dan hanya untuk mempertahankan status quo. Intinya bahwa teologi cenderung ritualis, dogmatis dan metafisis. Padahal, secara substantif bahwa Islam merupakan kekuatan pembebas terhadap kecenderungan eksploitatif, penindasan dan kedzaliman.
Melihat kenyataan di atas, dimana teologi Islam klasik tidak memiliki peranan signifikan dalam menyelesaikan problem kemanusiaan ketika dikontekstualisasikan dengan perubahan zaman. Oleh karenanya, perlu terobosan baru untuk mendekonstruksinya adalah sebuah keharusan. Karena dilihat dari shifting paradigm Thomas Kuhn, di dalam teologi Islam saat ini telah menjadi normal science yang harus dikritisi, dikoreksi dan dibangun kembali karena telah mengalami anomali-anomali ketika dihadapkan pada realitas kekinian.
Jika ditilik secara substansial, teologi merupakan pondasi sebuah agama, sedangkan pemikiran teologi dari seorang ahli teolog akan memberikan efek yang signifikan pada penganutnya dalam kehidupan konkret. Karena sebagai pondasi agama tadi, teologi akan menjadi dasar berperilaku dan penyemangat kehidupan seseorang. Untuk itu, dibutuhkan konsep teologi yang tidak hanya teosentris, namun juga antroposentris. Hasan Hanafi mencoba menafsirkan kembali dalil-dalil teologi dalam al-Qur’an dan Sunnah dengan metode pemikiran dialektika, fenomenologi dan hermeneutik. Dalil-dalil teologi tidak lagi dipergunakan Hanafi untuk membuktikan ke-Maha-an dan kesucian Tuhan, namun digunakan sebagai tuntutan kepada manusia untuk dapat mengamalkan konsep dari dalil-dalil tersebut dalam kehidupan nyata.
Rekonstruksi Teologi Hasan Hanafi dari teosentris ke antroposentris yang diejawantahkan dalam gerakan ‘Kiri Islam’. Gerakan Kiri Islam Hasan Hanafi dengan memakai Islam sebagai kritik dan sebagai alat untuk menghancurkan kedzaliman dan membela wong cilik. Sehingga kiri Islam Hasan Hanafi telah menginspirasi banyak orang untuk memikirkan kembali pemikiran teologi yang mempunyai kontribusi positif dalam perilaku kehidupan umat Islam. Teologi ini yang sering disebut dengan ‘teologi pembebasan’. Memang aneh kelihatannya, karena secara normatif bahwa teologi lebih cenderung menjadi kekuatan yang membatasi peran manusia. Namun dimata Hasan Hanafi, teologi kemudian dipahami sebaliknya, yakni sebagai spirit pembebas manusia dari kungkungan kekuasaan dengan relasi kuasa manusia dengan sistem yang menindas. Dari sinilah sisi lain dari ruh Islam, mampu menjadi kekuatan pendobrak dan pembebas tatanan sosial yang mapan.
A.      Sekilas Biografi Hasan Hanafi
Hassan Hanafi dilahirkan di Kota Kairo, 13 Februari 1935 M. Keluarganya berasal dari Bani Suwayf, sebuah provinsi yang berada di Mesir dan ber-urban ke Kairo ibu kota Mesir. Mereka mempunyai darah keturunan Maroko. Kakeknya berasal dari Maroko, sementara neneknya dari kabilah Bani Mur yang diantaranya menurunkan Bani Gamal Abd al-Nasser, Presiden Mesir kedua. Kakeknya memutuskan untuk menetap di Mesir setelah menikahi neneknya saat singgah di Mesir Tengah ketika pulang dari perjalanan menunaikan ibadah haji.[1]
Masa kecil Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup di bawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya sehingga tidak heran meskipun masih berusia 13 tahun, ia telah mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan perang melawan Israel pada tahun 1948. Ia ditolak oleh pemuda Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu muda. Di samping itu, ia juga dianggap bukan berasal dari kelompok Pemuda Muslimin. Ketika masih duduk dibangku sekolah setara SMA, tepatnya pada tahun 1951, Hanafi menyaksikan langsung bagaimana tentara Inggris membantai para Syuhada di Terusan Suez.[2]
Bersama-sama para mahasiswa ia mengabdikan diri untuk membantu revolusi yang telah dimulai pada akhir tahun 1940-an, hingga revolusi itu meletus pada tahun 1952 M. Atas saran-saran anggota Pemuda Muslim, pada tahun itu pula ia tertarik untuk memasuki organisasi Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi, ditubuh Ikhwanpun terjadi perdebatan yang sama dengan apa yang terjadi ketika ingin mendaftarkan diri menjadi sukarelawan Palistina. Kemudian Hasan Hanafi disarankan oleh para anggota Ikhwanul untuk bergabung dalam organisasi Mesir Muda. Ternyata keadaan didalam tubuh Mesir Muda sama dengan kedua organisasi sebelumnya. Hal ini menyebabkan ketidakpuasan Hasan Hanafi atas cara berfikir kalangan muda Islam yang terkotak-kotak. Kekecewaannya tersebut menyebabkan ia memutuskan berkonsentrasi mendalami pemikiran-pemikiran keagamaan, revolusi dan perubahan sosial. Hal ini juga yang menyebabkan ia lebih tertarik pada pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb tentang prinsip-prinsip keadilan sosial dalam Islam.[3]
Kejadian-kejadian yang dialami pada waktu itu, terutama yang dihadapi dikampus, membuatnya bangkit menjadi seorang pemikir, pembaharu dan reformis. Keprihatinan yang muncul saat itu adalah mengapa umat Islam selalu dikalahkan dan mengapa konflik internal dalam Islam selalu terjadi.[4]
Tahun-tahun berikutnya, Hanafi berkesempatan untuk belajar di Universitas Sarbone, Prancis pada 1956 M sampai 1966 M. Ia disini memperoleh lingkungan yang kondusif untuk mencari jawaban atas persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi oleh Negerinya, dan sekaligus merumuskan jawaban-jawabannya. Negara Prancis adalah tempat melatih dirinya untuk berfikir secara metodelogis melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan dan karya-karya orientalis. Ia sempat belajar pada seorang reformis katolik, Jean Guitto tentang metodologi berfikir, pembaharuan dan sejarah filsafat.[5] Ia belajar fenomenologi dari Paul Recour, analisis kesadaran dari Husser dan bimbingan penulisan tentang pembaharuan ushul fikih dari Prof. Masnion. Tidak heran jika di kandang orientalis ia berhasil menguasai tradisi, pemikiran dan keilmuan Barat dengan cukup baik.[6]
B.      Metode Pemikiran Hasan Hanafi
Semua umat Islam percaya bahwa ajaran Islam adalah suatu norma yang dapat diadaptasi oleh bangsa apa saja dan dalam waktu kapan saja (sholikh likulli zaman wa makan). Ajaran inti Islam adalah tauhid, dan tauhid adalah pandangan dunia dan asal seluruh pengetahuan. Oleh karena itu, kita harus mengkaji konsep tauhid dan bagaimana pandangan dunia tauhid itu berfungsi untuk membangun dunia Islam. Kita berupaya menemukan bahwa tauhid adalah pemikiran yang seluruhnya mempunyai kaitan yang erat. Hanafi menegaskan bahwa membangkitkan semangat tauhid merupakan suatu keharusan. Tauhid disini bukanlah pernyataan “keesaan Tuhan” sebagaimana dipahami umat Islam sebagai antitesis dari konsep Trinitas dalam agama Kristen.
Selanjutnya, Hasan Hanafi mengajukan konsep baru tentang konsep teologi Islam yang ilmiah dan membumi sebagai alternatif atas kritiknya bahwa teologi tidak ilmiah dan terkesan melangit. Tujuannya sudah barang tentu untuk menjadikan teologi tidak sekadar sebagai dogma keagamaan yang kosong tanpa makna, tetapi menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Karena itu, gagasan Hanafi berkaitan dengan teologi adalah berusaha untuk mentranformasikan teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju antroposentris, dari Tuhan di langit kepada manusia di bumi, dari tekstual ke kontekstual, dari teori kepada tindakan, dari takdir terkungkung kepada takdir kebebasan. Pemikiran ini setidaknya didasari oleh dua alasan. Pertama, kebutuhan adanya sebuah ideologi dan teologi yang jelas dan konkrit ditengah pertarungan ideologi-ideologi global. Kedua, Perlunya bangunan teologi yang bukan hanya bersifat teoretik, namun juga praktis yang dapat melahirkan gerakan dalam sejarah.[7]
Hanafi menawarkan dua teori yang ia gunakan untuk mengatasi kekurangan teologi klasik yang bersifat teosentris.[8] Pertama, analisa bahasa. Bahasa dan istilah-istilah dalam teologi klasik adalah warisan umat Islam terdahulu yang seolah-olah menjadi doktrin yang khas yang sudah paten dan tidak bisa diganggu gugat. Menurut Hanafi, istilah-istilah dalam teologi sebenarnya tidak hanya mengarah kepada yang transenden dan gaib, tetapi juga mengungkap tentang sifat-sifat dan metode keilmuan, yang empirik-rasional seperti iman, amal, dan imamah, atau yang historis seperti nubuwah dan juga yang metafisis seperti Tuhan dan akhirat. Kedua, analisa realitas sosial. Analisis ini diperlukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi dimasa lalu dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau penganutnya. Selanjutnya, analisa realitas sosial digunakan untuk menentukan arah dan orientasi teologi kontemporer.
Untuk melandingkan dua tawarannya tersebut, Hanafi menggunakan tiga metode berfikir, yaitu dialektika, fenomenologi dan hermeunetik. Dialektika adalah metode pemikiran yang didasarkan pada asumsi bahwa proses perkembangan sejarah terjadi lewat konfrontasi dialektis saat tesis melahirkan anti tesis, dan selanjutnya melahirkan sintesis. Kemudian fenomenologi merupakan gagasan Husserl (1859-1938) yang merupakan metode berfikir untuk mencari hakikat sebuah fenomena atau realitas. Hakikat fenomena dapat dicapai menurut Husserl melalui tiga tahap reduksi. Pertama, reduksi fenomenologis, yaitu suatu objek dipandang apa adanya tanpa ada prasangka. Kedua, reduksi eidetik, yaitu menyaring segala sesuatu yang bukan menjadi hakikat objek, untuk mencari dan mengenal fundamental struktur dari objek. Ketiga, reduksi transendental, yaitu kesadaran murni agar dengan objek tersebut seseorang dapat mencapai dirinya sendiri atau bagaimana ide atau gagasan tentang objek tersebut dapat dilaksanakan dalam upaya untuk kebaikan dan kesempurnaan hidup subjek.[9]
Hanafi menggunakan fenomenologi untuk menganalisis, memahami dan memetakan realitas-realitas sosial, politik, ekonomi, realitas dunia Islam dan realitas tantangan Barat yang diatasnya dibangun sebuah revolusi. Sebagaimana kata-katanya; “sebagai bagian dari gerakan Islam di Mesir, saya tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan fenomenologi untuk menganalisis Islam di Mesir”.[10] Dengan metode ini, Hanafi ingin realitas Islam berbicara sendiri mengenai kondisi mereka. Sedangkan Islam adalah Islam yang harus dilihat dari kaca mata Islam, dan bukan dengan kacamata Barat.
Hermeneutik merupakan sebuah cara penafsiran terhadap teks atau simbol yang mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan kondisi masa lalu yang tidak dialami, kemudian dibawa pada masa sekarang. Aktifitas penafsirannya terdiri dari tiga segi yang saling berhubungan, teks, perantara atau penafsir dan penyampaian kepada audiens. Orang yang melakukan hermeneutik harus mampu menangkap pesan-pesan yang terdapat dalam teks dan mengenal lingkungan dan masyarakatnya.[11] Hanafi menggunakan metode hermeneutik untuk membumikan gagasan teologinya yang bersifat antroposentris, dari teks ke konteks, dari langit ke bumi, dan dari teori ke praktek.
Pada tataran ini, Hanafi menggunakan metodologi yang lahir dari internal Islam, seperti metodologi ‘aql dan naql. Selanjutnya, dalam rangka membangun kebebasan, Hanafi lebih banyak menggunakan rasionalisme Mu’tazilah daripada teori kasb Asy’ariyah dan Jabariyah. Begitu pula ia menggunakan ushul fiqh dalam mencari sebab-musabab sebuah hukum. Dari sela-sela ilmu ushul fiqh ini, Hanafi mengetahui masa lampau, masa kini dan masa depan kaum muslimin. Dari sinilah ia mengeksplorasi triangle teori kesadaran: (1) kesadaran historis untuk mengetahui validitas teks-teks historis melalui metode-metode transmisi, (2) kesadaran spekulatif untuk menginterpretasi teks-teks dan memahaminya melalui analisis bahasa, dan (3) kesadaran praksis untuk signifikansi nilai-nilai dalam kehidupan praksis. Konsekuensinya adalah bahwa wahyu ditransformasikan ke dalam sistem-sistem ideal dunia dari celah-celah usaha dan tindakan manusia, dan tauhid akan disempurnakan sebagai praksis pada akhir tindakan, bukan dipermulaan, dan Tuhan lebih dekat pada proses “menjadi” daripada realitas “statis”. Dengan demikian, Hanafi banyak memakai teori klasik yang berkembang dalam tradisi Islam, tentunya dengan kritisisme yang ketat.
C.      Corak Pemikiran Hasan Hanafi
Untuk mengkaji Kiri Islam basis pemikiran Hassan hanafi harus dilacak melalui ajaran paling inti dari Islam itu sendiri, yakni ‘Tauhid’. Karena tauhid adalah basis Islam. Menurut Hassan Hanafi, untuk membangun kembali peradaban Islam tidak bisa tidak dengan membangun kembali semangat tauhid. Tauhid adalah pandangan dunia asal seluruh pengetahuan, karena itu kita harus mengkaji konsep tauhid, dan kita akan melihat bagaimana fungsi pandangan dunia tauhid itu untuk membangun umat Islam. Disini kita akan menemukan bahwa tauhid adalah pemikiran yang seluruhnya merupakan kaitan tali-temali yang erat. Hassan hanafi menegaskan bahwa membangkitkan semangat tauhid merupakan suatu keniscayaan.[12]
Kiri Islam muncul secara murni di dunia Islam. Hassan hanafi mengatakan; “Ia diterbitkan di Mesir yang menjadi pusat dunia Islam dan pusat dunia Arab”. Ditegaskan bahwa basis kiri Islam adalah Islam. Namun, ketika kita menguji problem politik, ekonomi, kemasyarakatan, kebudayaan dan pemikiran dalam dunia Islam, maka tidak dapat diabaikan beberapa hal yang juga menjadi problema di dunia ketiga.
Pemikiran-pemikiran Hassan Hanafi mengenai Hermeneutika al-Qur’an pada dasarnya tidak dapat dikaji terlepas dari realitas dunia Arab, terutama Mesir Kontemporer. Kiri Islam sebagai salah satu momentum dalam perjalanan intelektualnya, dan merupakan respon sadar Hassan Hanafi terhadap situasi Arab Kontemporer dengan segala pertarungan ideologis didalamnya. Gerakan pemikiran semacam itu dimaksudkan Hanafi sebagai usaha untuk melepaskan diri dari segala macam kooptasi agama dan kekuasaan, sembari melakukan kritik terhadap berbagai corak ideologis yang berkembang di Mesir. Keseluruhan pandangan Hassan Hanafi mengenai ideologi-ideologi pembangunan yang dipraktikkan di Mesir pada dasarnya mencerminkan kritisisme akan kuatnya hegemoni Barat dalam merancang kesadaran politik pemerintahan umat Islam dan justifikasi agama pada aktivisme politik partisan. Semua ideologi tersebut dipraktikkan tanpa terlebih dahulu ada upaya-upaya rekonstruksi, sehingga dapat memberi kontribusi bagi tradisi pemikiran Islam. Dalam konteks semacam inilah pemikiran Hassan Hanafi pada umumnya, dan Hermeneutika al-Qur’an pada khususnya harus diletakkan.[13]
Cukup jelas dari uraian di atas bahwa latar belakang intelektual pemikiran-pemikiran Hassan Hanafi adalah kegagalan eksperimentasi berbagai ideologi pembangunan di Mesir, ia mencoba menemukan kerangka paradigmatis baru dalam pemikiran pembangunan dalam Islam. Hanafi berbicara mengenai keharusan bagi Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif, yang berdimensi pembebasan (liberation). Sementara keinginan tersebut hanya dapat ditegakkan melalui gagasan keadilan sosial dan gerakan ideologis yang terorganisasi, mengakar dalam tradisi pemikiran Islam dan kesadaran rakyat sekaligus.
Untuk itu, corak pemikiran Hanafi sebenarnya hendak membawa dunia Islam bergerak menuju pencerahan yang menyeluruh. Sebagai anak zaman, Hanafi merupakan sosok pemikir yang unik.[14] Ia tidak dapat dikategorikan sebagai pemikir tradisional, dikarenakan ia membongkar dan mengkritik pemikiran tradisional. Ia bukan modernis, karena ia mengkritik modernitas dan menjadikan wacana tradisional sebagai landasan pemikiran yang diproyeksikan pada masa kini dan yang akan datang.
D.     Konsep Dasar Teologi Pembebasan Hasan Hanafi
Kontruksi metodologi Hanafi terbangun oleh kenyataan historis dan konteks zaman yang berpengaruh besar secara langsung. Hanafi sebagai seorang pemikir Arab nampak sangat dipengaruhi oleh tradisi pemikiran filsafat marxis, filsafat fenomenologi, filsafat hermeneutika dan eklektik.[15] Hanafi mencoba menerapkan metodologinya dalam kerangka membangun kembali tradisi keilmuan Islam. Rekonstruksi tradisi yang berlaku sepanjang sejarah dan merupakan bagian dari realitas itu merupakan suatu yang mungkin adanya perubahan sosial.
Hal ini sesuai dengan kerangka metodologi pemikiran Hanafi yang dalam banyak hal bertumpu pada empat hal tradisi pemikiran filsafat Marxisme, yaitu melalui metode dialektika, hermeneutika, fenomenologi dan dialektik. Gagasan Kiri Islam dirancang sedemikian rupa untuk menggerakkan gerakan revolusioner yang membawakan gagasan pembebasan melalui penghancuran konstruk lama yang serba reaksioner dari feodalisme dan kapitalisme yang mencengkeramkan hegemoninya kedalam kesadaran kognitif masyarakat dunia Timur (Islam). Gerakan ini tidak hanya diarahkan secara internal berupa reposisi dan pembacaan kembali tradisi sendiri, tetapi juga eksternal berupa pembacaan atas tradisi lain. Dalam konteks ini, Hassan Hanafi mulai menabuh genderang perang terhadap produk-produk kebudayaan Barat yang penuh residu serta mulai memantapkan basis kemapanan epsitemologi dari tradisi lama.[16]
Memperhatikan kondisi umat Islam dan pengaruh Barat yang semakin tidak terbendung, Hanafi mengusulkan gerakan yang revolusioner, ”Kiri Islam” (al-Yasar al-Islami) dengan tiga pilar pokok dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi tauhid) dan kesatuaan umat, yaitu; pertama revitalisasi khazanah Islam klasik. Hanafi menekankan perlunya rasionalisme dalam revitalisasi ini. Rasionalisme merupakan keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan muslim serta untuk memecahkan situasi kekinian didalam dunia Islam. Kedua, adalah perlunya menentang peradaban Barat. Seperti disebutkan di atas, Hanafi mengingatkan pembacanya akan bahayanya kebudayaan Barat yang hegemoninya bisa menghilangkan kebudayaan bangsa-bangsa lain di dunia, tidak terkecuali kebudayaan umat Islam. Sebagai langkah ini, ia mengusulkan “oksidentalisme” sebagai lawan dari “orientalisme” untuk mengakhiri mitos peradaban Barat. Ketiga, adalah analisis atas realitas dunia Islam. Untuk analisis ini, ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash), dan mengabaikan realitas. Ia mengusulkan metode tertentu, agar realitas dunia Islam dapat berbicara bagi dirinya sendiri.[17]
Ancaman kapitalisme, imperialisme dan zionisme Barat yang terus membayang-bayangi, bahkan sudah mencengkeram kuat di dunia Islam sehingga memunculkan kemiskinan, ketertindasan, keterbelakangan dikalangan umat Islam membutuhkan perhatian serius agar umat Islam dapat bangkit kembali seperti terdapat dalam lintasan sejarah, dimana umat Islam menjadi pusat peradaban dunia.
E.       Tujuan Pemikiran Hasan Hanafi tentang Teologi Pembebasan
Misi Kiri Islam sesungguhnya adalah kebangkitan peradaban universal yang muncul dari dimensi kemajuan khazanah Islam klasik. Kiri Islam juga bukan merupakan manifesto politik karena kata ‘kiri’-nya, namun lebih sebagai orasi kebudayaan seperti terlihat dalam kata Islam. Kiri Islam bermaksud menguak dan menghadirkan kembali foktor pendongkrak kemajuan Islam dari khazanah Islam, seperti rasionalisme, naturalism, kebebasan dan demokrasi, serta memunculkan kembali sesuatu yang telah hilang dari khazanah Islam, yakni manusia dan sejarah.[18]
Hassan Hanafi dalam al-Turats wa al-Tajdid merumuskan eksperimentasi berdasarakan tiga agenda yang saling berhubungan secara di daktis. Pertama, melakukan rekonstruksi tradisi Islam dengan interprestasi kritis dan kritik sejarah yang tercermin dalam agenda ‘apresiasi terhadap khazanah klasik’ (maluqifuna min al-qadien). Kedua, menetapkan kembali batas-batas kultural Barat melalui pendekatan kritis yang mencerminkan ‘sikap kita terhadap peradaban Barat’, (maluqifuna min-qharo). Ketiga, upaya membangun sebuah hermeneutika pembebasan al-Qur'an yang baru mencakup dimensi kebudayaan dari agama dalam skala global, agenda mana memfokuskan Islam sebagai fondasi ideologis bagi kemanusiaan modern. Ini mencerminkan sikap kita terhadap realitas (muwqifuna min al-waqi).[19]
Apa yang digagaskan Hanafi di atas terfokus pada usaha memperjuangkan kebebasan dengan segala dimensinya, menegakkan pemerintahan demokratis dan mengajarkan bahwa semua manusia mempunyai hak untuk berperan dalam menentukan corak dan warna negaranya. Hanafi menegaskan bahwa keterbelakangan merupakan watak murni dunia Islam. Bukan hanya dalam hal pembangunan, tapi juga keterbelakangan secara menyeluruh menyangkut struktur sosial atau dalam pandangan dunia bangsa. Kejadian ini tercermin dalam keterpecahan bangsa-bangsa Islam dalam tribalisme yang seakan bukan umat yang dipersatukan oleh umat Islam melalui tauhid dan amal shaleh.
Sementara yang paling berbahaya adalah keterbelakangan budaya dalam kaitannya dengan pandangan dunia manusia, perilaku bangsa dan dalam sistem sosial dan ekonomi. Selain keterbelakangan budaya, juga bentuk keterbelakangan pemikiran, yaitu pandangan dunia yang dualistik, hirarkis-piramidal dan mistis-mitologis.
Dalam konteks ini, maka tugas reaktualisasi (Kiri Islam) adalah menguak misi kesejarahan Islam dan menstransformasikan mayoritas rakyatnya dari kerangkeng kuantitatif kepada tataran kualitatif, dan membangun masyarkat partisipatif-egaliter dengan cara bertolak dari konsep tauhid yang memiliki efek pembebasan. Pembebasan dari pandangan dunia yang dualistik, hirarkis-piramidal dan mistis-mitologis.[20]
Hanafi telah menjelaskan dimensi sosial pembebasan dari gagasan reaktualisasi keilmuwan Islam lewat Kiri Islam ini. Sehingga Hanafi mengidealkan, bahwa Islam adalah untuk kepentingan seluruh umat manusia. Hanafi yakin bahwa Islam dapat membawa perubahan terhadap penganutnya sebagaimana yang telah dialami oleh bangsa Arab dengan mengubah ide-ide dan rekonstruksi tradisi-tradisi. Karenanya, reaktualisasi tradisi keilmuwan Islam adalah sebagai sarana untuk mendukung upaya perbaikan kehidupan yang akan membawa implikasi pada usaha pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan umat Islam.
F.       Teologi Revolusioner Hasan Hanafi
Secara historis, teologi telah menyingkap adanya benturan berbagai kepentingan, dan ia syarat dengan konflik sosial politik. Teologi klasik (tradisional) telah gagal pada dua tingkat. Pertama, pada tingkat teoretis, telah gagal mendapat pembuktian ilmiah dan filosofis. Kedua, pada tingkat praxis, gagal karena hanya menciptakan apatisme dan negativisme.
Teologi tradisional memang merupakan sejarah persembahan kepada sang penguasa, pengabdian pada para sultan. Memuji sultan berarti memuji Tuhan. Karena demikian, maka agama yang sesungguhnya memiliki fungsi pembebasan dan kontrol social telah jatuh kedudukannya menjadi sekedar instrumen legitimasi bagi status quo.[21]
Bagi Hanafi, adalah mungkin untuk memfungsikan teologi menjadi ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masa kini, yaitu melakukan rekonstruksi dan revisi, serta dibangun kembali epistemologi lama yang rancu dan palsu kepada epistemologi baru yang shahih dan lebih signifikan.
Tujuan rekonstruksi teologi Hanafi adalah menjadikan teologi tidak sekedar sebagai dogma-dogma keagamaan yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia.
Hanafi hendak mengendalikan agama pada fungsinya yang semula, yaitu sebagai landasan etik-teoretis dan motivasi bertindak menuju revolusi dan transformasi sosial. Langkah Hanafi melakukan rekontruksi teologi dilatari oleh tiga hal. Pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas ditengah-tengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoretiknya, melainkan juga terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi sebagai gerakkan dalam sejarah. Salah satu kepentingan teologi ini adalah memecahkan problem pendudukan tanah di negara-negara muslim. Ketiga, kepentingan teologi yang bersifat praktis (‘amaliyah fi’liyah), yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam. Hanafi menghendaki adanya “teologi dunia”, yaitu teologi baru yang dapat mempersatukan umat Islam dibawah satu orde.
Rekonstruksi teologi bagi Hanafi adalah salah satu cara yang musti ditempuh jika diharapkan teologi dapat memberikan sumbangan yang konkrit bagi sejarah kemanusiaan. Kepentingan rekonstruksi itu pertama-tama untuk mentransformasikan teologi menuju antropologi, menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara eksistensial, kognitif maupun kesejarahan.[22]
Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal guna memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam teologi Islam. Pertama, analisa bahasa. Bahasa serta istilah-istilah dalam teologi tradisional adalah warisan nenek moyang dibidang teologi yang merupakan bahasa khas yang seolah-olah sudah menjadi ketentuan sejak dulu. Teologi tradisional memiliki istilah-istilah khas seperti Allah, Iman, akhirat. Menurut Hanafi, semua ini sebenarnnya menyingkap sifat-sifat dan metode keilmuwan, ada yang empirik-rasional seperti iman, amal dan imamah, dan ada yang historis seperti nubuwah serta ada pula yang metafisik seperti Allah dan akhirat.
Kedua, analisa realitas. Analisa ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang histori-sosiologis munculnya teologi di masa lalu, mendeskripsikannya pengaruh-pengaruh nyata teologi bagi kehidupan masyarakat, dan bagaimana ia punya kekuatan mengarahkan terhadap perilaku para pendukungnya. Analisa realitas  ini berguna untuk menentukan stressing ke arah mana teologi kontemporer harus diorientasikan.[23]
Dari tawaran konsep di atas, Hanafi mencoba melakukan penafsiran ulang secara metaforis-analogis terhadap tema-tema teologi tradisional, setelah sebelumnya membongkar kelemahan-kelemahan serta mengkonstruksikannya kembali epistemologi dan ontologi teologi.
Konklusi
Ketertindasan menjadi fenomena umum masyarakat muslim, baik itu yang dilakukan oleh umat Islam sendiri maupun non muslim. Islam harus mampu menjadi teologi pembebasan, yang mampu mengeluarkan umatnya dari kungkungan penindasan. Sedangkan dari segi keterbelakangan, Islam harus mampu menjadi pemantik munculnya gagasan pengetahuan yang inovatif, yang mampu menjadi sumber peradaban dunia dalam rangka mengejar ketertinggalan.
Meskipun gagasan kiri Islam Hasan Hanafi ini terkesan radikal, namun semangat pembebasan Kiri Islam ini sudah selayaknya menjadi ‘girah’ perjuangan umat Islam dalam rangka membangun misi Islam sebagai rahmat semesta alam. Walhasil, perkembangan kuantitas masyarakat muslim—yang luar biasa pesat ini—harus diimbangi dengan kualitas umat Islam yang akan mampu mengembalikan kejayaan Islam, dan menghadirkan kembali misi awal Islam sebagai agama pembebas.
Intinya bahwa Islam sebagai spirit yang mampu menjadi pijakan dalam membangun sistem sosial yang adil. Memposisikan Islam sebagai sebuah teologi kritis akan mampu menghasilkan paradigma keberagamaan yang berkeadilan. Relasi kuasa yang diskriminatif harus mampu diubah melalui paradigma keberagamaan yang kritis.


Referensi:

A.H. Ridwan. (1998). Reformasi Intelektual Islam; Pemikiran Hasan Hanafi Tentang Reaktualisasi Tradisi Islam Keilmuan Islam. Yogyakarta: ITTAQA Press.
Hassan Baharu, Akmal Mundiri, dkk., (2014). Metodologi studi Islam, Percikan Pemikiran tokoh dalam Membumikan Agama. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Hassan Hanafi. (1991). Agama, Ideologi dan Pembangunan. Jakarta: P3M.
Ilham Baharudin Saenong. (2002). Hermeneutika Pembebasan Hassan Hanafi; MK Metodologi Tafsir al-Quran menurut Hassan Hanafi. Jakarta: Teraju.
Jhon L. Esposito dan Jhon O. Voll, (2002). Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, terj. Hermawan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Joko Siswanto. (1998). Sistem-Sistem Metafisika Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Kazuo Shimogoki. (1993). Kiri Islam Antara Modernisme dan Post Modernisme; Telaah Kritis atas Pemikiran Hassan Hanafi. Yogyakarta: LKiS.
Listiyono Santoso. dkk. (2007). Seri Pemikiran Tokoh Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Sumaryono. (1993). Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.



[1] Hassan Baharu, Akmal Mundiri, dkk., Metodologi studi Islam; Percikan Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama, cet. III, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hlm. 186-187.
[2] Ibid., hlm. 166-167.
[3] A.H. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam; Pemikiran Hasan Hanafi Tentang Reaktualisasi Tradisi Islam Keilmuan Islam, (Yogyakarta: ITTAQA Press, 1998), hlm. 18.
[4] Kazuo Shimogoki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Post Modernisme; Telaah Kritis atas Pemikiran Hassan Hanafi, (Yogyakarta: LKiS, 1993), hlm. 4.
[5] Hasan Hanafi mendiskripsikan “guru saya” yang bertanggungjawab atas semua formasi filosofis saya adalah Jean Guitton, seorang professor ilmu filsafat di Sarbone dan seorang pemimpin modernis Katolik Roma. Jean Guitton bertindak sebagai pembimbing Hasan Hanafi melalui membaca dan mempelajari Filsafat Barat. Ia juga memberikan panduan kepada Hasan Hanafi dalam masalah-masalah praktis seperti bagaimana memberikan kuliah umum dan metode-metode penelitian. Jean Guitton pernah ke Mesir (1930-an) yang paling tidak memiliki gambaran sedikit tentang Mesir. Metode dan perspektif Jean Guitton membantu mengembangkan pemahaman Hasan Hanafi terhadap pendekatan-pendekatan untuk rekonsiliasi posisi yang berbeda. Hasan Hanafi sendiri mendiskripsikan dirinya sendiri sebagai bangunan di atas Jean Guitton dan kemudian menjulang tinggi. Diskripsi ini menggambarkan perkembangan pemikiran Jean Guitton dari kesadaran individu menuju kesadaran sosial, dari kanan ke kiri dan dari agama ke revolusi. Saya gunakan kritik yang berhubungan dengan kitab Injil secara negatif dan dia memakainya secara positif untuk memperhatikan sebuah kebenaran. Saya hidup untuk teologi kebebasan, sedangkan dia takut orang-orang akan berubah ke Marxisme dan kekerasan, dan elemen-elemen asing itu mungkin memasuki kebenaran otentik. Jhon L. Esposito dan Jhon O. Voll, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, terj. Hermawan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 75-76.
[6] A H. Ridwan, op. cit., hlm. 220.
[7] A.H. Ridwan, op. cit.,, hlm. 50.
[8] Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, (Jakarta: P3M, 1991), hlm. 408-409.
[9] Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 97-104.
[10] AH. Ridwan, op. cit.,hlm. 22.
[11] Sumaryono, Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 31.
[12] Kazuo Shimogaki, op. cit., hlm. 14-15.
[13] Ilham Baharudin Saenong, Hermeneutika Pembebasan Hassan Hanafi; MK Metodologi Tafsir al-Quran menurut Hassan Hanafi, (Jakarta: Teraju, 2002), hlm. 80.
[14] Teori pengetahuan Hanafi mempunyai paradigm kebenaran relatif, dengan rasio sebagai sarana untuk mencapai kebenaran. Untuk itu, terjadi sebuah relasi kesadaran subjek dengan realitas objektif. Realitas dipandang sebagai objek sejauh ia dipersepsikan subjek dengan kesadaran. Jadi, terdapat relasi unikatif diantara subjek-objek dan kesadaran. Di sisi lain, dapat disaksikan bahwa Hanafi menyeru manusia untuk menelusuri historisitas aqidah dengan menggunakan nalar hingga tauhid mempunyai ikatan dengan praksis Allah dengan bumi, subjek Ilahiyah dengan subjek insaniyah, sifat-sifat ketuhanan dengan nilai-nilai kemanusiaan, dan kehendak Allah dengan perjalanan sejarah. Tujuan penelusuran rasional ini bukan untuk menyerang orang kafir dan membela aqidah itu sendiri, melainkan untuk menunjukkan bukti-bukti kebenaran internal melalui analisis rasional terhadap pengalaman generasi masa lalu dan cara yang ditempuh untuk mengimplementasikannya. Langkah ini akan mampu memberikan kebenaran eksternal hingga aqidah menjadi inklusif dan diterima orang untuk diterjemahkan dalam dunia. Lihat: Indo Santalia, Paradigma Teologi Antroposentris Hassan Hanafi, Jurnal AL-FIKR: Volume 15 Nomor 3 (2011), hlm. 494-95.
[15] Pilihan paradigmatik untuk mengedepankan Kiri Islam jelas mengacu kepada sebuah analisis kelas yang mendominasi sosialisme yang tidak Marxisme-Leninisme an sich. Sebab ia mencoba memodifikasi Marxisme-Leninisme sebagai tumpuan ide sosialismenya seperti sosialisme Arab. Dikatakan dimodifikasikan karena hakikat materialistik dari Determinisme Historis yang meniscayakan kehancuran ideology-ideologi modern seperti kapitalisme, feodalisme dan kemenangan proletar ditolaknya secara tegas. Determinisme Historis yang meniscayakan kebebasan manusia itu diberi ruh non-materialistik, seperti pemunculan unsur-unsur progresif dalam agama dan pranata lain yang bersifat keruhanian atau kesejarahan.
[16] Listiyono Santoso, dkk., Seri Pemikiran Tokoh Epistemologi Kiri, cet. v, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 272-273.
[17] Kazuo Shimogaki, op. cit., hlm. 15.
[18] Ibid., hlm. 131.
[19] Ilham Baharudin Saenong, op. cit., hlm. 85.
[20] A.H. Ridwan, op. cit., hlm. 83.
[21] Ibid., hlm. 47.
[22] Ibid., hlm. 50.
[23] Ibid., hlm. 51.