Prawacana
Abad
ini merupakan abad baru dalam sejarah dengan benturan-benturan yang kritis dan
cepat merata ke segenap ujung dan pojok dunia. Benturan-benturan tersebut
merupakan produk akal manusia dan aktivitasnya yang kreatif. Dengan itu pula timbul
transformasi sosial dan kultural yang akibatnya terasa dalam kehidupan agama.
Hal utama yang mengakibatkan terjadinya transfomasi sosial adalah perkembangan
sains modern yang telah menimbulkan perubahan luar biasa, baik di bidang
sosial-kultural, ekonomi, politik hingga bidang filsafat dan agama. Perubahan-perubahan
sosial yang dahsyat tersebut berdampak luar biasa dan mengubah cara pandang
keagamaan (religious worldview)
dilingkungan umat Islam maupun umat agama lain. Adanya perubahan-perubahan yang
mempengaruhi karakteristik pola pikir dan pandangan kegamaan tersebut tidak
secara langsung menggugah bagaimana teologi dituntut dapat berperan dan merespons
perubahan tersebut.
Memotret
keberadaan dan peranan teologi Islam di zaman yang banyak berubah seperti yang
sudah disinggung, maka teologi Islam akan terlihat mulai kehilangan peran
vitalnya. Teologi Islam terasa kurang aktual dan kurang relevan dalam merespons
tantangan zaman, sehingga mengalami reduksi fungsionalnya. Teologi Islam
sekarang ini tampak hanya sebagai kekayaan intelektual para pemikir klasik yang
di ‘sucikan’, sehingga objek studinya mengalami stagnansi. Ironisnya,
perdebatan-perdebatan teologi hanya bersifat abstrak, utopis dan ahistoris tanpa melakukan kontekstualisasi dan merumuskannya
dalam formulasi teologi yang cocok dengan realitas sekarang.
Kenyataannya,
konsep-konsep teologi yang berkembang hanya digunakan untuk mempertahankan
dogma-dogma yang bersifat teosentris
daripada mendiskusikan masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan individu dan
sosial manusia yang bersifat
antroposentris. Kalau melihat kembali kepada sejarah masa lalu—dan bisa jadi juga
terjadi pada saat ini—dimana pemikiran teologi
kerap dijadikan persembahan kepada penguasa untuk melanggengkan kekuasaan,
sehingga tidak jarang terjadi pemaksaan dan
pertumpahan darah dalam perjalanannya. Padahal, seharusnya pemikiran teologi bisa
menjadi konsep-konsep yang membebaskan manusia, dan
menjadi dasar utama motivasi manusia
kearah kemandirian, kesadaran dan kemajuan.
Di satu
sisi yang lain, dalam realitas yang nyata didepan hamparan ketidakadilan, teologi
justru tampak kebingungan dalam mengambil tindakan. Bukan hanya karena ia
dikenali dalam soal-soal ritus dan doa-doa, yang oleh Karl Marx disebut sebagai
‘candu’ bagi masyarakat dan
manipulasi atas realitas. Karena dalam hal ini, selain tidak membawa perubahan
bagi kehidupan masyarakat, teologi (agama) justru digunakan untuk melanggengkan
kekuasaan dan hanya untuk mempertahankan status
quo. Intinya bahwa teologi cenderung ritualis, dogmatis dan
metafisis. Padahal, secara substantif bahwa Islam merupakan kekuatan pembebas
terhadap kecenderungan eksploitatif, penindasan dan kedzaliman.
Melihat
kenyataan di atas, dimana teologi Islam klasik tidak memiliki peranan
signifikan dalam menyelesaikan problem kemanusiaan ketika dikontekstualisasikan
dengan perubahan zaman. Oleh karenanya, perlu terobosan baru untuk
mendekonstruksinya adalah sebuah keharusan. Karena dilihat dari shifting paradigm Thomas Kuhn, di dalam teologi Islam saat ini telah menjadi
normal science yang harus dikritisi, dikoreksi dan dibangun kembali karena
telah mengalami anomali-anomali ketika dihadapkan pada realitas kekinian.
Jika ditilik
secara substansial, teologi merupakan pondasi sebuah agama, sedangkan pemikiran teologi dari
seorang ahli teolog akan memberikan efek yang signifikan
pada penganutnya dalam kehidupan konkret.
Karena sebagai pondasi agama tadi, teologi akan
menjadi dasar berperilaku dan penyemangat
kehidupan seseorang. Untuk itu, dibutuhkan konsep teologi yang tidak hanya teosentris,
namun juga antroposentris. Hasan Hanafi
mencoba menafsirkan kembali dalil-dalil teologi
dalam al-Qur’an dan Sunnah dengan metode pemikiran dialektika, fenomenologi dan hermeneutik. Dalil-dalil
teologi tidak lagi dipergunakan Hanafi
untuk membuktikan ke-Maha-an dan kesucian Tuhan, namun digunakan sebagai
tuntutan kepada manusia untuk dapat
mengamalkan konsep dari dalil-dalil tersebut
dalam kehidupan nyata.
Rekonstruksi
Teologi Hasan Hanafi dari teosentris ke antroposentris yang diejawantahkan
dalam gerakan ‘Kiri Islam’. Gerakan Kiri Islam Hasan Hanafi dengan memakai Islam
sebagai kritik dan sebagai alat untuk menghancurkan kedzaliman dan membela wong cilik.
Sehingga kiri Islam Hasan Hanafi telah menginspirasi banyak orang untuk
memikirkan kembali pemikiran teologi yang mempunyai kontribusi positif dalam
perilaku kehidupan umat Islam. Teologi ini yang sering disebut dengan ‘teologi pembebasan’. Memang
aneh kelihatannya, karena secara normatif bahwa teologi lebih cenderung menjadi
kekuatan yang membatasi peran manusia. Namun dimata Hasan Hanafi, teologi
kemudian dipahami sebaliknya, yakni sebagai spirit pembebas manusia dari
kungkungan kekuasaan dengan relasi kuasa manusia dengan sistem yang menindas.
Dari sinilah sisi lain dari ruh Islam, mampu menjadi kekuatan pendobrak dan
pembebas tatanan sosial yang mapan.
A. Sekilas Biografi Hasan
Hanafi
Hassan Hanafi dilahirkan di
Kota Kairo, 13 Februari 1935 M. Keluarganya berasal dari Bani Suwayf, sebuah
provinsi yang berada di Mesir dan ber-urban ke Kairo ibu kota Mesir. Mereka
mempunyai darah keturunan Maroko. Kakeknya berasal dari Maroko, sementara
neneknya dari kabilah Bani Mur yang diantaranya menurunkan Bani Gamal Abd al-Nasser,
Presiden Mesir kedua. Kakeknya memutuskan untuk menetap di Mesir setelah
menikahi neneknya saat singgah di Mesir Tengah ketika pulang dari perjalanan
menunaikan ibadah haji.[1]
Masa kecil Hanafi
berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup di bawah penjajahan dan dominasi
pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu membangkitkan sikap patriotik dan
nasionalismenya sehingga tidak heran meskipun masih berusia 13 tahun, ia telah
mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan perang melawan Israel pada tahun
1948. Ia ditolak oleh pemuda Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu muda.
Di samping itu, ia juga dianggap bukan berasal dari kelompok Pemuda Muslimin.
Ketika masih duduk dibangku sekolah setara SMA, tepatnya pada tahun 1951,
Hanafi menyaksikan langsung bagaimana tentara Inggris membantai para Syuhada di
Terusan Suez.[2]
Bersama-sama para mahasiswa
ia mengabdikan diri untuk membantu revolusi yang telah dimulai pada akhir tahun
1940-an, hingga revolusi itu meletus pada tahun 1952 M. Atas saran-saran
anggota Pemuda Muslim, pada tahun itu pula ia tertarik untuk memasuki
organisasi Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi, ditubuh Ikhwanpun terjadi
perdebatan yang sama dengan apa yang terjadi ketika ingin mendaftarkan diri
menjadi sukarelawan Palistina. Kemudian Hasan Hanafi disarankan oleh para
anggota Ikhwanul untuk bergabung dalam organisasi Mesir Muda. Ternyata keadaan
didalam tubuh Mesir Muda sama dengan kedua organisasi sebelumnya. Hal ini
menyebabkan ketidakpuasan Hasan Hanafi atas cara berfikir kalangan muda Islam
yang terkotak-kotak. Kekecewaannya tersebut menyebabkan ia memutuskan
berkonsentrasi mendalami pemikiran-pemikiran keagamaan, revolusi dan perubahan
sosial. Hal ini juga yang menyebabkan ia lebih tertarik pada
pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb tentang prinsip-prinsip keadilan sosial dalam
Islam.[3]
Kejadian-kejadian yang
dialami pada waktu itu, terutama yang dihadapi dikampus, membuatnya bangkit
menjadi seorang pemikir, pembaharu dan reformis. Keprihatinan yang muncul saat
itu adalah mengapa umat Islam selalu dikalahkan dan mengapa konflik internal
dalam Islam selalu terjadi.[4]
Tahun-tahun berikutnya, Hanafi
berkesempatan untuk belajar di Universitas Sarbone, Prancis pada 1956 M sampai 1966 M. Ia disini memperoleh
lingkungan yang kondusif untuk mencari jawaban atas persoalan-persoalan mendasar
yang dihadapi oleh Negerinya, dan sekaligus merumuskan jawaban-jawabannya.
Negara Prancis adalah tempat melatih dirinya untuk berfikir secara metodelogis
melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan dan karya-karya orientalis. Ia
sempat belajar pada seorang reformis katolik, Jean Guitto tentang metodologi
berfikir, pembaharuan dan sejarah filsafat.[5] Ia belajar fenomenologi
dari Paul Recour, analisis kesadaran dari Husser dan bimbingan penulisan
tentang pembaharuan ushul fikih dari Prof. Masnion. Tidak heran jika di kandang orientalis ia berhasil
menguasai tradisi, pemikiran dan keilmuan Barat dengan cukup baik.[6]
B. Metode Pemikiran Hasan
Hanafi
Semua umat Islam percaya
bahwa ajaran Islam adalah suatu norma yang dapat diadaptasi oleh bangsa apa
saja dan dalam waktu kapan saja (sholikh likulli zaman wa makan). Ajaran inti Islam adalah
tauhid, dan tauhid adalah pandangan dunia dan asal seluruh pengetahuan. Oleh
karena itu, kita harus mengkaji konsep tauhid dan bagaimana pandangan dunia
tauhid itu berfungsi untuk membangun dunia Islam. Kita berupaya menemukan bahwa
tauhid adalah pemikiran yang seluruhnya mempunyai kaitan yang erat. Hanafi
menegaskan bahwa membangkitkan semangat tauhid merupakan suatu keharusan.
Tauhid disini bukanlah pernyataan “keesaan Tuhan” sebagaimana dipahami umat
Islam sebagai antitesis dari konsep Trinitas dalam agama Kristen.
Selanjutnya, Hasan Hanafi
mengajukan konsep baru tentang konsep teologi Islam yang ilmiah dan membumi
sebagai alternatif atas kritiknya bahwa teologi tidak ilmiah dan terkesan
melangit. Tujuannya sudah barang tentu untuk menjadikan teologi tidak sekadar
sebagai dogma keagamaan yang kosong tanpa makna, tetapi menjelma sebagai ilmu
tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara aktual sebagai
landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Karena itu, gagasan Hanafi
berkaitan dengan teologi adalah berusaha untuk mentranformasikan teologi
tradisional yang bersifat teosentris menuju antroposentris, dari Tuhan di
langit kepada manusia di bumi, dari tekstual ke kontekstual, dari teori kepada
tindakan, dari takdir terkungkung kepada takdir kebebasan. Pemikiran ini setidaknya
didasari oleh dua alasan. Pertama, kebutuhan
adanya sebuah ideologi dan teologi yang jelas dan konkrit ditengah pertarungan ideologi-ideologi
global. Kedua, Perlunya bangunan
teologi yang bukan hanya bersifat teoretik, namun juga praktis yang dapat melahirkan
gerakan dalam sejarah.[7]
Hanafi menawarkan dua teori
yang ia gunakan untuk mengatasi kekurangan teologi klasik yang bersifat
teosentris.[8]
Pertama,
analisa
bahasa. Bahasa dan istilah-istilah dalam teologi klasik adalah warisan umat
Islam terdahulu yang seolah-olah menjadi doktrin yang khas yang sudah paten dan
tidak bisa diganggu gugat. Menurut Hanafi, istilah-istilah dalam teologi
sebenarnya tidak hanya mengarah kepada yang transenden dan gaib, tetapi juga mengungkap tentang sifat-sifat dan metode
keilmuan, yang empirik-rasional seperti iman, amal, dan imamah, atau yang historis seperti nubuwah dan juga yang metafisis seperti Tuhan dan akhirat. Kedua, analisa realitas sosial.
Analisis ini diperlukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis
munculnya teologi dimasa lalu dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan
masyarakat atau penganutnya. Selanjutnya, analisa realitas sosial digunakan
untuk menentukan arah dan orientasi teologi kontemporer.
Untuk melandingkan dua
tawarannya tersebut, Hanafi menggunakan tiga metode berfikir, yaitu dialektika,
fenomenologi dan hermeunetik. Dialektika adalah metode pemikiran yang
didasarkan pada asumsi bahwa proses perkembangan sejarah terjadi lewat
konfrontasi dialektis saat tesis melahirkan anti tesis, dan selanjutnya
melahirkan sintesis. Kemudian fenomenologi merupakan gagasan Husserl (1859-1938)
yang merupakan metode berfikir untuk mencari hakikat sebuah fenomena atau
realitas. Hakikat fenomena dapat dicapai menurut Husserl melalui tiga tahap
reduksi. Pertama, reduksi fenomenologis, yaitu suatu objek dipandang apa adanya
tanpa ada prasangka. Kedua, reduksi eidetik,
yaitu menyaring segala sesuatu yang bukan menjadi hakikat objek, untuk mencari
dan mengenal fundamental struktur dari objek. Ketiga, reduksi transendental,
yaitu kesadaran murni agar dengan objek tersebut seseorang dapat mencapai
dirinya sendiri atau bagaimana ide atau gagasan tentang objek tersebut dapat dilaksanakan
dalam upaya untuk kebaikan dan kesempurnaan hidup subjek.[9]
Hanafi menggunakan
fenomenologi untuk menganalisis, memahami dan memetakan realitas-realitas
sosial, politik, ekonomi, realitas dunia Islam dan realitas tantangan Barat
yang diatasnya dibangun sebuah revolusi. Sebagaimana kata-katanya; “sebagai
bagian dari gerakan Islam di Mesir, saya tidak punya pilihan lain kecuali
menggunakan fenomenologi untuk menganalisis Islam di Mesir”.[10] Dengan metode ini, Hanafi
ingin realitas Islam berbicara sendiri mengenai kondisi mereka. Sedangkan Islam
adalah Islam yang harus dilihat dari kaca mata Islam, dan bukan dengan kacamata
Barat.
Hermeneutik merupakan sebuah
cara penafsiran terhadap teks atau simbol yang mensyaratkan adanya kemampuan
untuk menafsirkan kondisi masa lalu yang tidak dialami, kemudian dibawa pada
masa sekarang. Aktifitas penafsirannya terdiri dari tiga segi yang saling
berhubungan, teks, perantara atau penafsir dan penyampaian kepada audiens.
Orang yang melakukan hermeneutik harus mampu menangkap pesan-pesan yang
terdapat dalam teks dan mengenal lingkungan dan masyarakatnya.[11] Hanafi menggunakan metode
hermeneutik untuk membumikan gagasan teologinya yang bersifat antroposentris,
dari teks ke konteks, dari langit ke bumi, dan dari teori ke praktek.
Pada tataran ini, Hanafi
menggunakan metodologi yang lahir dari internal Islam, seperti metodologi ‘aql dan naql. Selanjutnya, dalam rangka
membangun kebebasan, Hanafi lebih banyak menggunakan rasionalisme Mu’tazilah
daripada teori kasb Asy’ariyah dan Jabariyah.
Begitu pula ia menggunakan ushul fiqh dalam mencari sebab-musabab sebuah hukum.
Dari sela-sela ilmu ushul fiqh ini, Hanafi mengetahui masa lampau, masa kini
dan masa depan kaum muslimin. Dari sinilah ia mengeksplorasi triangle teori kesadaran: (1) kesadaran
historis untuk mengetahui validitas teks-teks historis melalui metode-metode
transmisi, (2) kesadaran spekulatif untuk menginterpretasi teks-teks dan memahaminya
melalui analisis bahasa, dan (3) kesadaran praksis untuk signifikansi
nilai-nilai dalam kehidupan praksis. Konsekuensinya adalah bahwa wahyu
ditransformasikan ke dalam sistem-sistem ideal dunia dari celah-celah usaha dan
tindakan manusia, dan tauhid akan disempurnakan sebagai praksis pada akhir
tindakan, bukan dipermulaan, dan Tuhan lebih dekat pada proses “menjadi”
daripada realitas “statis”. Dengan demikian, Hanafi banyak memakai teori klasik
yang berkembang dalam tradisi Islam, tentunya dengan kritisisme yang ketat.
C. Corak Pemikiran Hasan
Hanafi
Untuk mengkaji Kiri Islam
basis pemikiran Hassan hanafi harus dilacak melalui ajaran paling inti dari
Islam itu sendiri, yakni ‘Tauhid’. Karena tauhid adalah basis Islam. Menurut
Hassan Hanafi, untuk membangun kembali peradaban Islam tidak bisa tidak dengan
membangun kembali semangat tauhid. Tauhid adalah pandangan dunia asal seluruh
pengetahuan, karena itu kita harus mengkaji konsep tauhid, dan kita akan
melihat bagaimana fungsi pandangan dunia tauhid itu untuk membangun umat Islam.
Disini kita akan menemukan bahwa tauhid adalah pemikiran yang seluruhnya
merupakan kaitan tali-temali yang erat. Hassan hanafi menegaskan bahwa
membangkitkan semangat tauhid merupakan suatu keniscayaan.[12]
Kiri Islam muncul secara
murni di dunia Islam. Hassan hanafi mengatakan; “Ia diterbitkan di Mesir yang
menjadi pusat dunia Islam dan pusat dunia Arab”. Ditegaskan bahwa basis kiri
Islam adalah Islam. Namun, ketika kita menguji problem politik, ekonomi,
kemasyarakatan, kebudayaan dan pemikiran dalam dunia Islam, maka tidak dapat
diabaikan beberapa hal yang juga menjadi problema di dunia ketiga.
Pemikiran-pemikiran Hassan
Hanafi mengenai Hermeneutika al-Qur’an pada dasarnya tidak dapat dikaji terlepas
dari realitas dunia Arab, terutama Mesir Kontemporer. Kiri Islam sebagai salah
satu momentum dalam perjalanan intelektualnya, dan merupakan respon sadar
Hassan Hanafi terhadap situasi Arab Kontemporer dengan segala pertarungan
ideologis didalamnya. Gerakan pemikiran semacam itu dimaksudkan Hanafi sebagai
usaha untuk melepaskan diri dari segala macam kooptasi agama dan kekuasaan, sembari melakukan kritik terhadap
berbagai corak ideologis yang berkembang di Mesir. Keseluruhan pandangan Hassan
Hanafi mengenai ideologi-ideologi pembangunan yang dipraktikkan di Mesir pada
dasarnya mencerminkan kritisisme akan kuatnya hegemoni Barat dalam merancang
kesadaran politik pemerintahan umat Islam dan justifikasi agama pada aktivisme
politik partisan. Semua ideologi tersebut dipraktikkan tanpa terlebih dahulu
ada upaya-upaya rekonstruksi, sehingga dapat memberi kontribusi bagi tradisi
pemikiran Islam. Dalam konteks semacam inilah pemikiran Hassan Hanafi pada
umumnya, dan Hermeneutika al-Qur’an pada khususnya harus diletakkan.[13]
Cukup jelas dari uraian di
atas bahwa latar belakang intelektual pemikiran-pemikiran Hassan Hanafi adalah
kegagalan eksperimentasi berbagai ideologi pembangunan di Mesir, ia mencoba
menemukan kerangka paradigmatis baru dalam pemikiran pembangunan dalam Islam.
Hanafi berbicara mengenai keharusan bagi Islam untuk mengembangkan wawasan
kehidupan yang progresif, yang berdimensi pembebasan (liberation). Sementara keinginan tersebut hanya dapat
ditegakkan melalui gagasan keadilan sosial dan gerakan ideologis yang
terorganisasi, mengakar dalam tradisi pemikiran Islam dan kesadaran rakyat
sekaligus.
Untuk itu, corak pemikiran
Hanafi sebenarnya hendak membawa dunia Islam bergerak menuju pencerahan yang
menyeluruh. Sebagai anak zaman, Hanafi merupakan sosok pemikir yang unik.[14] Ia tidak dapat dikategorikan
sebagai pemikir tradisional, dikarenakan ia membongkar dan mengkritik pemikiran
tradisional. Ia bukan modernis, karena ia mengkritik modernitas dan menjadikan
wacana tradisional sebagai landasan pemikiran yang diproyeksikan pada masa kini
dan yang akan datang.
D. Konsep Dasar Teologi
Pembebasan Hasan Hanafi
Kontruksi metodologi Hanafi
terbangun oleh kenyataan historis dan konteks zaman yang berpengaruh besar
secara langsung. Hanafi sebagai seorang pemikir Arab nampak sangat dipengaruhi
oleh tradisi pemikiran filsafat marxis, filsafat fenomenologi, filsafat
hermeneutika dan eklektik.[15] Hanafi mencoba menerapkan
metodologinya dalam kerangka membangun kembali tradisi keilmuan Islam.
Rekonstruksi tradisi yang berlaku sepanjang sejarah dan merupakan bagian dari
realitas itu merupakan suatu yang mungkin adanya perubahan sosial.
Hal ini sesuai dengan kerangka
metodologi pemikiran Hanafi yang dalam banyak hal bertumpu pada empat hal tradisi
pemikiran filsafat Marxisme, yaitu melalui metode dialektika, hermeneutika,
fenomenologi dan dialektik. Gagasan Kiri Islam dirancang sedemikian rupa untuk
menggerakkan gerakan revolusioner yang membawakan gagasan pembebasan melalui
penghancuran konstruk lama yang serba reaksioner dari feodalisme dan
kapitalisme yang mencengkeramkan hegemoninya kedalam kesadaran kognitif
masyarakat dunia Timur (Islam). Gerakan ini tidak hanya diarahkan secara
internal berupa reposisi dan pembacaan kembali tradisi sendiri, tetapi juga
eksternal berupa pembacaan atas tradisi lain. Dalam konteks ini, Hassan Hanafi
mulai menabuh genderang perang terhadap produk-produk kebudayaan
Barat yang penuh residu serta mulai memantapkan basis kemapanan epsitemologi
dari tradisi lama.[16]
Memperhatikan kondisi umat Islam
dan pengaruh Barat yang semakin tidak terbendung, Hanafi mengusulkan gerakan
yang revolusioner, ”Kiri Islam” (al-Yasar al-Islami) dengan tiga pilar pokok
dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi tauhid) dan
kesatuaan umat, yaitu; pertama revitalisasi khazanah Islam klasik. Hanafi
menekankan perlunya rasionalisme dalam revitalisasi ini. Rasionalisme merupakan
keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan muslim serta untuk memecahkan
situasi kekinian didalam dunia Islam. Kedua, adalah perlunya menentang peradaban Barat.
Seperti disebutkan di atas, Hanafi mengingatkan pembacanya akan bahayanya kebudayaan
Barat yang hegemoninya bisa menghilangkan kebudayaan bangsa-bangsa lain di
dunia, tidak terkecuali kebudayaan umat Islam. Sebagai langkah ini, ia
mengusulkan “oksidentalisme” sebagai lawan dari “orientalisme” untuk mengakhiri
mitos peradaban Barat. Ketiga, adalah analisis atas realitas dunia Islam.
Untuk analisis ini, ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash), dan mengabaikan realitas.
Ia mengusulkan metode tertentu, agar realitas dunia Islam dapat berbicara bagi
dirinya sendiri.[17]
Ancaman kapitalisme,
imperialisme dan zionisme Barat yang terus membayang-bayangi, bahkan sudah
mencengkeram kuat di dunia Islam sehingga memunculkan kemiskinan,
ketertindasan, keterbelakangan dikalangan umat Islam membutuhkan perhatian
serius agar umat Islam dapat bangkit kembali seperti terdapat dalam lintasan
sejarah, dimana umat Islam menjadi pusat peradaban dunia.
E. Tujuan Pemikiran Hasan
Hanafi tentang Teologi Pembebasan
Misi Kiri Islam sesungguhnya
adalah kebangkitan peradaban universal yang muncul dari dimensi kemajuan
khazanah Islam klasik. Kiri Islam juga bukan merupakan manifesto politik karena
kata ‘kiri’-nya, namun lebih sebagai orasi kebudayaan seperti terlihat dalam
kata Islam. Kiri Islam bermaksud menguak dan menghadirkan kembali foktor
pendongkrak kemajuan Islam dari khazanah Islam, seperti rasionalisme,
naturalism, kebebasan dan demokrasi, serta memunculkan kembali sesuatu yang
telah hilang dari khazanah Islam, yakni manusia dan sejarah.[18]
Hassan Hanafi dalam al-Turats
wa al-Tajdid merumuskan eksperimentasi berdasarakan tiga agenda yang saling
berhubungan secara di daktis. Pertama,
melakukan rekonstruksi tradisi Islam dengan interprestasi kritis dan kritik
sejarah yang tercermin dalam agenda ‘apresiasi terhadap khazanah klasik’ (maluqifuna
min al-qadien). Kedua, menetapkan kembali batas-batas
kultural Barat melalui pendekatan kritis yang mencerminkan ‘sikap kita terhadap
peradaban Barat’, (maluqifuna
min-qharo). Ketiga, upaya membangun sebuah hermeneutika
pembebasan al-Qur'an yang baru mencakup dimensi kebudayaan dari agama dalam
skala global, agenda mana memfokuskan Islam sebagai fondasi ideologis bagi
kemanusiaan modern. Ini mencerminkan sikap kita terhadap realitas (muwqifuna min al-waqi).[19]
Apa yang digagaskan Hanafi
di atas terfokus pada usaha memperjuangkan kebebasan dengan segala dimensinya,
menegakkan pemerintahan demokratis dan mengajarkan bahwa semua manusia
mempunyai hak untuk berperan dalam menentukan corak dan warna negaranya. Hanafi
menegaskan bahwa keterbelakangan merupakan watak murni dunia Islam. Bukan hanya
dalam hal pembangunan, tapi juga keterbelakangan secara menyeluruh menyangkut
struktur sosial atau dalam pandangan dunia bangsa. Kejadian ini tercermin dalam
keterpecahan bangsa-bangsa Islam dalam tribalisme yang seakan bukan umat yang
dipersatukan oleh umat Islam melalui tauhid dan amal shaleh.
Sementara yang paling
berbahaya adalah keterbelakangan budaya dalam kaitannya dengan pandangan dunia
manusia, perilaku bangsa dan dalam sistem sosial dan ekonomi. Selain
keterbelakangan budaya, juga bentuk keterbelakangan pemikiran, yaitu pandangan
dunia yang dualistik, hirarkis-piramidal dan mistis-mitologis.
Dalam konteks ini, maka
tugas reaktualisasi (Kiri Islam) adalah menguak misi kesejarahan Islam dan
menstransformasikan mayoritas rakyatnya dari kerangkeng kuantitatif kepada tataran kualitatif, dan membangun
masyarkat partisipatif-egaliter dengan cara bertolak dari konsep tauhid yang
memiliki efek pembebasan. Pembebasan dari pandangan dunia yang dualistik,
hirarkis-piramidal dan mistis-mitologis.[20]
Hanafi telah menjelaskan
dimensi sosial pembebasan dari gagasan reaktualisasi keilmuwan Islam lewat Kiri
Islam ini. Sehingga Hanafi mengidealkan, bahwa Islam adalah untuk kepentingan
seluruh umat manusia. Hanafi yakin bahwa Islam dapat membawa perubahan terhadap
penganutnya sebagaimana yang telah dialami oleh bangsa Arab dengan mengubah
ide-ide dan rekonstruksi tradisi-tradisi. Karenanya, reaktualisasi tradisi
keilmuwan Islam adalah sebagai sarana untuk mendukung upaya perbaikan kehidupan
yang akan membawa implikasi pada usaha pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan
umat Islam.
F. Teologi Revolusioner Hasan Hanafi
Secara historis, teologi
telah menyingkap adanya benturan berbagai kepentingan, dan ia syarat dengan
konflik sosial politik. Teologi klasik (tradisional) telah gagal pada dua
tingkat. Pertama, pada tingkat teoretis, telah gagal mendapat pembuktian
ilmiah dan filosofis. Kedua, pada tingkat praxis, gagal karena hanya
menciptakan apatisme dan negativisme.
Teologi tradisional memang
merupakan sejarah persembahan kepada sang penguasa, pengabdian pada para
sultan. Memuji sultan berarti memuji Tuhan. Karena demikian, maka agama yang
sesungguhnya memiliki fungsi pembebasan dan kontrol social telah jatuh
kedudukannya menjadi sekedar instrumen legitimasi bagi status quo.[21]
Bagi Hanafi, adalah mungkin
untuk memfungsikan teologi menjadi ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masa kini,
yaitu melakukan rekonstruksi dan revisi, serta dibangun kembali epistemologi
lama yang rancu dan palsu kepada epistemologi baru yang shahih dan lebih
signifikan.
Tujuan rekonstruksi teologi
Hanafi adalah menjadikan teologi tidak sekedar sebagai dogma-dogma keagamaan
yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, yang
menjadikan keimanan-keimanan tradisional berfungsi secara aktual sebagai
landasan etik dan motivasi tindakan manusia.
Hanafi hendak mengendalikan
agama pada fungsinya yang semula, yaitu sebagai landasan etik-teoretis dan
motivasi bertindak menuju revolusi dan transformasi sosial. Langkah Hanafi
melakukan rekontruksi teologi dilatari oleh tiga hal. Pertama, kebutuhan
akan adanya sebuah ideologi yang jelas ditengah-tengah pertarungan global
antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru ini bukan
semata pada sisi teoretiknya, melainkan juga terletak pada kepentingan praktis
untuk secara nyata mewujudkan ideologi sebagai gerakkan dalam sejarah. Salah
satu kepentingan teologi ini adalah memecahkan problem pendudukan tanah di
negara-negara muslim. Ketiga, kepentingan teologi yang bersifat praktis
(‘amaliyah fi’liyah), yaitu secara nyata
diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam. Hanafi
menghendaki adanya “teologi dunia”, yaitu teologi baru yang dapat mempersatukan
umat Islam dibawah satu orde.
Rekonstruksi teologi bagi
Hanafi adalah salah satu cara yang musti ditempuh jika diharapkan teologi dapat
memberikan sumbangan yang konkrit bagi sejarah kemanusiaan. Kepentingan
rekonstruksi itu pertama-tama untuk mentransformasikan teologi menuju
antropologi, menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara
eksistensial, kognitif maupun kesejarahan.[22]
Selanjutnya Hanafi
menawarkan dua hal guna memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam teologi Islam.
Pertama, analisa bahasa. Bahasa serta istilah-istilah dalam teologi
tradisional adalah warisan nenek moyang dibidang teologi yang merupakan bahasa
khas yang seolah-olah sudah menjadi ketentuan sejak dulu. Teologi tradisional
memiliki istilah-istilah khas seperti Allah, Iman, akhirat. Menurut Hanafi,
semua ini sebenarnnya menyingkap sifat-sifat dan metode keilmuwan, ada yang
empirik-rasional seperti iman, amal dan imamah,
dan ada yang historis seperti nubuwah
serta ada pula yang metafisik seperti Allah dan akhirat.
Kedua, analisa realitas. Analisa
ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang histori-sosiologis munculnya
teologi di masa lalu, mendeskripsikannya pengaruh-pengaruh nyata teologi bagi
kehidupan masyarakat, dan bagaimana ia punya kekuatan mengarahkan terhadap
perilaku para pendukungnya. Analisa realitas
ini berguna untuk menentukan stressing ke arah mana teologi kontemporer
harus diorientasikan.[23]
Dari tawaran konsep di
atas, Hanafi mencoba melakukan penafsiran ulang secara metaforis-analogis
terhadap tema-tema teologi tradisional, setelah sebelumnya membongkar
kelemahan-kelemahan serta mengkonstruksikannya kembali epistemologi dan
ontologi teologi.
Konklusi
Ketertindasan
menjadi fenomena umum masyarakat muslim, baik itu yang dilakukan oleh umat
Islam sendiri maupun non muslim. Islam harus mampu menjadi teologi pembebasan,
yang mampu mengeluarkan umatnya dari kungkungan penindasan. Sedangkan dari segi
keterbelakangan, Islam harus mampu menjadi pemantik munculnya gagasan
pengetahuan yang inovatif, yang mampu menjadi sumber peradaban dunia dalam
rangka mengejar ketertinggalan.
Meskipun
gagasan kiri Islam Hasan Hanafi ini terkesan radikal, namun semangat pembebasan
Kiri Islam ini sudah selayaknya menjadi ‘girah’
perjuangan umat Islam dalam rangka membangun misi Islam sebagai rahmat semesta
alam. Walhasil, perkembangan kuantitas masyarakat muslim—yang luar biasa pesat
ini—harus diimbangi dengan kualitas umat Islam yang akan mampu mengembalikan
kejayaan Islam, dan menghadirkan kembali misi awal Islam sebagai agama
pembebas.
Intinya bahwa
Islam sebagai spirit yang mampu menjadi pijakan dalam membangun sistem sosial
yang adil. Memposisikan Islam sebagai sebuah teologi kritis akan mampu
menghasilkan paradigma keberagamaan yang berkeadilan. Relasi kuasa yang
diskriminatif harus mampu diubah melalui paradigma keberagamaan yang kritis.
Referensi:
A.H. Ridwan. (1998). Reformasi
Intelektual Islam; Pemikiran Hasan Hanafi Tentang Reaktualisasi Tradisi Islam
Keilmuan Islam. Yogyakarta: ITTAQA Press.
Hassan Baharu, Akmal
Mundiri, dkk., (2014). Metodologi studi Islam, Percikan Pemikiran tokoh
dalam Membumikan Agama. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Hassan Hanafi. (1991). Agama, Ideologi dan
Pembangunan. Jakarta:
P3M.
Ilham Baharudin Saenong.
(2002). Hermeneutika Pembebasan Hassan Hanafi; MK Metodologi Tafsir al-Qur’an menurut Hassan Hanafi. Jakarta: Teraju.
Jhon L. Esposito dan Jhon
O. Voll, (2002). Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, terj. Hermawan,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Joko Siswanto. (1998). Sistem-Sistem Metafisika
Barat. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998
Kazuo Shimogoki. (1993). Kiri Islam Antara Modernisme dan Post Modernisme; Telaah
Kritis atas Pemikiran Hassan Hanafi. Yogyakarta: LKiS.
Listiyono Santoso. dkk.
(2007). Seri Pemikiran Tokoh Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Sumaryono. (1993). Hermeneutik Sebuah Metode
Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius.
[1] Hassan Baharu, Akmal Mundiri, dkk., Metodologi studi
Islam; Percikan Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama, cet. III, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2014), hlm. 186-187.
[2] Ibid.,
hlm. 166-167.
[3] A.H. Ridwan, Reformasi Intelektual
Islam; Pemikiran Hasan Hanafi Tentang Reaktualisasi Tradisi Islam Keilmuan
Islam, (Yogyakarta: ITTAQA Press, 1998), hlm. 18.
[4] Kazuo Shimogoki, Kiri
Islam Antara Modernisme dan Post Modernisme; Telaah Kritis atas Pemikiran
Hassan Hanafi, (Yogyakarta: LKiS, 1993), hlm. 4.
[5] Hasan Hanafi mendiskripsikan “guru saya” yang
bertanggungjawab atas semua formasi filosofis saya adalah Jean Guitton, seorang
professor ilmu filsafat di Sarbone dan seorang pemimpin modernis Katolik Roma.
Jean Guitton bertindak sebagai pembimbing Hasan Hanafi melalui membaca dan
mempelajari Filsafat Barat. Ia juga memberikan panduan kepada Hasan Hanafi
dalam masalah-masalah praktis seperti bagaimana memberikan kuliah umum dan
metode-metode penelitian. Jean Guitton pernah ke Mesir (1930-an) yang paling
tidak memiliki gambaran sedikit tentang Mesir. Metode dan perspektif Jean
Guitton membantu mengembangkan pemahaman Hasan Hanafi terhadap pendekatan-pendekatan
untuk rekonsiliasi posisi yang berbeda. Hasan Hanafi sendiri mendiskripsikan
dirinya sendiri sebagai bangunan di atas Jean Guitton dan kemudian menjulang
tinggi. Diskripsi ini menggambarkan perkembangan pemikiran Jean Guitton dari
kesadaran individu menuju kesadaran sosial, dari kanan ke kiri dan dari agama
ke revolusi. Saya gunakan kritik yang berhubungan dengan kitab Injil secara
negatif dan dia memakainya secara positif untuk memperhatikan sebuah kebenaran.
Saya hidup untuk teologi kebebasan, sedangkan dia takut orang-orang akan
berubah ke Marxisme dan kekerasan, dan elemen-elemen asing itu mungkin memasuki
kebenaran otentik. Jhon L. Esposito dan Jhon O. Voll, Tokoh Kunci Gerakan
Islam Kontemporer, terj. Hermawan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002),
hlm. 75-76.
[9] Joko Siswanto, Sistem-Sistem
Metafisika Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998),
hlm. 97-104.
[13] Ilham Baharudin Saenong, Hermeneutika Pembebasan Hassan
Hanafi; MK Metodologi Tafsir al-Qur’an
menurut Hassan Hanafi, (Jakarta: Teraju,
2002), hlm. 80.
[14] Teori pengetahuan Hanafi mempunyai paradigm kebenaran
relatif, dengan rasio sebagai sarana untuk mencapai kebenaran. Untuk itu,
terjadi sebuah relasi kesadaran subjek dengan realitas objektif. Realitas
dipandang sebagai objek sejauh ia dipersepsikan subjek dengan kesadaran. Jadi,
terdapat relasi unikatif diantara
subjek-objek dan kesadaran. Di sisi lain, dapat disaksikan bahwa Hanafi menyeru
manusia untuk menelusuri historisitas aqidah dengan menggunakan nalar hingga
tauhid mempunyai ikatan dengan praksis Allah dengan bumi, subjek Ilahiyah dengan subjek insaniyah, sifat-sifat ketuhanan dengan
nilai-nilai kemanusiaan, dan kehendak Allah dengan perjalanan sejarah. Tujuan
penelusuran rasional ini bukan untuk menyerang orang kafir dan membela aqidah
itu sendiri, melainkan untuk menunjukkan bukti-bukti kebenaran internal melalui
analisis rasional terhadap pengalaman generasi masa lalu dan cara yang ditempuh
untuk mengimplementasikannya. Langkah ini akan mampu memberikan kebenaran
eksternal hingga aqidah menjadi inklusif dan diterima orang untuk diterjemahkan
dalam dunia. Lihat: Indo Santalia, Paradigma Teologi Antroposentris Hassan
Hanafi, Jurnal AL-FIKR: Volume
15 Nomor 3 (2011), hlm. 494-95.
[15] Pilihan paradigmatik untuk mengedepankan Kiri Islam jelas
mengacu kepada sebuah analisis kelas yang mendominasi sosialisme yang tidak
Marxisme-Leninisme an sich. Sebab ia mencoba memodifikasi
Marxisme-Leninisme sebagai tumpuan ide sosialismenya seperti sosialisme Arab.
Dikatakan dimodifikasikan karena hakikat materialistik dari Determinisme
Historis yang meniscayakan kehancuran ideology-ideologi modern seperti
kapitalisme, feodalisme dan kemenangan proletar ditolaknya secara tegas.
Determinisme Historis yang meniscayakan kebebasan manusia itu diberi ruh
non-materialistik, seperti pemunculan unsur-unsur progresif dalam agama dan
pranata lain yang bersifat keruhanian atau kesejarahan.
[16] Listiyono Santoso, dkk., Seri Pemikiran Tokoh
Epistemologi Kiri, cet. v, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 272-273.
[18] Ibid.,
hlm. 131.
[21] Ibid.,
hlm. 47.
[22] Ibid.,
hlm. 50.
[23] Ibid.,
hlm. 51.