Saturday, March 02, 2019

FILSAFAT ISLAM

Prawacana
Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Cara yang ditempuh manusia antara lain adalah dengan alam rasio seperti para rasionalis, serta melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang melewati penalaran rasional, sehingga kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti oleh manusia.

Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal menangkap kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda. Pengetahuan indrawi merupakan struktur terendah dalam struktur tersebut. Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif yang biasa disebut dengan filsafat. Oleh karenanya dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat bararti alam pikiran atau alam berpikir, sehingga berfilsafat itu berarti berpikir. Namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat, karena berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh.

Filsafat Islam adalah filsafat yang seluruh cendikiawannya adalah muslim. Terdapat sejumlah perbedaan mendasar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani—terutama Aristoteles dan Plato—namun kemudian mereka menyesuaikannya dengan ajaran agama Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Jika filsafat lain masih mencari Tuhan, namun dalam filsafat Islam Tuhan justru sudah ditemukan. Jika pembahasan dalam filsafat Islam hanya berkutat pada persoalan tentang Tuhan, tentu tidak akan ada titik finalnya. Maka dari itu, para filsuf Islam lebih memusatkan perhatiannya pada manusia dan alam.

Selanjutnya, filsafat Islam merupakan pekembangan pemikiran umat Islam dalam dunia Islam untuk menjawab tantangan zaman disertai dengan ajaran Islam itu sendiri. Filsafat Islam juga merupakan hasil pemikiran umat Islam secara keseluruhan. Pemikiran Islam adalah pemikiran yang khas, lain dari pada yang lain. Sebab pemikiran Islam berasal dari wahyu atau bersandarkan pada penjelasan wahyu, sedangkan pemikiran-pemikiran yang lain yang berkembang diantara manusia, baik itu berupa agama-agama non samawi, ideologi-ideologi politik dan ekonomi, maupun teori-teori sosial sekedar muncul dari kejeniusan berfikir manusia yang melahirkannya.

Oleh sebab itu, mengkaji studi filsafat Islam berarti mengenal esensi dan sejarah filsafat Islam yang unik, dan merupakan ciri khas peradaban Islam. Selain dari pada itu, untuk memperlakukan filsafat Islam secara eksklusif sebagai sebuah transformasi dan dokumentasi keilmuan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Filsafat Islam juga berguna untuk melihat secara keseluruhan sisi-sisi yang berbeda dari filsafat secara komprehensif dan general.
A.      Pengertian Filsafat Islam
Menurut Bagir, sebagaimana dikutip oleh Maftukhin, filsafat Islam dapat dilihat sebagai gabungan antara pemikiran liberal dan agama. Ia dapat disebut liberal dalam hal pengandalannya pada kebenaran-kebenaran primer dan metode demonstrasional untuk membangun argumentasi-argumentasinya. Pada saat yang sama, pengaruh keyakinan religius atau quasi religius amat dominan, baik dalam penerimaan kesepakatan mengenai apa yang dianggap sebagai kebenaran-kebenaran primer tersebut, maupun dalam pemilihan premis-premis tersebut atau dalam pemilihan premis-premis lanjut dalam silogisme mereka.[1]

Filsafat Islam merupakan gabungan dari dua kata, yaitu filsafat dan Islam.[2] filsafat Islam (Islamic philosophy) pada hakikatnya adalah filsafat yang bercorak Islami. Secara bahasa, filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘philosophia’. Kata tersebut berangkai dari kata ‘philein’ yang berarti mencintai, dan ‘sophia’ yang berarti kebijaksanaan. Untuk itu, philosophia dapat diartikan dengan ‘cinta akan kebijaksanaan’ (Inggris: love of wisdom, Belanda: wijsbegeerte, Arab: muhibbun al hikmah). Kemudian orang yang berfilsafat atau orang yang melakukan filsafat disebut dengan ‘filosof’, yang artinya pecinta kebijaksanaan.[3]

Sedangkan kata Islam, secara semantik berasal dari akar kata ‘salima yang berarti menyerah, tunduk dan selamat. Islam juga dapat diartikan dengan penyerahan diri kepada Allah, dengan menyerahkan diri kepada-Nya maka ia memperoleh keselamatan dan kedamaian.[4] Jadi, filsafat Islam berarti berpikir dengan bebas dan radikal, namun tetap berada pada makna yang mempunyai sifat, corak dan karakter yang menyelamatkan dan memberi kedamaian hati.[5] Untuk itu, filsafat Islam merupakan hasil pemikiran filsuf Islam tentang ketuhanan, kenabian, manusia dan alam yang disinari ajaran Islam, serta suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis.

Dari uraian dan penjelasan tersebut di atas, dapatlah ditarik kesimpulan secara sederhana bahwa filsafat Islam adalah suatu ilmu yang dicelup ajaran Islam dalam membahas tentang hakikat kebenaran segala sesuatu, dan untuk memperoleh kedamaian dan kebijaksanaan.

Banyak dari kalangan para ahli berbeda pendapat dalam menamakan filsafat dalam Islam. Apakah dengan nama ‘filsafat Islam’ ataukah ‘filsafat Arab’ atau ada nama lain selain kedua istilah tersebut. Dalam kaitan ini, Mu’in berpendapat bahwa apabila filsafat dalam Islam disebut dengan filsafat Arab, berarti mengeluarkan orang Iran, Afganistan, Pakistan dan India. Sehingga beliau memilih nama yaitu filsafat Islam.[6]

Sebenarnya perbedaan istilah tersebut hanyalah perbedaan nama saja, karena bagaimanapun juga hidup dan suburnya pemikiran filsafat Islam adalah dibawah naungan Islam dan kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab. Kalaupun yang dimaksud adalah filsafat Arab dan merupakan hasil karya dari orang-orang Arab semata-mata, maka istilah kata itu tidaklah benar. Karena filsafat Islam merupakan hasil karya dari para filosof muslim dan dibawah naungan Islam.
B.      Filsafat Islam dalam Historisitas
Dalam sejarah, pertemuan Islam (kaum muslimin) dengan filsafat terjadi pada abad ke-8 Masehi atau abad ke-2 Hijriah, pada saat Islam berhasil mengembangkan sayapnya dan menjangkau daerah-daerah baru. Dalam abad pertengahan, filsafat dikuasai oleh umat Islam. Buku-buku filsafat Yunani, diseleksi dan disadur seperlunya, serta diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Minat dan gairah mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan waktu itu begitu tinggi karena pemerintahlah yang menjadi pelopor serta pioner utamanya. Dua imperium besar pada masa itu, yakni Bani Abbasiyah dengan ibu kotanya di Baghdad (di Timur), dan Bani Umayyah dengan ibu kotanya di Kordova (di Barat) menjadi pusat peradaban dunia yang menghasilkan banyak orang bergelut dalam dunia kefilsafatan. Untuk mengetahui sejarah perkembangan filsafat Islam, maka kehadiran para filosof muslim dalam dunia kefilsafatan dari masa kemasa harus ditelusuri.[7]

Dalam sejarah perkembangan filsafat Islam, filosof pertama yang lahir dalam dunia Islam adalah al-Kindi (796-873 M). Ide-ide al-Kindi dalam filsafat misalnya, filsafat dan agama tidak mungkin ada pertentangan. Cabang termulia dari filsafat adalah ilmu tauhid atau teologi. Filsafat membahas kebenaran atau hakekat. Kalau ada hakekat-hakekat mesti ada hakekat pertama ( الأول الحق ), yakni Tuhan. Ia juga membicarakan tentang jiwa dan akal. Filosof besar kedua dalam sejarah perkembangan filsafat Islam ialah al-Farabi (872-950 M). Dia banyak menulis buku-buku tentang logika, etika, ilmu jiwa dan sebagainya. Ia menulis buku tentang ‘Persamaan Plato dan Aristoteles’. Sebagai wujud keyakinan beliau bahwa filsafat Aristoteles dan Plato dapat disatukan. Filsafatnya yang terkenal adalah ‘filsafat emanasi’.[8] Selanjutnya, filosof setelah al-Farabi adalah Ibnu Sina (980-1037 M). Nama Ibnu Sina terkenal akibat dua karangan beliau, yakni al-Qanun Fiy al-Tibb yang merupakan Ensiklopedia tentang ilmu kedokteran yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12 M, dan menjadi buku pegangan di universitas-universitas Eropa, dan al-Syifa al-Qanun yang merupakan Einsiklopedia tentang filsafat Aristoteles dan ilmu pengetahuan. Di dunia Barat, beliau dikenal dengan Avicenna (Spanyol Aven Sina) dan popularitasnya di dunia Barat sebagai dokter melampau popularitasnya sebagai filosof, sehingga ia diberi gelar dengan ‘the Prince of the Physicians’. Di dunia Islam sendiri, ia diberi gelar al-Syaikh al-Ra’is atau pemimpin utama dari filosof-filosof.[9]

Filosof selanjutnya adalah Ibnu Miskawaih (W. 1030 M). Beliau lebih dikenal dengan filsafat akhlaknya yang tetuang dalam bukunya, yaitu Tahzib al-Akhlak. Menurutnya, akhlak adalah sikap mental atau jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan tanpa pemikiran yang dibawa sejak lahir. Kemudian ia berpendapat bahwa jiwa tidak berbentuk jasmani dan mempunyai bentuk tersendiri. Jiwa memiliki tiga daya yang pembagiannya sama dengan pembagian al-Kindi. Kesempurnaan yang dicari oleh manusia ialah kebajikan dalam bentuk ilmu pengetahuan dan tidak tunduk pada hawa nafsu serta keberanian dan keadilan. Filosof berikutnya adalah al-Ghazali. Selain filosof, al-Gazali juga termasuk sufi. Jalan yang ditempuh al-Ghazali diakhir masa hidupnya meninggalkan perasaan syak yang sebelumnya mengganggu jiwanya. Keyakinan yang hilang dahulu ia peroleh kembali.

Berdasar dari uraian tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa perkembangan filsafat Islam pada mulanya terwariskan dari karangan-karangan filosof Yunani, kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Latin, dan berpengaruh bagi ahli-ahli fikir Eropa.[10]

Selanjutnya, perkembangan filsafat Islam hidup dan memainkan peran signifikan dalam kehidupan intelektual dunia Islam. Jamal al-Din al-Afgani, seorang murid Mazhab Mulla Shadra saat di Persia, menghidupkan kembali kajian filsafat Islam di Mesir. Di Mesir, sebagian tokoh agama dan intelektual terkemuka seperti Abd. al-Halim Mahmud, Syaikh al-Azhar al-marhum, menjadi pengikutnya. Filsafat Islam di Persia, juga terus berkembang dan memainkan peran yang sangat penting meskipun terdapat pertentangan dari kelompok ulama Syiah. Tetapi patut dicatat bahwa Ayatullah Khoemeni, juga mempelajari dan mengajarkan al-hikmah (filsafat Islam) selama berpuluh puluh tahun di Qum, sebelum memasuki arena politik, dan juga Murtadha Muthahhari, pemimpin pertama Dewan Revolusi Islam, setelah revolusi Iran 1979, adalah seorang filosof terkemuka. Demikian pula di Irak, Muhammad Baqir al-Shadr, pemimpin politik dan agama yang terkenal juga pakar filsafat Islam.[11]
C.      Ruang Lingkup Filsafat Islam
1.          Obyek Material-Formal Filsafat Islam
Obyek filsafat Islam adalah menelaah hakikat tentang Tuhan, tentang manusia dan tentang segala realitas yang nampak dihadapan manusia. Adapun obyek bahasan filsafat terbagi menjadi tiga bahasan pokok, yaitu:
a.        Al-wujud (ontologi)
Pembahasan ontologi mencakup hakikat segala yang ada (al-manjudad).
b.        Al-ma’rifat (epistimologi)
Pembahasan epistimologi bersangkutan dengan hakikat pengetahuan dan cara bagaimana, atau dengan sarana apa pengetahuan dapat diperoleh.
c.         Al-Qayyim (aksiologi)
Pembahasan aksiologi bersangkutan dengan hakikat nilai.[12]
2.         Aliran-Aliran dalam Filsafat Islam
a)       Aliran Paripatetik
Secara harfiah, paripatetik (masysya'iyah) berarti jalan mondar-mandir. penamaan aliran ini sangat jelas terpengaruh oleh pemikiran Yunani yang dibangun oleh Aristoteles dan Plato. meskipun banyak melakukan revisi terhadap pemikiran Yunani, aliran ini dibangun atas dasar Aristotellanisme dan Neo Platonis. Aliran paripatetik dinisbatkan kepada tokoh-tokoh filsuf Islam generasi awal, diantaranya adalah Al-Farabi dan Ibn Sina. Aliran ini sangat menekankan metode diskursif-demonstratif dengan menekankan pada aspek rasionalitas manusia.
b)       Aliran Hikmah Isyraqiyah (iluminasi)
Aliran iluminasi menurut berbagai sumber didasarkan pada ajaran Plato. Aliran ini dinisbatkan pada seorang filsuf-sufi Islam, yaitu syihabudin suhrawardi al-maqtul. Secara epistemologi, aliran ini sangat menekankan perolehan kebenaran melalui pengalaman intuitif, kemudian mengelaborasi dan memverifikasinya secara logis.

Mengenai proses mendapatkan pengetahuan yang dalam bahasa iluminasi disebut dengan pencerahan (isyraq), menurut suhrawardi ada empat tahapan yang dilalui yaitu:
1)         Tahap pertama adalah pembebasan diri dari kecenderungan-kecenderungan duniawi untuk menerima pengalaman Ilahi.
2)       Tahap iluminasi, yaitu tahapan ketika manusia mendapatkan penglihatan akan sinar ketuhanan, serta mendapatkan apa yang disebut dengan cahaya ilham.
3)        Tahap diskursif, yaitu pengetahuan yang didapatkan dengan pencerahan, kemudian dikonstruksi melalui premis-premis yang didasarkan pada logika diskursif.
4)       Tahap keempat, yaitu tahapan pembahasan dan penulisan.
3.         Aliran Teosofi Transendental
Teosofi transendental merupakan aliran filsafat Islam yang didirikan oleh Mulla Shadra. Dalam merumuskan alirannya ia berusaha memadukan konsep-konsep pemikiran Islam yang telah dibangun sebelumnya, yaitu pemikiran kalam, paripatetik, ilmunisasi dan sufisme.

Secara epistemologi, teosofi transendental menekankan tiga prinsip utama dalam perolehan ilmu pengetahuan yaitu:
a)       Intuisi intelektual atau isyraq;
b)       Pembuktian rasional secara deduktif-silogistik;
c)        Syari’at dalam hal ini nash al-Qur'an dan hadits.

Dengan demikian, filsafat hikmah atau teosofi transendental adalah kebijaksanaan yang diperoleh melalui pencerahan spiritual atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk argumentasi yang rasional, serta didasarkan pada nash-nash Islam.

Klasifikasi pengetahuan, dalam pandangan pemikir muslim, khususnya pemikir teosofi transendental, secara umum terbagi menjadi dua, yaitu:
a)       Ilmu hushuli (knowledge by represence), yaitu pengetahuan manusia yang masih menggunakan perantara antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui mengalami keterpisahan.
b)       Ilmu hudhuri (knowledge by presence), yaitu pengetahuan manusia yang tidak menggunakan perantara, objek pengetahuan hadir dalam jiwa manusia sebagai subjek yang mengetahui.[13]

D.     Konklusi
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna diantara mahluk ciptaan lain. Karena dalam dirinya dibekali akal yang sempurna. Sehingga, masalah yang ada didalam kehidupan ini dapat di pecahkan oleh manusia dengan cara berpikir sedalam dan seakurat mungkin. Pada hakikatnya filsafat adalah suatu ilmu yang diciptakan untuk mencari kebenaran yang sebenar-benarnya. Namun di sisi lain banyak pandangan yang berbeda diantara masyarakat, dimana mereka enggan untuk mempelajari filsafat. Banyak argumen konotatif yang menyebabkan mereka enggan belajar filsafat, entah itu dari doktrin dari kebudayaan masyarakat, ataukah doktrin agama yang dianutnya yang dianggapnya sebagai kebenaran dan sekaligus patokan kebenaran multlak untuk mencari sebuah hukum kebenaran itu sendiri. Hal seperti itu tidak lepas dari ciri ataupun sifat filsafat itu sendiri yang bercorak bebas dan radikal dalam proses berfilsafatnya. Padahal, sejatinya bahwa filsafat itu sendiri bertujuan untuk mencari hakikat sebuah kebenaran.
Dalam Islam, sejatinya memperbolehkan penganutnya untuk berfilsafat. Karena pada hakikatnya bahwa agama Islam adalah agama yang menganjurkan untuk mencari kebenaran dan mengarahkan penganutnya kejalan yang benar. Sama halnya dengan filsafat, yang dalam pengertiannya adalah jalan berfikir untuk mencari hakikat kebenaran. Maka dari itu, filsafat Islam pada dasarnya merupakan sebuah jalam pemikiran yang berada dibawah naungan Islam itu sendiri, dan berusaha untuk mencari dan menemukan kebenaran secara hakiki sebagaimana ajaran Islam itu sendiri.

Referensi:
Ambi Ricko, Makalah Sejaran Pemikiran Islam, dalam http://www.academia.edu/5103093/Makalah-Sejarah-Pemikiran-Islam.
A.  Mustofa. (2004). Filsafat Islam. Bandung: Pustaka setia.
Hasyimsyah Nasution. (1999). Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Hendi Suhendi. (1999). Perspektif Filsafat Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Maftukhin. (2012). Filsafat Islam. Yogyakarta: Teras.
Musa Asy’arie. (2002). Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta: LESFI.
Sirajuddin Zar. (2004). Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Rajawali Pers.
Zaprulkhan. (2014). Filsafat Islam; Sebuah KajianTematik. Jakarta: Raja Grafindo Persada.



[1] Maftukhin, Filsafat Islam, cet. I, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 5. Lihat juga: Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung: Arasy, 2005), hlm. 74.
[2] Musa Asy’arie, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, cet. I, (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm. 1.
[3] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, cet. I, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 1.
[4] Musa Asy’arie, op. cit., hlm. 5.
[5] Ibid., hlm. 6.
[6] A. Mustofa, Filsafat Islam, cet. I, (Bandung: Pustaka setia, 2004), hlm. 17.
[7] Zaprulkhan, Filsafat Islam; Sebuah KajianTematik, cet. II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 5.
[8] Emanasi berkaitan dengan bahasan penciptaan. Bahwa penciptaan alam semesta ini tidak lain merupakan pancaran dari yang satu. Sedangkan dalam filsafat, emanasi adalah proses terjadinya wujud yang beraneka ragam, baik langsung ataupun tidak langsung, bersifat jiwa atau materi, berasal dari wujud yang menjadi sumber dari segala sesuatu, yakni Tuhan yang menjadi sebab dari segala yang ada, karenanya setiap wujud ini merupakan bagian dari Tuhan.
[9] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, cet. I, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hlm. 37-221.
[10] Ambi Ricko, Makalah Sejaran Pemikiran Islam, dalam http://www.academia.edu/5103093/Makalah-Sejarah-Pemikiran-Islam.
[11] Hasyimsyah Nasution, op. cit., hlm. 5.
[12] Sirajuddin Zar, op. cit., hlm. 6-8.
[13] Hendi Suhendi, Perspektif Filsafat Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 223.
Previous Post
Next Post

Penulis yang mengabdikan tulisannya bagi amal jariyah pemikiran. Tokoh favorit sekaligus panutannya adalah Gus Dur