Prawacana
Manusia
selalu berusaha menemukan kebenaran. Cara yang ditempuh manusia antara lain adalah
dengan alam rasio seperti para rasionalis, serta melalui pengalaman atau
empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan
prinsip-prinsip yang melewati penalaran rasional, sehingga kejadian-kejadian
yang berlaku di alam itu dapat dimengerti oleh manusia.
Struktur
pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal menangkap
kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut menunjukkan
tingkat kebenaran yang berbeda. Pengetahuan indrawi
merupakan struktur terendah dalam struktur tersebut. Tingkat pengetahuan yang
lebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif yang biasa disebut dengan filsafat. Oleh karenanya dilihat
dari pengertian praktisnya, filsafat bararti alam pikiran atau alam berpikir,
sehingga berfilsafat itu berarti berpikir. Namun tidak semua berpikir berarti
berfilsafat, karena berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan
sungguh-sungguh.
Filsafat Islam adalah filsafat yang seluruh cendikiawannya adalah
muslim. Terdapat sejumlah perbedaan mendasar antara filsafat Islam dengan
filsafat lain. Pertama, meski semula
filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani—terutama
Aristoteles dan Plato—namun kemudian mereka menyesuaikannya dengan ajaran agama Islam.
Kedua, Islam adalah agama tauhid. Jika filsafat lain masih mencari Tuhan, namun dalam filsafat Islam Tuhan justru sudah ditemukan. Jika pembahasan dalam filsafat Islam hanya berkutat pada persoalan tentang Tuhan, tentu tidak akan ada titik finalnya. Maka dari itu, para filsuf
Islam lebih memusatkan perhatiannya pada manusia dan alam.
Selanjutnya, filsafat Islam merupakan
pekembangan pemikiran umat Islam dalam dunia Islam untuk menjawab tantangan zaman disertai
dengan ajaran Islam itu sendiri. Filsafat Islam juga merupakan hasil pemikiran umat Islam secara
keseluruhan. Pemikiran Islam adalah
pemikiran yang khas, lain dari pada yang lain. Sebab pemikiran Islam berasal dari wahyu atau bersandarkan
pada penjelasan wahyu, sedangkan
pemikiran-pemikiran yang lain yang berkembang diantara manusia, baik itu berupa agama-agama non
samawi, ideologi-ideologi politik dan
ekonomi, maupun teori-teori sosial sekedar muncul dari kejeniusan berfikir manusia yang melahirkannya.
Oleh sebab itu, mengkaji studi filsafat Islam berarti mengenal esensi dan sejarah filsafat Islam yang unik, dan
merupakan ciri khas peradaban Islam. Selain dari pada itu, untuk memperlakukan
filsafat Islam secara
eksklusif sebagai sebuah transformasi dan dokumentasi keilmuan yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Filsafat Islam juga berguna untuk
melihat secara keseluruhan sisi-sisi yang berbeda dari filsafat secara komprehensif dan general.
A.
Pengertian Filsafat Islam
Menurut Bagir, sebagaimana
dikutip oleh Maftukhin, filsafat Islam dapat dilihat sebagai gabungan antara
pemikiran liberal dan agama. Ia dapat disebut liberal dalam hal pengandalannya
pada kebenaran-kebenaran primer dan metode demonstrasional untuk membangun
argumentasi-argumentasinya. Pada saat yang sama, pengaruh keyakinan religius
atau quasi religius amat dominan,
baik dalam penerimaan kesepakatan mengenai apa yang dianggap sebagai
kebenaran-kebenaran primer tersebut, maupun dalam pemilihan premis-premis tersebut
atau dalam pemilihan premis-premis lanjut dalam silogisme mereka.[1]
Filsafat Islam merupakan
gabungan dari dua kata, yaitu filsafat dan Islam.[2] filsafat
Islam (Islamic philosophy) pada hakikatnya adalah filsafat yang bercorak
Islami. Secara bahasa, filsafat
berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘philosophia’.
Kata tersebut berangkai dari kata ‘philein’
yang berarti mencintai, dan ‘sophia’ yang
berarti kebijaksanaan. Untuk itu, philosophia dapat
diartikan dengan ‘cinta akan kebijaksanaan’ (Inggris: love of wisdom, Belanda: wijsbegeerte,
Arab: muhibbun al hikmah). Kemudian
orang yang berfilsafat atau orang yang melakukan filsafat disebut dengan ‘filosof’,
yang artinya pecinta kebijaksanaan.[3]
Sedangkan kata Islam,
secara semantik berasal dari akar kata ‘salima’ yang berarti menyerah, tunduk dan selamat. Islam
juga dapat diartikan dengan penyerahan diri kepada Allah, dengan menyerahkan
diri kepada-Nya maka ia memperoleh keselamatan dan kedamaian.[4]
Jadi, filsafat Islam berarti berpikir dengan bebas dan radikal, namun tetap
berada pada makna yang mempunyai sifat, corak dan karakter yang menyelamatkan
dan memberi kedamaian hati.[5]
Untuk itu, filsafat Islam merupakan hasil pemikiran filsuf Islam tentang
ketuhanan, kenabian, manusia dan alam yang disinari ajaran Islam, serta suatu
aturan pemikiran yang logis dan sistematis.
Dari uraian dan penjelasan
tersebut di atas, dapatlah ditarik kesimpulan secara sederhana
bahwa filsafat Islam adalah suatu ilmu yang dicelup ajaran Islam dalam membahas
tentang hakikat kebenaran segala sesuatu, dan untuk memperoleh kedamaian dan
kebijaksanaan.
Banyak dari kalangan para ahli berbeda pendapat dalam
menamakan filsafat dalam Islam. Apakah dengan nama ‘filsafat Islam’ ataukah ‘filsafat Arab’ atau ada nama
lain selain kedua istilah tersebut. Dalam kaitan ini, Mu’in berpendapat bahwa apabila
filsafat dalam Islam disebut dengan filsafat Arab, berarti mengeluarkan orang
Iran, Afganistan, Pakistan dan India. Sehingga beliau memilih nama yaitu filsafat
Islam.[6]
Sebenarnya perbedaan istilah tersebut hanyalah perbedaan
nama saja, karena bagaimanapun juga hidup dan suburnya pemikiran filsafat Islam
adalah dibawah naungan Islam dan kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab. Kalaupun
yang dimaksud adalah filsafat Arab dan merupakan hasil karya dari orang-orang
Arab semata-mata, maka istilah kata itu tidaklah benar. Karena filsafat Islam
merupakan hasil karya dari para filosof muslim dan dibawah naungan Islam.
B.
Filsafat Islam dalam Historisitas
Dalam sejarah, pertemuan Islam (kaum muslimin) dengan
filsafat terjadi pada abad ke-8 Masehi atau abad ke-2 Hijriah, pada saat Islam
berhasil mengembangkan sayapnya dan menjangkau daerah-daerah baru. Dalam abad
pertengahan, filsafat dikuasai oleh umat Islam. Buku-buku filsafat Yunani, diseleksi
dan disadur seperlunya, serta diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Minat dan
gairah mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan waktu itu begitu tinggi karena
pemerintahlah yang menjadi pelopor serta pioner utamanya. Dua imperium besar
pada masa itu, yakni Bani Abbasiyah dengan ibu kotanya di Baghdad (di Timur),
dan Bani Umayyah dengan
ibu kotanya di Kordova (di Barat) menjadi pusat peradaban dunia yang
menghasilkan banyak orang bergelut dalam dunia kefilsafatan. Untuk mengetahui
sejarah perkembangan filsafat Islam, maka kehadiran para filosof muslim dalam
dunia kefilsafatan dari masa kemasa harus ditelusuri.[7]
Dalam sejarah perkembangan filsafat Islam, filosof
pertama yang lahir dalam dunia Islam adalah al-Kindi (796-873 M). Ide-ide
al-Kindi dalam filsafat misalnya, filsafat dan agama tidak mungkin ada pertentangan.
Cabang termulia dari filsafat adalah ilmu tauhid atau teologi. Filsafat
membahas kebenaran atau hakekat. Kalau ada hakekat-hakekat mesti ada hakekat
pertama ( الأول الØÙ‚ ), yakni Tuhan. Ia juga membicarakan tentang
jiwa dan akal. Filosof besar kedua dalam sejarah perkembangan filsafat Islam
ialah al-Farabi (872-950 M). Dia banyak menulis buku-buku tentang logika,
etika, ilmu jiwa dan sebagainya. Ia menulis buku tentang ‘Persamaan Plato dan
Aristoteles’. Sebagai wujud keyakinan beliau bahwa filsafat Aristoteles dan
Plato dapat disatukan. Filsafatnya yang terkenal adalah ‘filsafat emanasi’.[8] Selanjutnya, filosof
setelah al-Farabi adalah Ibnu Sina (980-1037 M). Nama Ibnu Sina terkenal akibat
dua karangan beliau, yakni al-Qanun Fiy al-Tibb yang merupakan Ensiklopedia
tentang ilmu kedokteran yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada
abad ke-12 M, dan menjadi buku pegangan di universitas-universitas Eropa, dan al-Syifa
al-Qanun yang merupakan Einsiklopedia tentang filsafat Aristoteles
dan ilmu pengetahuan. Di dunia Barat, beliau dikenal dengan Avicenna (Spanyol
Aven Sina) dan popularitasnya di dunia Barat sebagai dokter melampau
popularitasnya sebagai filosof, sehingga ia diberi gelar dengan ‘the Prince
of the Physicians’. Di dunia Islam sendiri, ia diberi gelar al-Syaikh
al-Ra’is atau pemimpin utama dari filosof-filosof.[9]
Filosof selanjutnya adalah Ibnu Miskawaih (W. 1030 M).
Beliau lebih dikenal dengan filsafat akhlaknya yang tetuang dalam bukunya,
yaitu Tahzib al-Akhlak. Menurutnya, akhlak adalah sikap mental atau jiwa
yang menimbulkan perbuatan-perbuatan tanpa pemikiran yang dibawa sejak lahir.
Kemudian ia berpendapat bahwa jiwa tidak berbentuk jasmani dan mempunyai bentuk
tersendiri. Jiwa memiliki tiga daya yang pembagiannya sama dengan pembagian
al-Kindi. Kesempurnaan yang dicari oleh manusia ialah kebajikan dalam bentuk
ilmu pengetahuan dan tidak tunduk pada hawa nafsu serta keberanian dan
keadilan. Filosof berikutnya adalah al-Ghazali. Selain filosof, al-Gazali juga
termasuk sufi. Jalan yang ditempuh al-Ghazali diakhir masa hidupnya
meninggalkan perasaan syak yang
sebelumnya mengganggu jiwanya. Keyakinan yang hilang dahulu ia peroleh kembali.
Berdasar dari uraian tersebut di atas, maka dapat
dipahami bahwa perkembangan filsafat Islam pada mulanya terwariskan dari
karangan-karangan filosof Yunani, kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Latin,
dan berpengaruh bagi ahli-ahli fikir Eropa.[10]
Selanjutnya, perkembangan filsafat Islam hidup dan
memainkan peran signifikan dalam kehidupan intelektual dunia Islam. Jamal al-Din
al-Afgani, seorang murid Mazhab Mulla Shadra saat di Persia, menghidupkan
kembali kajian filsafat Islam di Mesir. Di Mesir, sebagian tokoh agama dan
intelektual terkemuka seperti Abd. al-Halim Mahmud, Syaikh al-Azhar al-marhum,
menjadi pengikutnya. Filsafat Islam di Persia, juga terus berkembang dan
memainkan peran yang sangat penting meskipun terdapat pertentangan dari
kelompok ulama Syi’ah.
Tetapi patut dicatat bahwa Ayatullah Khoemeni, juga mempelajari dan mengajarkan
al-hikmah (filsafat Islam) selama berpuluh puluh tahun di Qum, sebelum
memasuki arena politik, dan juga Murtadha Muthahhari, pemimpin pertama Dewan
Revolusi Islam, setelah revolusi Iran 1979, adalah seorang filosof terkemuka.
Demikian pula di Irak, Muhammad Baqir al-Shadr, pemimpin politik dan agama yang
terkenal juga pakar filsafat Islam.[11]
C.
Ruang Lingkup Filsafat Islam
1.
Obyek
Material-Formal Filsafat Islam
Obyek filsafat Islam adalah menelaah hakikat tentang Tuhan, tentang manusia
dan tentang segala realitas yang nampak dihadapan manusia. Adapun obyek bahasan
filsafat terbagi menjadi tiga bahasan pokok, yaitu:
a.
Al-wujud (ontologi)
Pembahasan ontologi
mencakup hakikat segala yang ada (al-manjudad).
b.
Al-ma’rifat (epistimologi)
Pembahasan epistimologi
bersangkutan dengan hakikat pengetahuan dan cara bagaimana, atau dengan sarana apa
pengetahuan dapat diperoleh.
c.
Al-Qayyim (aksiologi)
Pembahasan aksiologi
bersangkutan dengan hakikat nilai.[12]
2.
Aliran-Aliran
dalam Filsafat Islam
a)
Aliran
Paripatetik
Secara harfiah, paripatetik (masysya'iyah) berarti jalan
mondar-mandir. penamaan aliran ini sangat jelas terpengaruh oleh pemikiran
Yunani yang dibangun oleh Aristoteles dan Plato. meskipun banyak melakukan revisi
terhadap pemikiran Yunani, aliran ini dibangun atas dasar Aristotellanisme dan
Neo Platonis. Aliran paripatetik dinisbatkan kepada tokoh-tokoh filsuf Islam
generasi awal, diantaranya adalah Al-Farabi dan Ibn Sina. Aliran ini sangat
menekankan metode diskursif-demonstratif dengan menekankan pada aspek
rasionalitas manusia.
b)
Aliran
Hikmah Isyraqiyah (iluminasi)
Aliran iluminasi menurut berbagai sumber
didasarkan pada ajaran Plato. Aliran ini dinisbatkan pada seorang filsuf-sufi
Islam, yaitu syihabudin suhrawardi al-maqtul. Secara epistemologi, aliran ini
sangat menekankan perolehan kebenaran melalui pengalaman intuitif, kemudian
mengelaborasi dan memverifikasinya secara logis.
Mengenai proses mendapatkan pengetahuan yang
dalam bahasa iluminasi disebut dengan pencerahan (isyraq), menurut suhrawardi ada empat tahapan yang dilalui yaitu:
1)
Tahap
pertama adalah pembebasan diri dari kecenderungan-kecenderungan duniawi untuk
menerima pengalaman Ilahi.
2)
Tahap
iluminasi, yaitu tahapan ketika manusia mendapatkan penglihatan akan sinar
ketuhanan, serta mendapatkan apa yang disebut dengan cahaya ilham.
3)
Tahap
diskursif, yaitu pengetahuan yang didapatkan dengan pencerahan, kemudian
dikonstruksi melalui premis-premis yang didasarkan pada logika diskursif.
4)
Tahap
keempat, yaitu tahapan pembahasan dan penulisan.
3.
Aliran
Teosofi Transendental
Teosofi transendental merupakan aliran
filsafat Islam yang didirikan oleh Mulla Shadra. Dalam merumuskan alirannya ia berusaha
memadukan konsep-konsep pemikiran Islam yang telah dibangun sebelumnya, yaitu
pemikiran kalam, paripatetik, ilmunisasi dan sufisme.
Secara epistemologi, teosofi transendental
menekankan tiga prinsip utama dalam perolehan ilmu pengetahuan yaitu:
a)
Intuisi
intelektual atau isyraq;
b)
Pembuktian
rasional secara deduktif-silogistik;
c)
Syari’at
dalam hal ini nash al-Qur'an dan hadits.
Dengan demikian, filsafat hikmah atau teosofi
transendental adalah kebijaksanaan yang diperoleh melalui pencerahan spiritual
atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk argumentasi yang rasional,
serta didasarkan pada nash-nash Islam.
Klasifikasi pengetahuan, dalam pandangan
pemikir muslim, khususnya pemikir teosofi transendental, secara umum terbagi menjadi
dua, yaitu:
a)
Ilmu
hushuli (knowledge by represence),
yaitu pengetahuan manusia yang masih menggunakan perantara antara subjek yang
mengetahui dan objek yang diketahui mengalami keterpisahan.
b)
Ilmu
hudhuri (knowledge by presence),
yaitu pengetahuan manusia yang tidak menggunakan perantara, objek pengetahuan
hadir dalam jiwa manusia sebagai subjek yang mengetahui.[13]
D.
Konklusi
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang
paling sempurna diantara mahluk ciptaan lain. Karena dalam dirinya dibekali
akal yang sempurna. Sehingga, masalah yang ada didalam kehidupan ini dapat di
pecahkan oleh manusia dengan cara berpikir sedalam dan seakurat mungkin. Pada
hakikatnya filsafat adalah suatu ilmu yang diciptakan untuk mencari kebenaran
yang sebenar-benarnya. Namun di sisi lain banyak pandangan yang berbeda diantara
masyarakat, dimana mereka enggan untuk mempelajari filsafat. Banyak argumen konotatif
yang menyebabkan mereka enggan belajar filsafat, entah itu dari doktrin dari
kebudayaan masyarakat, ataukah doktrin agama yang dianutnya yang dianggapnya
sebagai kebenaran dan sekaligus patokan kebenaran multlak untuk mencari sebuah
hukum kebenaran itu sendiri. Hal seperti itu tidak lepas dari ciri ataupun
sifat filsafat itu sendiri yang bercorak bebas dan radikal dalam proses
berfilsafatnya. Padahal, sejatinya bahwa filsafat itu sendiri bertujuan untuk
mencari hakikat sebuah kebenaran.
Dalam Islam, sejatinya memperbolehkan penganutnya
untuk berfilsafat. Karena pada hakikatnya bahwa agama Islam adalah agama yang
menganjurkan untuk mencari kebenaran dan mengarahkan penganutnya kejalan yang
benar. Sama halnya dengan filsafat, yang dalam pengertiannya adalah jalan
berfikir untuk mencari hakikat kebenaran. Maka dari itu, filsafat Islam pada
dasarnya merupakan sebuah jalam pemikiran yang berada dibawah naungan Islam itu
sendiri, dan berusaha untuk mencari dan menemukan kebenaran secara hakiki
sebagaimana ajaran Islam itu sendiri.
Referensi:
Ambi Ricko, Makalah Sejaran Pemikiran Islam, dalam http://www.academia.edu/5103093/Makalah-Sejarah-Pemikiran-Islam.
A. Mustofa. (2004). Filsafat
Islam. Bandung: Pustaka setia.
Hasyimsyah Nasution. (1999). Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media
Pratama.
Hendi
Suhendi. (1999). Perspektif Filsafat Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Maftukhin. (2012). Filsafat Islam. Yogyakarta: Teras.
Musa Asy’arie. (2002). Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir.
Yogyakarta: LESFI.
Sirajuddin
Zar. (2004). Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Rajawali
Pers.
Zaprulkhan.
(2014). Filsafat Islam; Sebuah KajianTematik. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
[1]
Maftukhin, Filsafat Islam, cet. I,
(Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 5. Lihat juga: Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung:
Arasy, 2005), hlm. 74.
[2] Musa
Asy’arie, Filsafat Islam Sunnah Nabi
dalam Berpikir, cet. I, (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm. 1.
[3]
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam,
cet. I, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 1.
[4] Musa
Asy’arie, op. cit., hlm. 5.
[5] Ibid., hlm. 6.
[6] A.
Mustofa, Filsafat Islam, cet. I,
(Bandung: Pustaka setia, 2004), hlm.
17.
[7] Zaprulkhan, Filsafat Islam; Sebuah KajianTematik,
cet. II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 5.
[8]
Emanasi berkaitan dengan bahasan penciptaan. Bahwa penciptaan alam semesta ini
tidak lain merupakan pancaran dari yang satu. Sedangkan dalam filsafat, emanasi
adalah proses terjadinya wujud yang beraneka ragam, baik langsung ataupun tidak
langsung, bersifat jiwa atau materi, berasal dari wujud yang menjadi sumber
dari segala sesuatu, yakni Tuhan yang menjadi sebab dari segala yang ada,
karenanya setiap wujud ini merupakan bagian dari Tuhan.
[9] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof
dan Filsafatnya, cet. I, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2004), hlm. 37-221.
[10] Ambi Ricko, Makalah
Sejaran Pemikiran Islam, dalam http://www.academia.edu/5103093/Makalah-Sejarah-Pemikiran-Islam.
[11]
Hasyimsyah Nasution, op. cit., hlm.
5.
[12]
Sirajuddin Zar, op. cit., hlm. 6-8.