Filsafat Nietzsche sebenarnya adalah upaya Nietzsche atas kritik pedasnya pada optimisme murahan zaman modern yang percaya dan yakin bahwa manusia-manusia modern pasti akan meraih apa yang diharapkan dan direncanakan, serta memperoleh pembebasan, pencerahan, dan rasionalitas yang mereka cita-citakan. Akan tetapi dalam kenyataannya tidaklah terbukti, justru manusia modern terjungkir kembali ke dalam apa yang hendak dijauhi dan disingkirkannya.
Nietzsche adalah seorang filosof sekaligus seniman, dan ia tergolong filsuf eksistensialisme yang memiliki metode kritis untuk membobol pandangan moralitas zaman modern, sehingga kita bisa menemukan substansi kritik yang dilancarkan oleh Nietzsche. Jika sekarang kita mengenal post modernisme, yang merupakan kritik atas modernisme dalam kajian filsafat, namun jauh-jauh hari Nietzsche sudah menguliti habis-habisan modernisme dengan gaya filsafatnya dalam satu target yang tegas, yakni mendobrak kedok segala yang diagungkan dalam kebudayaan Barat yang menjadi dekadensi.
Dalam hal ini, Nietzsche sebenarnya bukan hanya pendahulu dari pemikiran post modernisme, namun juga sebagai peramal yang ramalannya dengan jitu telah menjadi kenyataan sekarang ini. Dengan alasan inilah kemudian mengapa pemikiran Nietzsche masih relevan untuk kita kupas dan pelajari dalam diskursus filsafat zaman ini.
Sebagai seorang filosof, Nietzsce tidak pernah berhenti mencari apa yang sudah diperolehnya itu untuk direfleksikannya kemudian diungkapkannya lagi dan lagi, sampai mencuat nuansa-nuansa baru yang tak terduga. Ketakterdugaannya itu lahir bukan sebagai sesuatu yang tadinya terpendam dan kemudian muncul, akan tetapi sesuatu yang baru yang benar-benar bisa muncul hanya karena suatu pencarian kreatif seseorang yang tak pernah mau menyerah pada forma apapun yang telah ada atau yang telah diraihnya.
Dalam bukunya, Jenseits vom Guten und Bosen (Melampaui Baik dan Buruk), misalnya, Nietzsche berbicara tentang benda-benda gelap di dekat matahari yang tidak pernah kita saksikan. Dia menyejajarkan fakta astronomis ini dengan moralitas. Di belakang soal baik dan buruk ternyata terdapat sebuah kenyataan gelap. Jika begitu adanya, apa yang terang benderang yaitu moralitas, harus dianggap sebagai semacam hieroglif atau tanda-tanda yang menyembunyikan sebuah rahasia kegelapan. Rahasia ini bisa dibuka dengan penafsiran yang disebutnya sebagai genealogi.
Genealogi adalah pembongkaran kedok-kedok nafsu, kepentingan, ketakutan, dan harapan-harapan yang terungkap dalam satu pandangan tertentu tentang dunia. Dengan gaya berfikir filsafat demikian, sehingga kita bisa mendobrak dan membongkar segala bentuk kemapaman, kepentingan, kepuasan diri, dan forma apapun, termasuk di dalamnya perkara tentang agama. Namun demikian, dengan menelaah gaya filsafat Nietzsche ada sebagian yang mengatakan bahwa Nietzsche telah membunuh Tuhan, bahkan bergelar padanya sebagai ‘Pembunuh Tuhan’. Eits, jangan suka menyimpulkan dulu, tapi lihatlah pada keseluruhan atas keresahan Nietzsche dengan gaya berfilsafatnya yang justru akan mengantarkan kita untuk memurnikan Tuhan dari kekerdilan anggapan kita tentang Tuhan dan agama.
Memang tidaklah mudah memahami gaya filsafat Nietzsche, kendati demikian ada cara termudah untuk bisa memahami filsafat Nietzsche, yakni membacanya berdasarkan pada pengalaman personal kita sendiri, termasuk di dalamnya pengalaman kita dalam beragama. Ini artinya bahwa untuk memahami filsafat Nietzsche bukan Nietzsche-nya itu sendiri, melainkan kita sendiri sebagai subjek dalam memahami filsafatnya.
Memang, untuk memahami diri sendiri membutuhkan kesungguhan yang mendalam. Karenanya, syarat untuk memahami Nietzsche adalah keberanian diri kita untuk bersungguh-sungguh itu. Hanya dengan bersungguh-sungguh, maka kita bisa mengenal kesungguhannya. Nietzsche adalah manusia yang bersungguh-sungguh sampai akhir, jika kita tidak mau bersungguh-sungguh dengan diri kita, maka kita juga tidak bisa memahami kesungguhannya. Mumet mbok?
Berbicara tentang kesungguhannya Nietzsche, berarti kesungguhannya itu hanyalah salah satu dari kesungguhan darinya. Sedangkan sisi lainnya adalah kepiawaiannya bermain dengan topeng. Atau dengan perkataan lain, kesungguhan Nietzsche membutuhkan topeng yang melindunginya, dan orang harus melucuti topeng itu. Mungkin di balik topeng pertama ada topeng kedua, kemudian dibalik topeng kedua ada topeng ketiga, dan seterusnya. Ini artinya, orang tidak boleh menangkap kata-kata Nietzsche secara apa adanya, dan orang tidak boleh percaya akan segalanya padanya. Siapa percaya begitu saja padanya dan menangkap secara harfiah, maka ia akan kehilangan apa yang ingin dicarinya.
Maklum, karya Nietzsche adalah sebagai karya seni, karenanya orang harus membacanya sebagai seni di mana permainan, paradoks, ironi, dan kontradiksi di dalamnya hanya bisa dinikmati pembaca jika membacanya itu tidak secara mentah dan apa adanya. Karena sebagai seni, dari beberapa karya Nietzsche, sangat dekat dengan pengalaman. Oleh karenanya, hasil dari filsafatnya pun berangkat dari sisi pengalaman.
Selanjutnya, kehidupan memang problem besar, dan filsafat Nietzsche bukanlah kelicikan yang berupaya untuk menghindar dari problem kehidupan dengan membuat kaidah-kaidah luhur yang sebenarnya hanyalah alasan untuk menutupi kelicikannya. Filsafat Nietzsche adalah tentang realitas, bersifat apa adanya, polos, telanjang, dan tanpa ada embel-embel apapun. Realitas apa adanya dan polos dimaksud, tidak bisa dikonsepkan dengan konsep apapun.
Demikianlah, tak bosan-bosannya Nietzsche mengajak manusia untuk mengembalikan kehidupan dalam sifatnya yang apa adanya, yang abu-abu, yang polos, dan senantiasa lolos dari cengkeraman kita. Tak bosan-bosannya pula Nietzsche menawarkan agar manusia bersikap santun di depan kehidupan, adalah sikap yang berkebalikan dengan sifat yang sok tau, yang senantiasa mau mencengkeram dan mengebiri kehidupan; yang celakanya lalu diperindah dengan konsep yang luhur-luhur. Sifat santun, hormat, berjarak terhadap kehidupan adalah sikap orang yang tahu diri. Di sinilah tampak bahwa bagi Nietzsche, manusia tidaklah sebesar klaim yang sering dikatakannya.
Catatan Akhir
Jika memahami gaya filsafat Nietzsche tentu saja sangatlah melelahkan, karena kita ditantang untuk terus mencari dan memperbarui diri kita tanpa kenal istirahat. Sungguh suatu rigoritas atau ketepatan yang ketat, tidak hanya menyangkut pada diri kita, akan tetapi menyangkut juga cara pandang kita terhadap kehidupan. Itulah resiko jika kita mau bergulat dalam peziarahan filosofis bersama Nietzsche.
Tentu proses ini sungguh melelahkan dan membutuhkan daya tahan pun napas panjang. Karena kita ditantang untuk menjalani lorong-lorong yang tidak kita kenal. Bahkan, ketika kita merasa sudah sampai ke tujuan pun, kita diminta untuk menghempaskan lagi apa yang telah kita capai dan melanjutkan peziarahan lagi. Betapa pun, ziarah ini sesungguhnya amatlah indah, karena akan mengantarkan kita jatuh ke dalam pelukan keterbatasan yang tidak bisa dibatasi oleh apapun juga.
Memang, berani membaca pemikiran Nietzsche berarti berani meresikokan diri untuk menggugat dan mempetualangkan kembali pengertian dan keadaan kita yang sudah mapan. Beranikah kita masuk ke dalam petualangan di mana kita diajak membayangkan: manusia itu adalah pencipta, dan Tuhan adalah ciptaannya? Beranikah kita membayangkan bahwa sebagai pencipta, manusia lebih besar daripada ciptaannya? Tambah mumet
Sebenarnya, jika kita berani bergulat dengan pemikiran filsafat Nietzsche, justru kita akan mengatakan bahwa manusia itu sebagai ciptaan teragung dan memulangkan kembali Tuhan sebagai Sang Pencipta yang tidak pernah bisa dibatasi oleh kehebatan ciptaannya, juga ciptaannya yang bernama manusia beriman dan beragama. Realitas ini tak bisa kita simpulkan di muka, namun harus kita cari dalam ziarah yang tak pernah habis dan yang melelahkan ini. Jika kita tidak sabar dan kuat dalam melakukan peziarahan ini, maka akan mengajak kita pada titik henti, baik sebagai theistik konservatif maupun sebagai seorang atheis yang tidak mampu menggugat dirinya lagi. Karena bagi Nietzsche, ukuran manusia bukan mana yang lebih besar (theis atau atheisnya), melainkan mana yang menjadikan manusia menjadi lebih besar dan sanggup untuk terus berjalan menatap keterbatasan dirinya.
Tidak banyak pemikir yang berani mengajak kita untuk menggugat diri secara habis-habisan; agar kita sampai pada inti diri yang kita harapkan. Nietzsche adalah salah satu dari sedikit pemikir yang mengajak kita untuk menyelami diri kita hingga keterbatasannya, karena pemikirannya selalu mengajak kita untuk melihat diri kita lebih jauh.
"Tidakkah kemampuan melihat lebih jauh itu sesungguhnya adalah kemampuan iman dan kepercayaan yang seharusnya dipunyai orang beragama?"
Pembaca filsafat Nietzsche harus berani menjadi dirinya sendiri, dan menangkap filsafat Nietzsche juga sesuai dengan kejadian dirinya sendiri...
*Mizanul Akrom