Pendidikan
Islam senantiasa menekankan terbentuknya lulusan (out put) pendidikan yang
berkepribadian utuh, yang secara internal memiliki kesadaran norma maupun
kesadaran kerja. Pendidikan Islam hakikatnya adalah proses transformasi dan
internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai ‘din’ anak melalui
penumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya guna mencapai keselarasan dan
kesempurnaan.[1]
Dari
penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa dalam perspektif pendidikan Islam
sifat dasar manusia merupakan sifat makhluk yang serba terbatas dan memerlukan
upaya yang membuat kehadirannya dimuka bumi ini lebih sempurna. Untuk itu, perlunya
upaya dan usaha sehingga ia mampu menjadi manusia paripurna. Upaya
tersebut tidak lain adalah melalui proses pendidikan.
Misi
utama pendidikan Islam adalah untuk menjaga dan memelihara fitrah peserta
didik, mengembangkan dan mempersiapkan segala potensi yang dimiliki dan
mengarahkan fitrah dan potensi tersebut menuju kebaikan dan kesempurnaan serta
merealisasikan program tersebut secara bertahap.[2]
Oleh karena itu, sifat khas pendidikan Islam adalah berupaya mengembangkan
sifat dan potensi yang dimiliki oleh peserta didiknya secara efektif dan
dinamis. Potensi-potensi (fitrah) tersebut adalah mencakup dua dimensi, yaitu segi ‘fisik biologis’ dan ‘segi ruhani’. Segi fisik biologis,
terutama susunan syaraf otaknya (cerebrum) yang berfungsi untuk adaptasi
dan koordinasi atas rangsangan dari panca indra, sehingga dengan struktur
demikian manusia mampu mengembangkan penalaran, kreativitas dan kerja yang
produktif. Selanjutnya, jika dilihat dari segi arah gerakan dan dinamikanya,
sejak lahir manusia menunjukkan arah maju yang apabila dikembangkan dapat
menghasilkan gerakan-gerakan yang sangat bervariasi dan bermakna.[3]
Sedangkan dilihat dari segi ruhani bahwa manusia memiliki kelebihan, terutama
karena memperoleh percikan sifat-sifat kesempurnaan Allah, yakni Asmaul husna
yang berjumlah 99, sehingga memungkinkan manusia hidup dengan berbagai
kemampuan dan kewenangan sesuai dengan Asmaul husna dalam
batas-batas kemakhlukannya.[4]
Dengan
berbagai potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia tersebut, baik segi fisik
biologis dan ruhani, maka pada dasarnya pendidikan Islam berfungsi sebagai
media untuk menstimulus bagi perkembangan dan pertumbuhan potensi atau fitrah
manusia seoptimal mungkin kearah penyempurnaan dirinya. Dengan upaya inilah
sehingga akan menciptakan situasi dan model pendidikan Islam yang demokratis-fleksibel.
Dengan
model pendidikan Islam yang demokratis-fleksibel tersebut, manusia
tidak dapat dipandang sebagai makhluk yang reaktif,
namun manusia dipandang responsif
sehingga ia menjadi makhluk yang bertanggungjawab (responsible). Oleh
karena itu, pendidikan Islam yang sebenarnya adalah pendidikan yang memberikan
stimulus dan dilaksanakan secara demokratis.[5])
Maka
dari itu, fitrah manusia yang dimaksud dapat dilihat dari dua dimensi manusia
secara integral, yaitu fitrah jasmani dan ruhani. Keduanya memiliki nature dan kebutuhan yang berbeda antara
satu dan yang lain, karena hakikat esensial keduanya berbeda, namun keduanya
saling melengkapi antara yang satu dan lainnya. Jika salah satu dari keduanya
terabaikan, maka akan berdampak negatif bagi pengembangan totalitas manusia.
Untuk menyeimbangkan keduanya maka pendidikan Islam bukan hanya sekedar
transfer ilmu (transfer of knowledge) atau kebudayaan dari
satu generasi kepada generasi berikutnya, akan tetapi jauh dari itu bahwa
pendidikan Islam merupakan suatu bentuk proses pengaktual sejumlah potensi yang
dimiliki peserta didiknya yang meliputi; pengembangan jasmani, rasionalitas,
intelektualitas, emosi dan akhlak yang berfungsi menyiapkan individu muslim
kepribadian paripurna bagi
kemaslahatan seluruh umat.
Dengan
demikian, maka hakikat pendidikan Islam merupakan proses penanaman nilai-nilai ilahiyah
yang diformulasikan secara sistematis dan adaptik yang disesuaikan dengan
kemampuan dan perkembangan potensi atau fitrah peserta didik.
Apabila
kita melihat program pendidikan sebagai usaha untuk menumbuhkan daya
kreatifitas anak, melestarikan nilai-nilai ilahi
dan insane, serta membekali anak
didik dengan kemampuan yang produktif. Dapat kita katakana bahwa fitrah
merupakan potensi dasar anak didik yang dapat menghantarkan pada tumbuhnya daya
kreatifitas dan produktifitas serta komitmen pada nilai-nilai ilahi dan insani. Hal tersebut dapat dilakukan melalui pembekalan berbagai
kemampuan dari lingkungan sekolah dan luar sekolah yang terpola dalam program
pendidikan. Seorang pendidik tidak dituntut untuk mencetak anak didiknya
menjadi orang ini dan orang itu, namun cukup dengan menumbuhkan dan
mengembangkan potensi dasarnya dan kecenderungan-kecenderungannya terhadap
sesuatu yang diminati sesuai dengan kemampuan dan bakat yang diminati anak. Apabila
anak mempunyai sifat dasar yang dipandang sebagai pembawaan jahat, upaya
pendidikan diarahkan dan difokuskan untuk menghilangkan serta menggantikan atau
setidaknya mengurangi elemen-elemen kejahatan tersebut.
Jelasnya
bahwa seorang pendidik tidak perlu sibuk-sibuk menghilangkan dan menggantikan
kejahatan yang telah dibawa anak didik sejak lahir, melainkan berikhtiar
sebaik-baiknya untuk menjauhkan tibulnya pelajaran yang dapat menyebabkan
kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik.
Manusia
adalah makhluk individu dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk
Individualisasi merupakan bagian sangat penting dari pendidikan, karena
individualisasi memusatkan perhatian secara individual proses pemeliharaan
fitrah dan pengembangan sumberdaya manusia. Kegagalan dalam individualisasi
berarti gagalnya pendidikan, karena tidak mampu mengantarkan peserta didik
dalam merealisasikan diri yang mampu hidup mandiri dan bertanggungjawab.[6]
Sedangkan
manusia sebagai makhluk sosial juga berarti setiap individu tidak mungkin hidup
layak tanpa terkait dengan kelompok masyarakat manusia lainnya. Sebab manusia
dipengaruhi oleh masyarakat dalam pembentukan pribadinya. Didamping itu juga
bahwa individu mempengaruhi masyarakat, dan bahkan pengaruhnya bisa menimbulkan
perubahan besar bagi tatanan masyarakat.[7]
Referensi:
Achmadi.
(2010). Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zubaedi.
(2010). Isu-Isu Baru dalam Diskursus
Filsafat Pendidikan Islam dan Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
[1] Zubaedi, Isu-Isu Baru dalam Diskursus Filsafat
Pendidikan Islam dan Kapita Selekta Pendidikan Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012), hlm. 2.
[3] Achmadi, Ideologi
Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris, Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 46.
[4] Dengan percikan
Asmaul husna sifat ar-Rahman-Rahim (Maha Kasih Sayang) misalnya,
maka manusia dapat menampilkan kasih sayangnya kepada sesama. Dengan percikan al-Khaliq
(Maha Mencipta) manusia memiliki daya kreatifitas untuk mencipta sesuatu yang
baru dan berguna. Dengan percikan al-Mulk (Yang Memiliki Segala
Kekuasaan) manusia mampu menguasai alam sekitarnya demi kepentingan dan
kebaikan diri dan lingkungannya. Dengan percikan al-Quddus (Yang Maha
Suci) manusia dapat membersihkan dirinya dari berbagai tindakan tercela. Dengan
percikap al-‘Adl (Maha Adil) manusia mampu berbuat adil. Dengan percikan
al-‘Alim (Maha Mengetahui) manusia cenderung ingin mengetahui segala
sesuatu, dan kemudian dia memperoleh ilmu pengetahuan baru. Dengan percikan ar-Rabbu
(Maha Mendidik Memelihara) manusia mampu mendidik dirinya sendiri maupun orang
lain. Lihat: Ibid., hlm. 47.
[5] Bukan
memberikan ilmu atau nilai-nilai yang seakan-akan guru sebagai sumber ilmu dan
gudang nilai, sedangkan anak didik ibarat gelas kosong yang siap di isi.
Pendekatan demokratis sesuai dengan fitrah manusia, karena anak didik
mendapatkan kebebasan yang bertanggungjawab dalam interaksi pendidikan.
[7] Ibid.,
hlm. 60-61.