Monday, May 22, 2017

PLURALISME AGAMA DAN KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM (Rekonstruksi Pendidikan Islam Humanis-Pluralis)



Tradisi agama telah mendarah daging dalam sejarah kehidupan umat manusia. Eropa dan Amerika dengan tradisi Kristen, Timur Tengah dengan tradisi Islam, China dengan tradisi Konfusianisme, Thailand dengan Budhisme, India dengan tradisi Hinduisme dan masih banyak lagi tradisi keagamaan lain yang belum bisa penulis sebutkan satu persatu disini. Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa dalam setiap wilayah tradisi besar (high tradition), perlunya kita harus melilihat tradisi kecil (law tradition) yang menyertainya.

Seperti kita lihat bahwa di Timur Tengah ada tradisi Islam Sunni dan Syiah. Begitu juga bangsa Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk (pluralis). Dilihat dari sudut horizontal terdiri dari beragam suku dan ras, yang mempunyai budaya, bahasa, nilai dan agama atau keyakinan yang berbeda. Sementara dilihat dari sudut vertikalnya dapat diamati dari tingkat perbedaan pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan dan tingkat sosial budaya. Begitu juga masyarakatnya menganut agama Islam—Islam Sunni—menjadi mayoritas. Disamping itu, masih banyak terdapat berbagai macam organisasi yang dijadikan sebagai wadah untuk mengekspresikan diri dan menyampaikan aspirasi kelompok mereka. Ada NU (Nahdlatul Ulama), Muhammadiyah, Persis, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI) dan begitu seterusnya.

Dengan banyaknya jumlah baik etnis, suku, agama, adat, bahasa daerah, maka sewajarnya jika kemajemukan masyarakat Indonesia[1] merupakan suatu keniscayaan, begitu juga menafikan keberadaan tradisi-taradisi agama dimuka bumi, baik Barat apalagi Timur merupakan pekerjaan yang sia-sia. Masing-masing mempunyai hak hidup yang sama, mempertahankan tradisi dan identitasnya sendiri-sendiri dengan berbagai cara yang dilakukan. Menurut hemat penulis, cara yang paling tepat dan ampuh adalah melalui jalur pendidikan, sebab pendidikan adalah alat yang paling efektif utuk meneruskan, melanggengkan dan mengonservasi (mengawetkan) tradisi dari satu generasi kegenerasi selanjutnya dan dari abad yang satu keabad yang lain.

Permasalahan dan juga persoalan pokok yang sering terjadi dan dihadapi para pendidik dan penggerak sosial-keagamaan dengan kondisi yang yang begitu majemuk dan pluralis adalah bagaimana agar masing-masing tradisi keagamaan tetap dapat mengawetkan, memelihara, melanggengkan, mengalihgenerasikan, serta mewariskan kepercayaan dan tradisi yang diyakini sebagai suatu kebenaran yang mutlak, namun pada saat yang sama juga menyadari sepenuhnya keberadaan kelompok tradisi keagamaan yang lain yang juga berbuat dan melakukan hal yang serupa. Disamping itu juga, selain untuk memperkuat identitas diri dan kelompoknya, perlunya sebuah upaya agar masing-masing tradisi tetap menjaga kebersamaan, kohesi sosial dan keutuhan bersama.

Dalam era golabal-plural-multikultural seperti sekarang, setiap saat dapat saja terjadi peristiwa yang tidak terbayangkan dan tidak terduga sama sekali. Kemajuan ilmu dan teknologi juga berimplikasi pada melebarnya perbedaan tingkat pendapatan ekonomi antara negara kaya dengan negara miskin. Kontak-kontak budaya semakin cepat dan pergesekan kultur serta tradisi tidak terhindarkan, yang bahkan hampir-hampir tidak lagi mengenal batas-batas geografis secara konvensional. Android, Internet, WhatsApp, BBM, Face Book, E-mail, You Tube dan lainnya, menjadikan anak didik mampu mengakses berbagai informasi dan memeproleh pengetahuan yang lebih cepat dari pada guru yang biasanya masih menggunakan cara-cara konvensional.

Memang pada abad ke-20, lebih-lebih Abad ke-21 ditandai dengan fenomena kebangkitan agama-agama. Sekarang para ahli sosiologi agama baru bekerja keras untuk dapat memahami dan menjelaskan apa yang sesunggunya terjadi, tesis-tesis terdahulu menyatakan bahwa semakin modern dan semakin fungsional tingkat budaya manusia maka akan semakin ditinggalkanlah agama, namun yang terjadi adalah sebaliknya. Tidak dapat dipungkiri dan ditutup-tutupi oleh siapapun bahwa fenomena modernitas yang belakangan terjadi ternyata berbarengan dengan munculnya fenomena kebangkitan agama-agama dunia—yang pada saat yang sama juga tercium aroma primordialisme, sektarianisme dan radikalisme.

Para pendidik agama dan penggerak dakwah sosial keagamaan lalu terkejut-kejut. Mengapa program transmisi  dan konservasi nilai-nilai keagamaan yang begitu mulia dan berharga diberbagai tradisi keagamaan berubah menjadi ‘intoleransi’ dan ‘konfrontasi’. Mengapa konfrontasi kekerasan yang mengatasnamakan agama terjadi dimana-mana, seperti Irlandia, Palestina, Thailan Selatan, Madrid, Casablanca, Nigeria dan Afganistan.[2] Begitu juga banyak bukti di negeri ini (Indonesia), kerusuhan yang berlatarbelakang SARA (suku, adat, ras dan agama). Salah satu bukti kerusuhan yang terjadi di Indonesia yang ditandai oleh friksi dan tensi krusial dengan nuansa keagamaan, seperti konflik di Maluku yang ditengarai sebagai konflik SARA yang melibatkan kedua komunitas agama.[3] Kemudian konflik komunal di Poso yang menyeret dua komunitas yang berlainan agama (Islam-Nasrani) dalam rentang yang cukup lama, dengan korban jiwa dan harta benda serta kerugian lain yang cukup besar.[4] Kemudian konflik juga muncul kembali yaitu pasca penyerangan terhadap Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Cikeusik Pandeglang pada awal tahun 2011, kekerasan kembali pecah di Temanggung Jawa Tengah. Ada tiga gereja yang rusak, puluhan kendaraan dibakar, dan beberapa bangunan dirusak.[5]

Konflik atau ketegangan yang terjadi, memberikan indikasi betapa suramnya toleransi dalam kehidupan masyarakat. Paling tidak, tentu saling pengertian tercapai barulah bersifat nominal belaka. Pola hubungan seperti itu dengan sendirinya tidak memiliki daya tahan yang ampuh terhadap berbagai tekanan yang datang dari perkembangan politik, ekonomi dan  budaya, sehingga kerukunan yang ada hanyalah kondisi yang rapuh.

Jika dilacak secara mendalam penyebab konflik yang terjadi antara satu wilayah dengan wilayah yang lain tidaklah sama. Ada yang dipicu oleh faktor kesenjangan ekonomi, perseteruan politik, perebutan kekuasaan, atau agama. Namun demikian, dari sebagian besar konflik dan kekerasan yang ada di Indonesia, ‘agama’ dinilai menjadi salah satu faktor yang cukup determinan terhadap terjadinya konflik.[6]

Dalam suasana seperti ini, agama seringkali menjadi titik singgung paling sensitif dan eksklusif dalam pergaulan pluralitas masyarakat. Masing-masing pihak mengklaim  bahwa dirinyalah yang paling benar (truth claim), sedangkan pihak lain adalah salah. Persepsi bahwa perbedaan adalah merupakan sesuatu yang buruk, suatu hal yang menakutkan, sudah begitu mendarah daging dalam jiwa umat beragama. Perbedaan ternyata belum sepenuhnya disadari sebagai kekayaan dan kenyataan hidup yang begitu indah, namun malah menjadi sarana untuk berperilaku destruktif-anarkis. Penyelesaian dengan kepala dingin, mengedepankan dialog, jalan damai dan berbasis nilai kemanusiaan ternyata belum menjadi pilihan utama.

Untuk mendapatkan suasana yang toleran serta penghormatan yang tulus bagi masing-masing pemeluk agama, maka kiranya melanjutkan usaha untuk saling mengetahui secara lebih baik dengan usaha menerapkan mekanisme dialog pada seluruh tingkatan, khususnya level akar rumput, serta memperhatikan masalah-masalah dan keluhan-keluhan yang ada diberbagai komunitas.[7] Hubungan timbal balik dengan mengajukan gagasan dan mendengar gagasan itulah yang akan melahirkan prinsip musyawarah (dialog), baik yang dilakukan secara langsung antar perseorangan dalam pergaulan sehari-hari maupun secara tidak langsung melalui mekanisme dan pelembagaan yang dipilih dan ditetapkan bersama. Dan menurut agama juga dijelaskan bahwa, pangkal kebijaksanaan adalah musyawarah (ra’sul hikmah al-masyurah).[8]

Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan syarat akan perkembangan. Karena itu, perubahan atau perkembangan adalah hal yang memang seharusnya terjadi dan harus sejalan dengan perubahan budaya kehidupan. Dalam Islam, tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah membentuk insan kamil, yakni manusia paripurna yang memilki kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual sekaligus. Tujuan seperti ini tidak mungkin tercapai dan terwujud tanpa adanya sistem dan proses yang baik. Oleh karena itu, pendidikan Islam perlunya merumuskan dan merancang bangunan pemikiran kependidikan Islam yang diharapkan mampu menciptakan manusia-manusia paripurna, yang akan mengemban tugas mensejahterakan dan memakmurkan kehidupan dimuka bumi ini.

Melalui sistem pendidikan terutama pada kurikulum pendidikan yang sayogyanya dapat diperhitungkan dan dipertimbangkan dalam mendesain dan mengembangkan kurikulum, yaitu karena masyarakat Indonesia masyarakat yang majemuk, maka kurikulum yang ideal adalah kurikulum yang dapat menunjang peserta didik yang tidak hanya pandai, tetapi juga bermoral dan etis, dapat hidup dalam suasana pluralis dan demokratis satu dengan yang lain serta menghormati hak-hak orang lain.

Referensi:
Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi. (2004). Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern; Mencari Visi Baru atas Realitas Baru Pendidikan Kita. Yogyakarta: Ircisod.
M. Amin Abdullah. (2005). Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius. Jakarta: PSAP Muhammadiyah.
Alpha Amirrachman (ed.). (2007). Revitalisasi Kearifan Lokal; Studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso. Jakarta: ICIP.
Andi Muh. Darlus. (2012). Konflik Komunal; Studi dan Rekonsiliasi Konflik Poso. Jakarta: Buku Litera.
Ngainun Naim. (2011). Teologi Kerukunan; Mencari Titik Temu dalam Keragaman. Yogyakarta: Teras.
Franz Magniz-Suseno, dkk. (2007). Memahami Hubungan antar Agama. Yogyakarta: Elsaq Press.
Nurcholis Madjid. (1997). Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.


[1] Seperti diketahui bahwa Bangsa Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau terbesar di Dunia yang mencapai 17.667 pulau besar dan kecil. Dengan jumlah pulau sebanyak ini, maka wajarlah jika kemajemukan masyarakat di Indonesia merupakan suatu keniscayaan. Dengan keadaan yang begitu majemuk, warga negara Indonesia, seperti dikatan Usman Pelly, dapat disatukan bahasa komunikasinya dengan bahasa nasional (Bahasa Indonesia) meskipun dalam kenyataanya terdapat 350 kelompok etnis, adat istiadat dan cara-cara sesuai dengan kondisi lingkungan tertentu. Lihat: Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern; Mencari Visi Baru atas Realitas Baru Pendidikan Kita, Cet. I, (Yogyakarta: Ircisod. 2004), hal. 189-190.
[2] M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah. 2005), hal. 5.
[3] Alpha Amirrachman (ed.), Revitalisasi Kearifan Lokal; Studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso, Cet. II, (Jakarta: ICIP, 2007), hal.  110.
[4] Andi Muh. Darlus, Konflik Komunal; Studi dan Rekonsiliasi Konflik Poso, Cet. I, (Jakarta: Buku Litera. 2012), hal. 27.
[5] Ngainun Naim, Teologi Kerukunan; Mencari Titik Temu dalam Keragaman, Cet. I, (Yogyakarta: Teras. 2011), hal. v.
[6] Ibid., hal. 15-16.
[7] Franz Magniz Suseno, dkk., Memahami Hubungan antar Agama, Cet. I, (Yogyakarta: Elsaq Press. 2007), hal. 22.
[8] Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Cet. I, (Bandung: Mizan. 1997), hal. 59.
Previous Post
Next Post

Penulis yang mengabdikan tulisannya bagi amal jariyah pemikiran. Tokoh favorit sekaligus panutannya adalah Gus Dur

0 comments: