Tradisi agama
telah mendarah daging dalam sejarah
kehidupan umat manusia. Eropa dan Amerika dengan tradisi Kristen, Timur Tengah dengan
tradisi Islam, China dengan tradisi Konfusianisme, Thailand dengan Budhisme,
India dengan tradisi Hinduisme dan masih banyak lagi tradisi keagamaan lain
yang belum bisa penulis sebutkan satu persatu disini. Dari penjelasan tersebut,
dapat dipahami bahwa dalam setiap wilayah tradisi besar (high tradition),
perlunya kita harus melilihat tradisi kecil (law tradition) yang
menyertainya.
Seperti kita lihat bahwa di Timur Tengah
ada tradisi Islam Sunni dan Syiah. Begitu juga bangsa Indonesia adalah bangsa
yang masyarakatnya sangat majemuk (pluralis). Dilihat dari sudut horizontal terdiri dari beragam suku dan ras, yang
mempunyai budaya, bahasa, nilai dan agama atau keyakinan yang berbeda.
Sementara dilihat dari sudut vertikalnya dapat diamati dari tingkat perbedaan
pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan dan tingkat sosial budaya. Begitu
juga masyarakatnya menganut agama Islam—Islam Sunni—menjadi mayoritas.
Disamping itu, masih banyak terdapat berbagai macam organisasi yang dijadikan
sebagai wadah untuk mengekspresikan diri dan menyampaikan aspirasi kelompok
mereka. Ada NU (Nahdlatul Ulama), Muhammadiyah, Persis, Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI) dan begitu
seterusnya.
Dengan
banyaknya jumlah baik etnis, suku, agama, adat, bahasa daerah, maka sewajarnya
jika kemajemukan masyarakat Indonesia[1]
merupakan suatu keniscayaan, begitu juga menafikan keberadaan tradisi-taradisi
agama dimuka bumi, baik Barat apalagi Timur merupakan pekerjaan yang sia-sia.
Masing-masing mempunyai hak hidup yang sama, mempertahankan tradisi dan
identitasnya sendiri-sendiri dengan berbagai cara yang dilakukan. Menurut hemat
penulis, cara yang paling tepat dan ampuh adalah melalui jalur pendidikan,
sebab pendidikan adalah alat yang paling efektif utuk meneruskan, melanggengkan
dan mengonservasi (mengawetkan) tradisi dari satu generasi kegenerasi
selanjutnya dan dari abad yang satu keabad yang lain.
Permasalahan
dan juga persoalan pokok yang sering terjadi dan dihadapi para pendidik dan
penggerak sosial-keagamaan dengan kondisi yang yang begitu majemuk dan pluralis
adalah bagaimana agar masing-masing tradisi keagamaan tetap dapat mengawetkan,
memelihara, melanggengkan, mengalihgenerasikan, serta mewariskan kepercayaan
dan tradisi yang diyakini sebagai suatu kebenaran yang mutlak, namun pada saat
yang sama juga menyadari sepenuhnya keberadaan kelompok tradisi keagamaan yang lain
yang juga berbuat dan melakukan hal yang serupa. Disamping itu juga, selain
untuk memperkuat identitas diri dan kelompoknya, perlunya sebuah upaya agar
masing-masing tradisi tetap menjaga kebersamaan, kohesi sosial dan keutuhan
bersama.
Dalam era golabal-plural-multikultural
seperti sekarang, setiap saat dapat saja terjadi peristiwa yang tidak
terbayangkan dan tidak terduga sama sekali. Kemajuan ilmu dan teknologi juga berimplikasi
pada melebarnya perbedaan tingkat pendapatan ekonomi antara negara kaya dengan
negara miskin. Kontak-kontak budaya semakin cepat dan pergesekan kultur serta
tradisi tidak terhindarkan, yang bahkan hampir-hampir tidak lagi mengenal
batas-batas geografis secara konvensional. Android, Internet, WhatsApp, BBM,
Face Book, E-mail, You Tube dan lainnya, menjadikan anak didik mampu mengakses berbagai informasi dan memeproleh
pengetahuan yang lebih cepat dari pada guru yang biasanya masih menggunakan
cara-cara konvensional.
Memang pada abad ke-20, lebih-lebih Abad
ke-21 ditandai dengan fenomena kebangkitan agama-agama. Sekarang para ahli
sosiologi agama baru bekerja keras untuk dapat memahami dan menjelaskan apa
yang sesunggunya terjadi, tesis-tesis terdahulu menyatakan bahwa semakin modern
dan semakin fungsional tingkat budaya manusia maka akan semakin ditinggalkanlah
agama, namun yang terjadi adalah sebaliknya. Tidak dapat dipungkiri dan
ditutup-tutupi oleh siapapun bahwa fenomena modernitas yang belakangan terjadi
ternyata berbarengan dengan munculnya fenomena kebangkitan agama-agama dunia—yang
pada saat yang sama juga tercium aroma primordialisme, sektarianisme dan
radikalisme.
Para pendidik agama dan penggerak
dakwah sosial keagamaan lalu terkejut-kejut. Mengapa program transmisi dan konservasi nilai-nilai keagamaan
yang begitu mulia dan berharga diberbagai tradisi keagamaan berubah menjadi ‘intoleransi’ dan ‘konfrontasi’. Mengapa konfrontasi kekerasan yang mengatasnamakan
agama terjadi dimana-mana, seperti Irlandia, Palestina, Thailan Selatan,
Madrid, Casablanca, Nigeria dan Afganistan.[2]
Begitu juga banyak bukti di negeri ini (Indonesia), kerusuhan yang
berlatarbelakang SARA (suku, adat, ras dan agama). Salah satu bukti kerusuhan
yang terjadi di Indonesia yang ditandai oleh friksi dan tensi krusial dengan
nuansa keagamaan, seperti konflik di Maluku yang ditengarai sebagai konflik
SARA yang melibatkan kedua komunitas agama.[3]
Kemudian konflik komunal di Poso yang menyeret dua komunitas yang berlainan
agama (Islam-Nasrani) dalam rentang yang cukup lama, dengan korban jiwa dan
harta benda serta kerugian lain yang cukup besar.[4]
Kemudian konflik juga muncul kembali yaitu pasca penyerangan terhadap Jamaah
Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Cikeusik Pandeglang pada awal tahun 2011,
kekerasan kembali pecah di Temanggung Jawa Tengah. Ada tiga gereja yang rusak,
puluhan kendaraan dibakar, dan beberapa bangunan dirusak.[5]
Konflik atau ketegangan yang terjadi, memberikan
indikasi betapa suramnya toleransi dalam kehidupan masyarakat. Paling tidak,
tentu saling pengertian tercapai barulah bersifat nominal belaka. Pola hubungan
seperti itu dengan sendirinya tidak memiliki daya tahan yang ampuh terhadap
berbagai tekanan yang datang dari perkembangan politik, ekonomi dan budaya, sehingga kerukunan yang ada hanyalah
kondisi yang rapuh.
Jika dilacak secara mendalam penyebab
konflik yang terjadi antara satu wilayah dengan wilayah yang lain tidaklah
sama. Ada yang dipicu oleh faktor kesenjangan ekonomi, perseteruan politik,
perebutan kekuasaan, atau agama. Namun demikian, dari sebagian besar konflik
dan kekerasan yang ada di Indonesia, ‘agama’ dinilai menjadi salah satu
faktor yang cukup determinan terhadap
terjadinya konflik.[6]
Dalam suasana seperti
ini, agama seringkali menjadi titik singgung paling sensitif dan eksklusif dalam
pergaulan pluralitas masyarakat. Masing-masing pihak
mengklaim bahwa dirinyalah yang paling
benar (truth claim), sedangkan pihak
lain adalah salah. Persepsi bahwa perbedaan adalah merupakan sesuatu yang buruk, suatu hal yang menakutkan, sudah
begitu mendarah daging dalam jiwa umat
beragama. Perbedaan ternyata belum sepenuhnya disadari sebagai kekayaan dan kenyataan
hidup yang begitu indah, namun malah menjadi sarana untuk berperilaku destruktif-anarkis. Penyelesaian dengan kepala dingin, mengedepankan dialog,
jalan damai dan berbasis nilai kemanusiaan ternyata belum menjadi pilihan
utama.
Untuk mendapatkan suasana yang toleran serta
penghormatan yang tulus bagi masing-masing pemeluk agama, maka kiranya
melanjutkan usaha untuk saling mengetahui secara lebih baik dengan usaha menerapkan
mekanisme dialog pada seluruh tingkatan, khususnya level akar rumput, serta
memperhatikan masalah-masalah dan keluhan-keluhan yang ada diberbagai
komunitas.[7]
Hubungan timbal balik dengan mengajukan gagasan dan mendengar gagasan itulah yang
akan melahirkan prinsip musyawarah (dialog), baik yang dilakukan secara
langsung antar perseorangan dalam pergaulan sehari-hari maupun secara tidak
langsung melalui mekanisme dan pelembagaan yang dipilih dan ditetapkan bersama.
Dan menurut agama juga dijelaskan bahwa, pangkal kebijaksanaan adalah
musyawarah (ra’sul hikmah al-masyurah).[8]
Pendidikan adalah salah
satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan syarat akan
perkembangan. Karena itu, perubahan atau perkembangan adalah hal yang memang
seharusnya terjadi dan harus sejalan dengan perubahan budaya kehidupan. Dalam
Islam, tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah membentuk insan
kamil, yakni manusia paripurna yang memilki kecerdasan intelektual,
emosional dan spiritual sekaligus. Tujuan seperti ini tidak mungkin tercapai
dan terwujud tanpa adanya sistem dan proses yang baik. Oleh karena itu,
pendidikan Islam perlunya merumuskan dan merancang bangunan pemikiran
kependidikan Islam yang diharapkan mampu menciptakan manusia-manusia paripurna,
yang akan mengemban tugas mensejahterakan dan memakmurkan kehidupan dimuka bumi
ini.
Melalui sistem pendidikan
terutama pada kurikulum pendidikan yang sayogyanya dapat diperhitungkan dan
dipertimbangkan dalam mendesain dan mengembangkan kurikulum, yaitu karena
masyarakat Indonesia masyarakat yang majemuk, maka kurikulum yang ideal adalah
kurikulum yang dapat menunjang peserta didik yang tidak hanya pandai, tetapi
juga bermoral dan etis, dapat hidup dalam suasana pluralis dan demokratis satu
dengan yang lain serta menghormati hak-hak orang lain.
Referensi:
Ali Maksum dan
Luluk Yunan Ruhendi. (2004). Paradigma
Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern; Mencari Visi Baru atas
Realitas Baru Pendidikan Kita. Yogyakarta: Ircisod.
M. Amin
Abdullah. (2005). Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius. Jakarta:
PSAP Muhammadiyah.
Alpha Amirrachman (ed.). (2007). Revitalisasi Kearifan Lokal; Studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso. Jakarta: ICIP.
Andi Muh. Darlus. (2012). Konflik Komunal; Studi
dan Rekonsiliasi Konflik Poso. Jakarta:
Buku Litera.
Ngainun Naim. (2011). Teologi Kerukunan; Mencari
Titik Temu dalam Keragaman. Yogyakarta: Teras.
Franz Magniz-Suseno, dkk. (2007). Memahami Hubungan
antar Agama. Yogyakarta: Elsaq Press.
Nurcholis Madjid. (1997). Islam Kemodernan dan
Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
[1]
Seperti diketahui bahwa Bangsa Indonesia merupakan negara kepulauan dengan
jumlah pulau terbesar di Dunia yang mencapai 17.667 pulau besar dan kecil.
Dengan jumlah pulau sebanyak ini, maka wajarlah jika kemajemukan masyarakat di
Indonesia merupakan suatu keniscayaan. Dengan keadaan yang begitu majemuk,
warga negara Indonesia, seperti dikatan Usman Pelly, dapat disatukan bahasa
komunikasinya dengan bahasa nasional (Bahasa Indonesia) meskipun dalam
kenyataanya terdapat 350 kelompok etnis, adat istiadat dan cara-cara sesuai
dengan kondisi lingkungan tertentu. Lihat: Ali
Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma
Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern; Mencari Visi Baru atas
Realitas Baru Pendidikan Kita, Cet. I, (Yogyakarta: Ircisod. 2004), hal.
189-190.
[2] M. Amin
Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius, (Jakarta:
PSAP Muhammadiyah. 2005), hal. 5.
[3] Alpha Amirrachman (ed.), Revitalisasi Kearifan Lokal; Studi Resolusi Konflik di Kalimantan
Barat, Maluku dan Poso, Cet. II, (Jakarta: ICIP, 2007), hal. 110.
[4]
Andi Muh. Darlus, Konflik Komunal; Studi dan Rekonsiliasi Konflik Poso,
Cet. I,
(Jakarta: Buku Litera.
2012), hal. 27.
[5]
Ngainun Naim, Teologi Kerukunan;
Mencari Titik Temu dalam Keragaman, Cet. I, (Yogyakarta:
Teras. 2011),
hal. v.
[6] Ibid., hal. 15-16.
[7]
Franz Magniz Suseno, dkk., Memahami Hubungan antar Agama, Cet. I, (Yogyakarta: Elsaq Press.
2007), hal. 22.
0 comments: