Prawacana
Tak pelak lagi bahwa di era sekarang ini di mana era teknologi-informasi, era digital, globalisasi, dan internet benar-benar menampilkan wajah yang berbeda dari
era-era sebelumnya. Salah satu keberhasilan era ini adalah
menyebarnya umat manusia di segala penjuru dunia yang membuat setiap individu
tak lagi terhalangi untuk mengakses perkembangan dan penemuan ilmu pengetahuan
yang bergerak cepat setiap harinya.
Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi-informasi di samping mendatangkan aspek manfaat dan kebahagiaan, juga
menimbulkan masalah etis dan kejiwaan baru bagi manusia. Efek samping itu ternyata berdampak pada aspek sosiologis, psikologis hingga masalah teologis. Pemecahannya pun sangat
rumit, dikarenakan problemnya yang beraneka ragam. Bahkan kerumitannya itu telah
melibatkan dan mempengaruhi seluruh sistem kehidupan menusia.
Dengan pesatnya perkembangan teknologi dan informasi yang semakin canggihnya, hampir semua yang terjadi di pelosok dunia dapat
segera diketahui. Dunia saat ini dianalogikan dengan sebuah desa yang transparan atau tembus pandang. Teknologi di bidang internet dengan
menggunakan jasa live streaming telah menghadirkan pentas dunia di layar smart phone, laptop, dan sarana teknologi lainnya. Smart phone dengan jaringan wife atau paket data internet akses informasi sangat luas jangkauannya, bisa melalui google, kanal youtube, dan bisa juga melalui bermacam jenis sosial media seperti facebook, instagram, twitter dlsb. Ini tentu sangat mempermudah manusia untuk mendapatkan berbagai macam informasi dan tata cara hubungan
komunikasi antarmanusia. Namun kemudahan ini justru telah menjadikan manusia tidak lagi menjadikan “yang lain”, dari
jenis dirinya sendiri, sebagai kawan di dunia nyata. Mereka lebih memilih dan
betah berlama-lama memegang smartphone untuk menghirup nyawa di dunia maya dengan mengantikan
kebiasaan sharing bareng yang lebih mendekatkan emosional antar
individu di tengah masyarakat.
Secara praktis manusia
dibikin mudah oleh berbagai temuan modern dengan menciptakan kemungkinan bagi
perbaikan taraf kehidupan manusia, mengangkat penderitaan fisik, dan
meringankan beban berat mereka. Berbagai bentuk perubahan sosial yang menyertai
era digital tersebut pada gilirannya mempengaruhi cara pandang manusia
terhadap kehidupan. Di era ini juga seperti nilai, norma dan cara hidup
berganti begitu cepat menjadi tatanan baru. Tatanan baru inilah yang semakin
menjauhkan manusia dari kepastian moral dan nilai luhur yang telah dipegang
teguh sebelumnya.
Perspektif Masyarakat di Era Global
Sebagaian dari masyarakat
secara terang terangan menunjukan ketakutan dan kekhawatiran dalam merespon
setiap pemikiran dan aliran baru yang berkembang sekarang ini. Dari
kekhawatiran tersebut, mereka kemudian cenderung bersikap resisten demi
melindungi nilai-nilai luhur agama dan identitas budaya dari pengaruh negatif
berbagai pemikiraan dan aliran yang berkembang. Sementara pada saat yang sama,
sebagian masyarakat yang lain cenderung menerima tanpa reserve. Mereka
mengelu-elukan dan mengecam orang-orang yang menolaknya sebagai kelompok yang
bodoh, konservatif, terbelakang, dan ketinggalan zaman.
Dalam banyak kesempatan kedua
kelompok di atas—yang menolak pengaruh luar secara mutlak dan menerima secara
mutlak—sering kali terlibat dalam debat dan perselisihan panjang, yang banyak
menyita banyak waktu dan tenaga. Sekalipun dalam perspektif yang berjauhan,
baik kelompok yang menolak pengaruh dari luar maupun yang menerima, sebenarnya
cenderung menggunakan cara pandang yang parsial dan tidak mengkaji
permasalahan-permasalahan yang ada secara objektif-universal.
Pendidikan di Era Teknologi-Informasi yang Mengglobal
Terpaan gelombang globalisasi membawa implikasi yang cukup serius bagi dunia pendidikan kita saat ini.
Pendidikan menjadi kian bergeser dari status dan fungsi awalnya yang cukup
idealis, yaitu sebagai human development, kini dipaksa tereduksi hanya
sebagai komoditas dan harus terbingkai dalam logika pasar. Era globalisasi, teknologi dan informasi ini diakui telah menimbulkan dilema tersendiri bagi dunia pendidikan, begitu juga
pendidikan Islam. Hal ini mengingatkan konfigurasi pendidikan Islam yang secara
umum lebih berorientasi pada dimensi etika religius atau kurang
mempertimbangkan aspek pragmatis (pasaran pendidikan). Paradigma pendidikan
Islam masih bersifat segmentaris-parsialistik dan belum bersifat totalistik-integralistik.
Sebagai akibatnya, pendidikan Islam secara empiris-konseptual belum
mengakomodasikan dan mengimbangi kemajuan sains di era global.
Berangkat dari sini, maka
misi utama yang diemban oleh institusi pendidikan Islam adalah menjadikan “manusia-manusia
beriman” dan “berpengetahuan”, yang keadaannya antara satu dengan
yang lainnya saling menunjang dalam melahirkan peradaban. Dimensi keimanan dan
pengetahuan menjadi variabel utama dalam menjaga keseimbangan kepribadian pada
diri setiap manusia. Keimanan akan selalu berorientasi pada ketakwaan yang akan membawa manusia pada kebenaran dalam menetapkan misi pengembangan ilmu
pengetahuan.
Era teknologi informasi yang mengglobal saat ini beserta masalah
yang ditimbulkannya merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari sebagai
perkembangan dari realitas sejarah kemanusiaan. Oleh karena itu, lari dari
kenyataan tersebut merupakan tindakan yang tidak bijaksana, karena hal ini
justru bertentangan dengan semangat Islam yang menekankan kedinamisan. Pada
konteks ini, pendidikan Islam tidak bisa bersifat konservatif, akan tetapi
perlu melakukan reformasi dan reformulasi ulang terkait mutu kelembagaan agar
kehadirannya bisa capable dan compatible dengan realitas zaman yang
dibutuhkan umat Islam. Dalam konteks keindonesiaan, pendidikan Islam perlu
ikut mengambil peran dalam proses reformasi pendidikan.
Reposisi Pendidikan Islam di Era Global
Gelombang globalisasi yang menghasilkan era teknologi informasi sampai era digital seperti sekarang ini muncul sebagai megatrend dan bukan muncul karena mendadak. Karena sebelumnya telah melewati tahapan-tahapan perjalanan sejarah kemanusiaan yang panjang. Harus
disadari bahwa era digital saat ini merupakan kenyataan yang tak mungkin di tolak. Pada
awalnya era ini merambah lewat jalur ekonomi, kemudian melebar lewat jalur
politik dan budaya, sehingga akhirnya benar-benar menjelma menjadi sebuah
fenomena tak terpungkiri yang muncul di hadapan kita.
Kita tidak bisa berpura-pura
tidak tahu bahwa kita hidup bersama komunitas-komunitas lain di dunia. Saat ini
kita telah berada di era teknologi-informasi dan digitalisasi; era penuh keterbukaan yang tak mungkin menyediakan peluang untuk mengisolasi
diri kita sendiri. Jika kita bersikap konservatif dengan era ini sama saja akan menjadikan kita kehilangan keseimbangan. Karena yang demikian
tak akan pernah memberikan jalan keluar, justru malah akan menggiring kita untuk
tidak berfikir secara jernih.
Inilah realitas zaman yang sedangbkita hadapi di hadapan kita! Maka, kewajiban kita adalah bagaimana berinteraksi
dengannya secara positif. Toh, realitas global ini tidak semuanya
buruk dan tidak pula semuanya baik. Karena itu kita harus menyikapinya lewat
berbagai bentuk artikulasi yang kritis namun proporsional, yaitu dengan
berfikir kritis-konstruktif dan rasional serta jauh dari sentimen dan emosi kala
berinteraksi dengannya.
Dari gambaran tersebut,
idealnya kita tidak mengambil posisi sebagai pendukung atau penentang, melainkan kita harus menyikapi era ini juga arus pemikiran
lainnya secara kritis-kontruktif. Sebagai seorang muslim sejati harus mengambil
sikap kritis dengan menelaah setiap permasalahan yang berkembang dari segala
sisinya, bukan malah tergesa-gesa mendukung atau menolak arus baru yang datang
tanpa disertai kesadaran yang utuh tanpa reserve.
Pendidikan merupakan salah satu
investasi sumber daya manusia yang diharapkan mengubah kehidupan suatu bangsa
ke arah yang lebih baik. Sebagai social investment yang berhajat
meningkatkan sumber daya manusia, tentunya pendidikan yang berlangsung di
negeri kita ini tidak semata diharapkan berhasil dalam memindahkan pengetahuan
dan nilai-nilai kepada generasi berikutnya, tetapi juga dapat memperbaiki nasib
dan kualitas peradaban orang-orangnya.
Dari sinilah yang menjadi misi
utama yang diemban oleh institusi pendidikan Islam, yaitu menjadikan
manusia-manusia beriman dan berpengetahuan, yang keadaannya antara satu dengan
yang lainnya saling menunjang dalam melahirkan peradaban. Dimensi keimanan dan
pengetahuan menjadi variabel utama dalam menjaga keseimbangan kepribadian pada
diri setiap manusia. Keimanan akan selalu berorientasi pada ketakwaan dan
membawa manusia pada kebenaran dalam menetapkan misi pengembangan ilmu
pengetahuan.
Tak pelak lagi idealisme
manusia sebagai manusia yang berkepribadian utuh dalam keseimbangan akal, emosi
dan keyakinan yang tak layak lagi tersisih sebagai arahan dan dalam materi
pendidikan. Karena pendidikan Islam adalah sebagai proses transformasi pengetahuan menuju ke arah perbaikan, penguatan dan
penyempurnaan semua potensi manusia, demi terciptanya insane kamil (manusia
paripurna) yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual
sekaligus. Ini artinya bahwa pendidikan itu berlangsung sepanjang hayat dan bisa dilakukan
di mana saja dan kapan saja selagi kita itu mau dan mampu melakukan proses
kependidikan. Untuk mencapai pada tujuan yang sesungguhnya yaitu insane kamil, diperlukan suatu proses dan sistem pendidikan yang baik, yaitu proses yang
kontinyu dan dengan gerak yang dinamis dan tidak dikotomis serta sistem pendidikan yang mengantarkan individu pada proses menuju kebaikan
dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat kelak.
Berangkat dari pola berfikir
integratif, yaitu menyatukan arti kehidupan dunia dan akhirat, maka pendidikan
umum pada hakikatnya adalah pendidikan agama, juga begitu sebaliknya pendidikan
agama adalah pendidikan umum. Idealnya, tidak perlu terjadi persoalan
ambivalensi dan dikotomik dalam orientasi pendidikan Islam. Karena tujuan pendidikan
Islam adalah untu mendidik akal dan jiwa dan menyampaikannya pada batas-batas
kemungkinan seorang mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dari tujuan pendidikan ini di dalamnya mencakup aspek akal dan spiritual. Dengan tujuan ini pula yang menginginkan terbentuknya pribadi manusia yang
mempunyai struktur jiwa yang seimbang, antara akal dan spiritual. Karena jika akal dan spiritual dididik dengan cara dicerdaskan melalui agama, maka umat
Islam akan dapat bersaing dengan ilmu pengetahuan baru, dan dapat mengimbangi
mereka dalam kebudayaan.
Dengan adanya penyatuan ilmu
dengan nilai-nilai ajaran Islam, persoalan dikotomi akan dapat dicarikan jalan
keluarnya. Wawasan ilmu tidak lagi dipisahkan secara dikotomis dalam pembagian
ilmu-ilmu agama dan umum. Tetapi akan dibedakan, bukan dipisahkan, menjadi
ilmu-ilmu yang menyangkut ayat-ayat tanziliyah atau yat-ayat yang tersurat
dalam Al-Qur'an dan hadis—dan ilmu tentang ayat kauniyah, atau ilmu atau
pengetahuan tentang kealaman.
Membangun sebuah sistem pendidikan
Islam yang tepat untuk era sekarang memang bukanlah perkara mudah.
Karena memerlukan adanya pemikiran dan perencanaan yang terpadu dan menyeluruh.
Pendekatan yang digunakan pun tidak sekedar pendekatan tambal sulam (scissor
and paste approach), akan tetapi harus menggunakan pendekatan integralistik (integralistical
approach).
Maka dari itu, pendidikan Islam dalam merespon tantangan yang ada harus didesain sebagai model pendidikan integralistik yang akan menjadi alternatif; karena dirasa ada kesesuaian dengan kebutuhan dan perkembangan di era sekarang.
Meminjam pendapat Hasim Amir,
pendidikan Islam di era global adalah pendidikan yang idealistik, yakni
pendidikan yang integralistik, humanistik, pragmatik dan berakar pada budaya yang kuat. Pendidikan integralistik merupakan pendidikan yang berorientasi pada rabbaniyah
(ketuhanan), insaniyah (kemanusiaan), ‘alamiyah (alam pada
umumnya), sebagai suatu yang integralistik bagi perwujudan kehidupan yang baik
dan untuk mewujudkan rahmatan lil ‘alamin, serta pendidikan yang
menganggap manusia sebagai sebuah pribadi utuh jasmani-rohani, intelektual,
perasaan dan individual-sosial.
Dengan pendidikan
integralistik tersebut diharapkan dapat menghasilkan peserta
didik yang memiliki integritas tinggi yang dapat bersyukur dan menyatu dengan
kehendak Tuhannya dan dirinya sendiri, sehingga tidak memiliki kepribadian
mendua (dikotomik), namun menyatu dengan masyarakat, sehingga menghilangkan
disintegrasi sosial, dan dapat menyatu dengan alam, bukan membuat kerusakan
alam akan tetapi menjaga, memelihara dan memberdayakan serta mengoptimalkan
potensi alam sesuai kebutuhan manusia.
Pada akhirnya, dengan
memadukan Islam sebagai dimensi spiritual dengan sains yang umumnya
berparadigma materialistik akan dihasilkan bangunan ilmu pengetahuan yang
seimbang atau ekuilibrium. Dalam proses pemaduan itu, Islam ditempatkan
sebagai basis teoretik guna penyusunan landasan etik ilmu pengetahuan dan anak
kandungnya teknologi yang terarah dan lebih manusiawi. Sebagai implikasinya,
proses dan kerja saintifik memiliki orientasi dan makna yang jelas,
karena ia dikendalikan oleh landasan tauhid serta didasari motivasi untuk
beribadah kepada Allah Swt.
Pemahaman seperti ini sehingga dapat memebebaskan masalah dikotomik ilmu dalam pendidikan Islam, yaitu tidak ditemukan lagi dua kutub kebenaran yang saling berlawanan (ilmiah dan
religius), namun yang ada hanyalah kebenaran tunggal, yaitu ilmiah sekaligus religius.
Melalui prinsip seperti ini, interelasi hasil-hasil ilmu pengetahuan dan
interpretasi manusia atas wahyu dituangkan dalam bentuk konsesus kebenaran
tunggal, dan tidak memberikan peluang polarisasi.
Pada era global ini, ekuilibrium
antara posisi ilmu nalar dengan nilai-nilai etika-moral dalam kehidupan
sehari-hari menjadi sangat signifikan dan bermakna. Sebab era teknologi informasi dan era digital sekarang ini telah mengubah posisi agama pada tatanan inferior di banding ilmu
pengetahuan. Akibatnya, diakui atau tidak, tampilan era global sekarang ini ternyata dapat mendistorsi persoalan etika dan moralitas yang
sangat dijunjung tinggi dalam ajaran agama.
Oleh Karen itu, pada era seperti sekarang ini tidak sedikit kalangan yang menyebutnya sebagai era kebangkitan
agama dengan performa yang lebih rasional. Otoritas wahyu mesti dikawinkan
dengan penafsiran nalar dan ilmu, dalam rangka aktualisasi diri menyikapi
persoalan kemanusiaan sehari-hari yang kian menantang. Dalam kaitan ini
pertautan antara teks agama dengan nalar manusia menjadi sangat menarik
dimaknai secara teologis untuk memantulkan nilai-nilai eternal ajaran
suci ke dalam realitas ilmu pengetahuan. Karena, kedudukan intelek adalah di hati bukan di kepala, dan akal tidak lebih adalah pantulan ruhaniyah. Karenanya, secara konseptual bahwa nalar dan wahyu merupakan dua entitas yang sebenarnya tidak
perlu dipertentangkan secara diametral.
Konklusi
Pendidikan Islam idealnya tidak
mengambil posisi sebagai pendukung atau penentang di era global, akan tetapi harus
menyikapi era ini juga arus pemikiran lainnya secara kritis-kontruktif. Di samping
hal tersebut, pendidikan Islam lebih mengutamakan pada out put pendidikan,
yakni manusia-manusia yang mampu menelaah setiap persoalan dan permasalahan
yang berkembang dari segala sisinya, bukan malah tergesa-gesa mendukung atau
menolak arus baru yang datang tanpa disertai kesadaran yang utuh. Salah satunya
adalah paradigma pendidikannya harus diorientasikan pada cara pandang yang kritis,
serta tanggap akan realitas, dan muatan kurikulum di dalamnya dijabarkan dengan
sedemikian rupa, dan pembelajarannya pun menyenangkan. Sehingga peserta didik
dapat belajar secara aktif-kreatif dan berkembang segala potensi yang
dimilikinya.
Pendidikan Islam di era
global adalah pendidikan yang idealistik, yakni pendidikan yang integralistik-humanistik-pragmatik
dan berakar pada budaya kuat. Pendidikan integralistik merupakan pendidikan
yang berorientasi pada ketuhanan, kemanusiaan dan alam pada umumnya sebagai sesuatu yang
integralistik bagi perwujudan kehidupan yang baik dan untuk mewujudkan rahmatan
lil ‘alamin, serta pendidikan yang menganggap manusia sebagai pribadi yang utuh, baik itu menyangkut aspek jasmani-rohani, intelektual, perasaan dan individual-sosial.
Dengan paradigma tersebut,
diharapkan dapat menghasilkan peserta didik yang memiliki
integritas tinggi, bersyukur, menyatu dengan kehendak Tuhan dan
dirinya sendiri, serta tidak memiliki kepribadian mendua (dikotomik), akan tetapi menyatu
dengan masyarakat, sehingga menghilangkan disintegrasi sosial. Peserta didik juga dapat
menyatu dengan alam bukan malah membuat kerusakan alam, akan tetapi menjaga,
memelihara dan melestatikan serta memberdayakan dengan mengoptimalkan potensi alam sesuai dengan kebutuhan.
Referensi:
Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi. (2004). Paradigma
Pendidikan Universal di Era Modern dan Post Modern; Mencari “Visi Baru”
atas “Realitas baru” Pendidikan Kita. Yogyakarta: IrCiSod.
Maftukhin. (2012). Filsafat
Islam. Yogyakarta: teras.
Moh. Roqib. (2009). Ilmu Pendidikan Islam; Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat.
Yogakarta: L-KiS.
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus. (2011). Jejak
Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam; Ibnu Sina-Azyumardi Azra.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Zubaedi. (2012). Isu-Isu Baru dalam
Diskursus Filsafat Pendidikan Islam dan Kapita Selekta Pendidikan Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.