Sunday, April 19, 2015

PLURALISME DAN WARNA-WARNI PARTAI POLITIK

PLURALISME DAN WARNA-WARNI PARTAI POLITIK
Prawacana
PERBEDAAN dalam memilih partai politik—selanjutnya disingkat Parpol—dalam masyarakat, akhir-akhir ini mayoritas—jika tidak dikatakan semuanya—masyarakat terjerumus pada diskriminasi interaksi antar masyarakat dengan yang lainnya. Perpecahan yang disebabkan karena perbedaan dalam memilih parpol disaat pemilihan umum—disingkat Pemilu—bukan menjadi hal yang asing lagi. Begitu ironis dan kurang logis gara-gara perbedaan parpol dalam satu keluarga dan rumah tangga menjadi pecah dan saling benci. Padahal pebedaan pada parpol bukan lah menjadi persoalan yang patut untuk dibesar-besarkan, namun perbedaan dan warna-warni parpol merupakan keindahan yang harus kita jaga dan kita sadari sebagai nikmati yang besar dalam konteks pesta demokrasi di negeri tercinta ini.

Berawal dari klaim paling benar (truth claim), dan terlalu konservatif—baca kolot—terhadap pilihannya dengan menafikan yang lain, atau bahwa partai politik pilihnya paling superior sehingga lupa dengan tanggung jawab pribadinya sebagai keluarga dan warga negaranya, yaitu terciptanya keutuhan keluarga dan persatuan Negara Kesatuan Repuklik Indonesia (NKRI).

Bagi parpol itu sendiri sering muncul dan terlihat di media—seperti televisi dan baliho yang ditempel dijalan-jalan—sebagai bukti ambisi masing-masing untuk menunjukan eksistensi yang salah satu tujuannya yaitu mengambil simpatik hati rakyat tanpa memperhitungkan apakah cara yang dilakukan itu melanggar aspek norma atau aturan yang dipegang teguh sebelumnya. Sehingga yang terjadi adalah saling menjatuhkan, menghujat bahkan pembunuhan karakter antar parpol yang satu dan lainnya demi eksistensi dihadapan masyarakat dan antar parpol itu sendiri.

Sifat eksklusif dan intoleransi tersebut sebagai cerminan bahwa masyarakat belumlah mampu memahami serta menanamkan nilai pluralisme dan sikap toleransi dalam realitas kehidupannya. Padahal sikap dan nilai-nilai tersebut patut dan penting untuk direalisasikan, dengan alasan untuk mempererat tali silaturahim dan persaudaraan antar masyarakat, dengan tujuan mengantarkan pada cara pandang yang toleran, inklusif dan peduli terhadap sesama, berlaku adil kepada kelompok dan entitas lain atas dasar perdamaian dan saling memiliki.

Makna Pluralisme
Pluralisme (paham kemajemukan) pada dasarnya merupakan pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (geniune engagement of diverdities within the bonds of cifility) yang merupakan keniscayaan bagi keselamatan umat manusia. Hai ini bisa dilakukan antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya, bukan sekedar “kebaikan negatif” (negative good) yang difungsikan sebagai upaya menyingkirkan fanatisme.

Dengan penjelasan tersebut, memberi pengertian kepada kita bahwa, sangat dibutuhkan sebuah pengakuan, penerimaan dan sikap tulus terhadap kemajemukan, keberagaman dan heterogenitas yang ada sebagai rahmat Tuhan, yang akan membawa manusia dan kelompok keakulturasi budaya yang tinggi dan dinamis, sehingga akan tercapailah tugas tersebut. Yaitu mampu mengantarkan individu, masyarakat dan kelompok untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, melintas batas kelompok atau etnis dan tradisi budaya yang lebih tinggi. Karena pemahaman tersebut merupakan sebagai titik pijak untuk melihat kemanusiaan, masyarakat dan partai sekalipun merupakan sebuah keluarga yang memiliki perbedaan maupun kesamaan cita-cita.

Implementasi Nilai Pluralisme Terhadap Warna-Warni Parpol
Sebuah implementasi nilai pluralisme, kita tidak hanya mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak orang lain, masyarakat lain, kelompok atau partai yang lain itu untuk ada, tetapi juga mengandung makna bahwa, kita bersedia berlaku adil atas dasar perdamaian dan saling menghormati. Jadi, kita harus bersikap profesional dan proporsional dengan tidak saling mencaci, menghasut apalagi saling membunuh karakter, namun selalu berdampingan dan bersama-sama menciptakan perdamaian. Karena perbedaan dalam partai politik hanyalah sebatas perbedaan dalam cara, jalan atau kendaraan untuk mencapai suatu tujuan. Namun pada intinya bertemu pada satu titik orientasi atau tujuan yang sama, yaitu persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia menuju kearah yang lebih baik dan demokratis.

Perlu disadari bahwa, perbedaan adalah suatu hal yang wajar, dan itu merupakan sebuah aturan Tuhan Yang Maha Esa yang tidak akan berubah akan kepastiannya. Untuk mencapai taraf hidup yang makmur dan sejahtera, harus menghindari perilaku diskriminatif dengan senantiasa bekerjasama dalam hal muamalat dan untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan golongan atau Parpol saja. Jadi, merupakan sebuah kesediaan untuk menerima perbedaan sebagai rahmat itulah merupakan pangkal persaudaraan, terutama persaudaraan atas dasar keimanan. Dengan dasar itulah pada masing-masing individu, masyarakat dan parpol mampu memberikan tauladan dan berkepribadian penuh dengan saling pengertian, toleransi serta lapang dada. Yaitu dengan membiasakan musyawarah (dialog) dengan menjalankan sebuah prinsip atau sikap lemah lembut, penuh pengertian dan perilaku yang simpatik. Maka dengan sendirinya akan tercipta kerjasama yang harmonis baik individu, masyarakat dan Parpol itu sendiri dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yakni Indonesia.

Dengan landasan tersebut, maka dengan sendirinya pula seluruh lapisan masyarakat yang terdaftar dalam daftar pemilih, baik Pemilu Legislatif (Pileg) maupun Pemilu Presiden (Pilpres) akan berbondong-bodong datang ke-TPS untuk mencoblos dengan cerdas terhadap calon pemimpin dan partai politik pada Pemilu mendatang.

BELAJAR MEMAHAMI HAKIKAT CINTA

BELAJAR MEMAHAMI HAKIKAT CINTA
CINTA adalah kasih sayang dan naluri jiwa manusia yang suci, indah dan penuh kedamaian. Setiap manusia yang hidup, naluri cinta dan kasih sayang muncul dengan sendirinya, karena cinta merupakan anugrah Tuhan yang diberikan kepada manusia sejak ia lahir. Karena naluri cinta inilah, sehingga jiwa manusia menjadi damai, tenang dan tentram. Karenanya, mensyukuri nikmat Tuhan adalah kewajiban, karena cinta adalah nikmat Tuhan, maka mensyukuri nikmat (cinta) adalah kewajiban bagi setiap manusia.

Manusia hidup pastinya membutuhkan kedamaian dan ketentraman. Hati dan jiwa manusia menjadi tentram manakala cinta itu selalu tertanam dan termanifestasi dalam tiap-tiap sendi kehidupan, baik kehidupan individual, yaitu dengan cinta kepada Sang Khalik (hablum minallah) yang termanifestasi dengan ketaatan dan kepatuhannya atas segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Kemudian dalam kehidupan yang lebih luas lagi, yaitu kehidupan sosial dengan mencintai sesama manusia (hablum minannas) maupun alam di mana tempat kita hidup (hablum minal ‘alam).

Untuk pertama kalinya dalam memupuk pribadi manusia yang shaleh, sebuah interaksi dengan Sang Khalik menjadi kebutuhan substantif bagi setiap individu. Sebab, kepribadian baik manusia akan terbangun karena kebutuhan ruhani-nya terpenuhi. Sebaliknya, pribadi manusia itu buruk tidak lain karena interaksi dengan Sang khalik belumlah terbangun secara baik dan konsisten. Jadi, pribadi yang baik manusia akan tercipta manakala ia mampu membangun hubungan transendental dengan baik.

Mencintai sesama menjadi hak hidup kita semua, karena cinta menjadi kebutuhan hakiki dalam hidup dan kehidupan. Hidup tanpa cinta adalah malapetaka, sedangkan cinta tanpa kehidupan adalah mustahil, sebab hadirnya cinta disebabkan oleh karena kita hidup dalam sebuah kehidupan. Kematian adalah nihil-nya kehidupan dan pasti tidak membutuhkan cinta. Maka dari itu bahwa cinta menjadi sendi dalam hidup dan setiap kehidupan.

Mustahil, Tuhan menciptakan segala sesuatu tanpa maksud. Cinta adalah ciptaan Tuhan, dan salah satu maksud diciptakannya segala sesuatu adalah agar ciptaannya saling memberi, mengasihi dan saling mencintai. Segala sesuatu yang diciptakan Allah pastinya berpasang-pasangan. Ada langit ada bumi, ada malam ada siang. Diciptakannya Adam, Hawa lah sebagai pasangan hidup di muka bumi ini. Itulah penciptaan yang hakiki dan inilah hakikat dari sebuah penciptaan Sang Maha Adil, dengan maksud agar kita memahami makna di balik semua ciptaan, dan salah satunya adalah makna cinta di dalamnya.

Langit memberikan kasih sayang dan rasa cintanya dapat kita saksikan, yaitu dengan siraman air hujan dari langit yang tertuju untuk bumi, sehingga tanah menjadi gembur, tanaman dan pepohonan dapat tumbuh subur sehingga menuai hasil seperti buah yang segar, dan manusia lah yang menikmatinya. Malam merupakan waktu istirahat yang sangat berarti bagi manusia, karena di siang harinya disibukkan dengan banyak aktivitas yang cukup melelahkan. Adam dipindahkan ke bumi tidaklah sendiri, tapi bersama dengan Siti Hawa, yang merupakan sepasang manusia yang membangun komitmen dan tali kasih untuk saling mencintai, mengasihi dan menyayangi, baik dalam suka maupun duka.
(Mizanul Akrom)

REPOSISI PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBAL

REPOSISI PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBAL
Prawacana
Tak pelak lagi bahwa di era sekarang ini di mana era teknologi-informasi, era digital, globalisasi, dan internet benar-benar menampilkan wajah yang berbeda dari era-era sebelumnya. Salah satu keberhasilan era ini adalah menyebarnya umat manusia di segala penjuru dunia yang membuat setiap individu tak lagi terhalangi untuk mengakses perkembangan dan penemuan ilmu pengetahuan yang bergerak cepat setiap harinya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi-informasi di samping mendatangkan aspek manfaat dan kebahagiaan, juga menimbulkan masalah etis dan kejiwaan baru bagi manusia. Efek samping itu ternyata berdampak pada aspek sosiologis, psikologis hingga masalah teologis. Pemecahannya pun sangat rumit, dikarenakan problemnya yang beraneka ragam. Bahkan kerumitannya itu telah melibatkan dan mempengaruhi seluruh sistem kehidupan menusia.
Dengan pesatnya perkembangan teknologi dan informasi yang semakin canggihnya, hampir semua yang terjadi di pelosok dunia dapat segera diketahui. Dunia saat ini dianalogikan dengan sebuah desa yang transparan atau tembus pandang. Teknologi di bidang internet dengan menggunakan jasa live streaming telah menghadirkan pentas dunia di layar smart phone, laptop, dan sarana teknologi lainnya. Smart phone dengan jaringan wife atau paket data internet akses informasi sangat luas jangkauannya, bisa melalui google, kanal youtube, dan bisa juga melalui bermacam jenis sosial media seperti facebook, instagram, twitter dlsb. Ini tentu sangat mempermudah manusia untuk mendapatkan berbagai macam informasi dan tata cara hubungan komunikasi antarmanusia. Namun kemudahan ini justru telah menjadikan manusia tidak lagi menjadikan “yang lain”, dari jenis dirinya sendiri, sebagai kawan di dunia nyata. Mereka lebih memilih dan betah berlama-lama memegang smartphone untuk menghirup nyawa di dunia maya dengan mengantikan kebiasaan sharing bareng yang lebih mendekatkan emosional antar individu di tengah masyarakat.
Secara praktis manusia dibikin mudah oleh berbagai temuan modern dengan menciptakan kemungkinan bagi perbaikan taraf kehidupan manusia, mengangkat penderitaan fisik, dan meringankan beban berat mereka. Berbagai bentuk perubahan sosial yang menyertai era digital tersebut pada gilirannya mempengaruhi cara pandang manusia terhadap kehidupan. Di era ini juga seperti nilai, norma dan cara hidup berganti begitu cepat menjadi tatanan baru. Tatanan baru inilah yang semakin menjauhkan manusia dari kepastian moral dan nilai luhur yang telah dipegang teguh sebelumnya.

Perspektif Masyarakat di Era Global
Sebagaian dari masyarakat secara terang terangan menunjukan ketakutan dan kekhawatiran dalam merespon setiap pemikiran dan aliran baru yang berkembang sekarang ini. Dari kekhawatiran tersebut, mereka kemudian cenderung bersikap resisten demi melindungi nilai-nilai luhur agama dan identitas budaya dari pengaruh negatif berbagai pemikiraan dan aliran yang berkembang. Sementara pada saat yang sama, sebagian masyarakat yang lain cenderung menerima tanpa reserve. Mereka mengelu-elukan dan mengecam orang-orang yang menolaknya sebagai kelompok yang bodoh, konservatif, terbelakang, dan ketinggalan zaman.
Dalam banyak kesempatan kedua kelompok di atas—yang menolak pengaruh luar secara mutlak dan menerima secara mutlak—sering kali terlibat dalam debat dan perselisihan panjang, yang banyak menyita banyak waktu dan tenaga. Sekalipun dalam perspektif yang berjauhan, baik kelompok yang menolak pengaruh dari luar maupun yang menerima, sebenarnya cenderung menggunakan cara pandang yang parsial dan tidak mengkaji permasalahan-permasalahan yang ada secara objektif-universal.

Pendidikan di Era Teknologi-Informasi yang Mengglobal
Terpaan gelombang globalisasi membawa implikasi yang cukup serius bagi dunia pendidikan kita saat ini. Pendidikan menjadi kian bergeser dari status dan fungsi awalnya yang cukup idealis, yaitu sebagai human development, kini dipaksa tereduksi hanya sebagai komoditas dan harus terbingkai dalam logika pasar. Era globalisasi, teknologi dan informasi ini diakui telah menimbulkan dilema tersendiri bagi dunia pendidikan, begitu juga pendidikan Islam. Hal ini mengingatkan konfigurasi pendidikan Islam yang secara umum lebih berorientasi pada dimensi etika religius atau kurang mempertimbangkan aspek pragmatis (pasaran pendidikan). Paradigma pendidikan Islam masih bersifat segmentaris-parsialistik dan belum bersifat totalistik-integralistik. Sebagai akibatnya, pendidikan Islam secara empiris-konseptual belum mengakomodasikan dan mengimbangi kemajuan sains di era global. 
Berangkat dari sini, maka misi utama yang diemban oleh institusi pendidikan Islam adalah menjadikan “manusia-manusia beriman” dan “berpengetahuan”, yang keadaannya antara satu dengan yang lainnya saling menunjang dalam melahirkan peradaban. Dimensi keimanan dan pengetahuan menjadi variabel utama dalam menjaga keseimbangan kepribadian pada diri setiap manusia. Keimanan akan selalu berorientasi pada ketakwaan yang akan membawa manusia pada kebenaran dalam menetapkan misi pengembangan ilmu pengetahuan.
Era teknologi informasi yang mengglobal saat ini beserta masalah yang ditimbulkannya merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari sebagai perkembangan dari realitas sejarah kemanusiaan. Oleh karena itu, lari dari kenyataan tersebut merupakan tindakan yang tidak bijaksana, karena hal ini justru bertentangan dengan semangat Islam yang menekankan kedinamisan. Pada konteks ini, pendidikan Islam tidak bisa bersifat konservatif, akan tetapi perlu melakukan reformasi dan reformulasi ulang terkait mutu kelembagaan agar kehadirannya bisa capable dan compatible dengan realitas zaman yang dibutuhkan umat Islam. Dalam konteks keindonesiaan, pendidikan Islam perlu ikut mengambil peran dalam proses reformasi pendidikan.

Reposisi Pendidikan Islam di Era Global
Gelombang globalisasi yang menghasilkan era teknologi informasi sampai era digital seperti sekarang ini muncul sebagai megatrend dan bukan muncul karena mendadak. Karena sebelumnya telah melewati tahapan-tahapan perjalanan sejarah kemanusiaan yang panjang. Harus disadari bahwa era digital saat ini merupakan kenyataan yang tak mungkin di tolak. Pada awalnya era ini merambah lewat jalur ekonomi, kemudian melebar lewat jalur politik dan budaya, sehingga akhirnya benar-benar menjelma menjadi sebuah fenomena tak terpungkiri yang muncul di hadapan kita.
Kita tidak bisa berpura-pura tidak tahu bahwa kita hidup bersama komunitas-komunitas lain di dunia. Saat ini kita telah berada di era teknologi-informasi dan digitalisasi; era penuh keterbukaan yang tak mungkin menyediakan peluang untuk mengisolasi diri kita sendiri. Jika kita bersikap konservatif dengan era ini sama saja akan menjadikan kita kehilangan keseimbangan. Karena yang demikian tak akan pernah memberikan jalan keluar, justru malah akan menggiring kita untuk tidak berfikir secara jernih.
Inilah realitas zaman yang sedangbkita hadapi di hadapan kita! Maka, kewajiban kita adalah bagaimana berinteraksi dengannya secara positif. Toh, realitas global ini tidak semuanya buruk dan tidak pula semuanya baik. Karena itu kita harus menyikapinya lewat berbagai bentuk artikulasi yang kritis namun proporsional, yaitu dengan berfikir kritis-konstruktif dan rasional serta jauh dari sentimen dan emosi kala berinteraksi dengannya.
Dari gambaran tersebut, idealnya kita tidak mengambil posisi sebagai pendukung atau penentang, melainkan kita harus menyikapi era ini juga arus pemikiran lainnya secara kritis-kontruktif. Sebagai seorang muslim sejati harus mengambil sikap kritis dengan menelaah setiap permasalahan yang berkembang dari segala sisinya, bukan malah tergesa-gesa mendukung atau menolak arus baru yang datang tanpa disertai kesadaran yang utuh tanpa reserve.
Pendidikan merupakan salah satu investasi sumber daya manusia yang diharapkan mengubah kehidupan suatu bangsa ke arah yang lebih baik. Sebagai social investment yang berhajat meningkatkan sumber daya manusia, tentunya pendidikan yang berlangsung di negeri kita ini tidak semata diharapkan berhasil dalam memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai kepada generasi berikutnya, tetapi juga dapat memperbaiki nasib dan kualitas peradaban orang-orangnya.
Dari sinilah yang menjadi misi utama yang diemban oleh institusi pendidikan Islam, yaitu menjadikan manusia-manusia beriman dan berpengetahuan, yang keadaannya antara satu dengan yang lainnya saling menunjang dalam melahirkan peradaban. Dimensi keimanan dan pengetahuan menjadi variabel utama dalam menjaga keseimbangan kepribadian pada diri setiap manusia. Keimanan akan selalu berorientasi pada ketakwaan dan membawa manusia pada kebenaran dalam menetapkan misi pengembangan ilmu pengetahuan.[1]
Tak pelak lagi idealisme manusia sebagai manusia yang berkepribadian utuh dalam keseimbangan akal, emosi dan keyakinan yang tak layak lagi tersisih sebagai arahan dan dalam materi pendidikan. Karena pendidikan Islam adalah sebagai proses transformasi pengetahuan menuju ke arah perbaikan, penguatan dan penyempurnaan semua potensi manusia, demi terciptanya insane kamil (manusia paripurna) yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual sekaligus.[2] Ini artinya bahwa pendidikan itu berlangsung sepanjang hayat dan bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja selagi kita itu mau dan mampu melakukan proses kependidikan. Untuk mencapai pada tujuan yang sesungguhnya yaitu insane kamil, diperlukan suatu proses dan sistem pendidikan yang baik, yaitu proses yang kontinyu dan dengan gerak yang dinamis dan tidak dikotomis serta sistem pendidikan yang mengantarkan individu pada proses menuju kebaikan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat kelak. 
Berangkat dari pola berfikir integratif, yaitu menyatukan arti kehidupan dunia dan akhirat, maka pendidikan umum pada hakikatnya adalah pendidikan agama, juga begitu sebaliknya pendidikan agama adalah pendidikan umum. Idealnya, tidak perlu terjadi persoalan ambivalensi dan dikotomik dalam orientasi pendidikan Islam.  Karena tujuan pendidikan Islam adalah untu mendidik akal dan jiwa dan menyampaikannya pada batas-batas kemungkinan seorang mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[3] Dari tujuan pendidikan ini di dalamnya mencakup aspek akal dan spiritual. Dengan tujuan ini pula yang menginginkan terbentuknya pribadi manusia yang mempunyai struktur jiwa yang seimbang, antara akal dan spiritual. Karena jika akal dan spiritual dididik dengan cara dicerdaskan melalui agama, maka umat Islam akan dapat bersaing dengan ilmu pengetahuan baru, dan dapat mengimbangi mereka dalam kebudayaan.[4]
Dengan adanya penyatuan ilmu dengan nilai-nilai ajaran Islam, persoalan dikotomi akan dapat dicarikan jalan keluarnya. Wawasan ilmu tidak lagi dipisahkan secara dikotomis dalam pembagian ilmu-ilmu agama dan umum. Tetapi akan dibedakan, bukan dipisahkan, menjadi ilmu-ilmu yang menyangkut ayat-ayat tanziliyah atau yat-ayat yang tersurat dalam Al-Qur'an dan hadis—dan ilmu tentang ayat kauniyah, atau ilmu atau pengetahuan tentang kealaman.
Membangun sebuah sistem pendidikan Islam yang tepat untuk era sekarang memang bukanlah perkara mudah. Karena memerlukan adanya pemikiran dan perencanaan yang terpadu dan menyeluruh. Pendekatan yang digunakan pun tidak sekedar pendekatan tambal sulam (scissor and paste approach), akan tetapi harus menggunakan pendekatan integralistik (integralistical approach).[5] Maka dari itu, pendidikan Islam dalam merespon tantangan yang ada harus didesain sebagai model pendidikan integralistik yang akan menjadi alternatif; karena dirasa ada kesesuaian dengan kebutuhan dan perkembangan di era sekarang.
Meminjam pendapat Hasim Amir, pendidikan Islam di era global adalah pendidikan yang idealistik, yakni pendidikan yang integralistik, humanistik, pragmatik dan berakar pada budaya yang kuat. Pendidikan integralistik merupakan pendidikan yang berorientasi pada rabbaniyah (ketuhanan), insaniyah (kemanusiaan), ‘alamiyah (alam pada umumnya), sebagai suatu yang integralistik bagi perwujudan kehidupan yang baik dan untuk mewujudkan rahmatan lil ‘alamin, serta pendidikan yang menganggap manusia sebagai sebuah pribadi utuh jasmani-rohani, intelektual, perasaan dan individual-sosial.[6]
Dengan pendidikan integralistik tersebut diharapkan dapat menghasilkan peserta didik yang memiliki integritas tinggi yang dapat bersyukur dan menyatu dengan kehendak Tuhannya dan dirinya sendiri, sehingga tidak memiliki kepribadian mendua (dikotomik), namun menyatu dengan masyarakat, sehingga menghilangkan disintegrasi sosial, dan dapat menyatu dengan alam, bukan membuat kerusakan alam akan tetapi menjaga, memelihara dan memberdayakan serta mengoptimalkan potensi alam sesuai kebutuhan manusia.
Pada akhirnya, dengan memadukan Islam sebagai dimensi spiritual dengan sains yang umumnya berparadigma materialistik akan dihasilkan bangunan ilmu pengetahuan yang seimbang atau ekuilibrium. Dalam proses pemaduan itu, Islam ditempatkan sebagai basis teoretik guna penyusunan landasan etik ilmu pengetahuan dan anak kandungnya teknologi yang terarah dan lebih manusiawi. Sebagai implikasinya, proses dan kerja saintifik memiliki orientasi dan makna yang jelas, karena ia dikendalikan oleh landasan tauhid serta didasari motivasi untuk beribadah kepada Allah Swt.
Pemahaman seperti ini sehingga dapat memebebaskan masalah dikotomik ilmu dalam pendidikan Islam, yaitu tidak ditemukan lagi dua kutub kebenaran yang saling berlawanan (ilmiah dan religius), namun yang ada hanyalah kebenaran tunggal, yaitu ilmiah sekaligus religius. Melalui prinsip seperti ini, interelasi hasil-hasil ilmu pengetahuan dan interpretasi manusia atas wahyu dituangkan dalam bentuk konsesus kebenaran tunggal, dan tidak memberikan peluang polarisasi.
Pada era global ini, ekuilibrium antara posisi ilmu nalar dengan nilai-nilai etika-moral dalam kehidupan sehari-hari menjadi sangat signifikan dan bermakna. Sebab era teknologi informasi dan era digital sekarang ini telah mengubah posisi agama pada tatanan inferior di banding ilmu pengetahuan. Akibatnya, diakui atau tidak, tampilan era global sekarang ini ternyata dapat mendistorsi persoalan etika dan moralitas yang sangat dijunjung tinggi dalam ajaran agama.
Oleh Karen itu, pada era seperti sekarang ini tidak sedikit kalangan yang menyebutnya sebagai era kebangkitan agama dengan performa yang lebih rasional. Otoritas wahyu mesti dikawinkan dengan penafsiran nalar dan ilmu, dalam rangka aktualisasi diri menyikapi persoalan kemanusiaan sehari-hari yang kian menantang. Dalam kaitan ini pertautan antara teks agama dengan nalar manusia menjadi sangat menarik dimaknai secara teologis untuk memantulkan nilai-nilai eternal ajaran suci ke dalam realitas ilmu pengetahuan. Karena, kedudukan intelek adalah di hati bukan di kepala, dan akal tidak lebih adalah pantulan ruhaniyah.[7] Karenanya, secara konseptual bahwa nalar dan wahyu merupakan dua entitas yang sebenarnya tidak perlu dipertentangkan secara diametral.

Konklusi
Pendidikan Islam idealnya tidak mengambil posisi sebagai pendukung atau penentang di era global, akan tetapi harus menyikapi era ini juga arus pemikiran lainnya secara kritis-kontruktif. Di samping hal tersebut, pendidikan Islam lebih mengutamakan pada out put pendidikan, yakni manusia-manusia yang mampu menelaah setiap persoalan dan permasalahan yang berkembang dari segala sisinya, bukan malah tergesa-gesa mendukung atau menolak arus baru yang datang tanpa disertai kesadaran yang utuh. Salah satunya adalah paradigma pendidikannya harus diorientasikan pada cara pandang yang kritis, serta tanggap akan realitas, dan muatan kurikulum di dalamnya dijabarkan dengan sedemikian rupa, dan pembelajarannya pun menyenangkan. Sehingga peserta didik dapat belajar secara aktif-kreatif dan berkembang segala potensi yang dimilikinya.
Pendidikan Islam di era global adalah pendidikan yang idealistik, yakni pendidikan yang integralistik-humanistik-pragmatik dan berakar pada budaya kuat. Pendidikan integralistik merupakan pendidikan yang berorientasi pada ketuhanan, kemanusiaan dan alam pada umumnya sebagai sesuatu yang integralistik bagi perwujudan kehidupan yang baik dan untuk mewujudkan rahmatan lil ‘alamin, serta pendidikan yang menganggap manusia sebagai pribadi yang utuh, baik itu menyangkut aspek jasmani-rohani, intelektual, perasaan dan individual-sosial.
Dengan paradigma tersebut, diharapkan dapat menghasilkan peserta didik yang memiliki integritas tinggi, bersyukur, menyatu dengan kehendak Tuhan dan dirinya sendiri, serta tidak memiliki kepribadian mendua (dikotomik), akan tetapi menyatu dengan masyarakat, sehingga menghilangkan disintegrasi sosial. Peserta didik juga dapat menyatu dengan alam bukan malah membuat kerusakan alam, akan tetapi menjaga, memelihara dan melestatikan serta memberdayakan dengan mengoptimalkan potensi alam sesuai dengan kebutuhan.


Referensi:
Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi. (2004). Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post Modern; Mencari “Visi Baru” atas “Realitas baru” Pendidikan Kita. Yogyakarta: IrCiSod.
Maftukhin. (2012). Filsafat Islam. Yogyakarta: teras.
Moh. Roqib. (2009). Ilmu Pendidikan Islam; Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat. Yogakarta: L-KiS.
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus. (2011). Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam; Ibnu Sina-Azyumardi Azra. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Zubaedi. (2012). Isu-Isu Baru dalam Diskursus Filsafat Pendidikan Islam dan Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


[1] Zubaedi, Isu-Isu Baru dalam Diskursus Filsafat Pendidikan Islam dan Kapita Selekta Pendidikan Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012), hal. 1.
[2] Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam; Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, Cet. I, (Yogakarta: L-KiS. 2009), hal. v.
[3] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam; Ibnu Sina-Azyumardi Azra, Cet. I. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2011), hal. 123.
[4] Ibid.
[5] Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post Modern; Mencari “Visi Baru” atas “Realitas baru” Pendidikan Kita), Cet. I, (Yogyakarta: Ircisod. 2004, hal. 304.
[6] Zubaedi, Op. Cit., hal. vii.
[7] Maftukhin, Filsafat Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Teras. 2012), hal. 214-215.