Sejatinya bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang membutuhkan uluran tangan dan bantuan dari orang lain. Karena tidak
selamanya ia mampu melakukan seperangkat aktivitas yang dijalaninya dengan
tangan, tenaga dan fikiran sendiri. Buktinya, ketika kita makan sebagai
kebutuhan wajib harian manusia, dibutuhkan sederet tangan dan tenaga orang lain untuk menjadi santapan makanan yang siap saji. Makan nasi sebagai contoh, butuh
orang lain untuk mencangkul sawah, menanam padi, memanen padi, menggiling padi
kemudian menjadi beras untuk dimasak dan menjadi nasi yang siap untuk dikonsumsi.
Analogi di atas, adalah bukti konkret bahwa manusia itu sebagai makhluk sosial yang membutuhkan uluran tangan dari orang lain
untuk mencapai kebutuhannya bahkan tujuan sekalipun. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan manusia, dibutuhkan
kesadaran akan pentingnya kebersamaan secara kolektif, bukan perpecahan komprehensif yang berujung pada konflik. Perlunya harmonisasi antar sesamanya, sehingga terbangun kerjasama yang baik dalam berbagai aktivitas yang dilakukannya.
Ikhlas dalam melakukan aktivitas juga menjadi unsur penting bagi manusia. Karena, keikhlasan di dalamnya mengandung unsur nilai transendental yang nantinya dapat
termanifestasi dalam kehidupan, yaitu nilai kemanusiaan tentang pentingnya
kesadaran positif dan naluri kejiwaan antar sesama manusia dalam interaksinya. Ini artinya bahwa tanpa nilai keikhlasan dalam setiap pekerjaan dan
perbuatan manusia, maka ia akan mengalami unsur keterpaksaan, dan hanya mengharap
imbalan dalam setiap pekerjaan maupun perbuatannya, sehingga nilai-nilai
substantif yang terkandung di dalamnya itu akan hilang dengan sendirinya.
Dalam komunitas kehidupan manusia,
dibutuhkan suatu wadah untuk merealisasikan visi dan misi yang menjadi tujuan
bersama. Agar tujuan tersebut dapat tercapai dengan baik dan ideal, dibutuhkan seperangkat aturan yang menjadi komitmen bersama dan dijalani secara konsisten bersama pula. Tujuan ideal tanpa konsep, ide dan gagasan yang progresif,
mustahil akan tercipta suatu wadah yang kuat dan kokoh. Wadah itulah yang sering kita
kenal dengan nama organisasi. Jadi, organisasi
adalah sebuah wadah untuk mengembangkan dan merealisasikan semua potensi yang
dimiliki oleh manusia, yang di dalamnya terdapat visi-misi bersama, dan aturan
bersama yang dijalani secara konsisten demi terciptanya suatu
tujuan bersama yang ideal.
Maka dari itulah, jika organisasi
tanpa visi-misi dan aturan yang jelas serta komitmen yang jelas (konsisten)
pula, dengan sendirinya organisasi akan mengalami disoerientasi dan stagnansi
gerakan dan tujuan, baik gerakan pengkaderan, intelektual dan gerakan riil di
masyarakat. Di samping itu juga untuk mencapai tujuan ideal organisasi dan
gerakan yang dinamis-kritis akan realitas, sangat dibutuhkan manusia-manusia
yang tangguh dan berkualitas dari segi SDM-nya, yaitu seimbang dan integral antara aspek intelektual, emosional dan spiritual sekaligus. Dengan keseimbangan yang
terintegrasi dari ketiga aspek tersebut akan melahirkan manusia yang ulul albab
(paripurna). Manusia ulul albab yang dimaksud adalah manusia yang tidak hanya
cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, moralitas dan
sekaligus spiritualitasnya.
Inilah yang menjadi orientasi yang
tertinggi bagi organisasi. Untuk mencapai pada titik tersebut dibutuhkan waktu
atau proses yang panjang, dinamis dan konsisten. Karena yang utama dan paling
utama berorganisasi adalah proses, bukan hasil. Jadi proses-proses
yang dilalui dan dalam organisasi itulah yang akan mengantarkannya pada kesabaran dan
kedewasaan. Dengan kata lain, proses itu tidak menghianati haail, selain juga tidak mengenal ruang dan juga
waktu, namun berlangsung sepanjang hayat di manapun dan kapanpun selagi ia mampu dan mau melakukan suatu proses dalam organisasi.
Maka sangatlah diperlukan kesadaran dalam menjalani serangkaian aktivitas dan kegiatan organisasi agar
proses-proses yang dilaluinya berjalan maksimal sesuai dengan harapan dan
tujuan. Kurangnya kesadaran yang utuh serta konsistensi dalam berproses, maka
yang dihasilkan adalah mubadirnya tenaga, fikiran dan juga waktu. Karena, yang dibutuhkan dalam proses berorganisai yang adalah ketekunan, keniatan dalam belajar dan
utamanya—bukan paling utama—yaitu mau berproses serius. Di samping itu juga, berproses
di organisasi menyita banyak waktu, maka dari itu perlunya orientasi
yang jelas dan harapan-harapan yang jelas pula demi keberlangsungan hidup kedepan
yang lebih baik.
Keikhlasan juga sebagai muatan nilai
yang penting dalam menjalani roda kehidupan berorganisasi. Karena
keikhlasan di dalamnya mengandung unsur nilai transenden-ilahiyah yang
nantinya akan termanifestasi dalam kehidupan berorganisasi. Dengan jiwa yang ikhlas
bahwa organisasi sebagai tempat berproses dan untuk mengembangkan potensi diri,
bukan sebagai kendaraan atau jalan menuju ‘profit individu’ yang sifatnya
pragmatis-materialistis dengan melupakan tujuan ideal organisasu. Ini sangat mengganggu dan bahkan melumpuhkan
gerakan, baik gerakan individu dalam organisasi maupun gerakan organisasi
secara masif menuju arah yang ideal, yakni kepentingan umat secara kolektif
menuju perubahan yang lebih baik dan menjadikan manusia yang ulul albab.
Menjadi sebuah keniscayaan insan
organisatoris bahwa kesadaran diri dan jiwa ikhlas—tanpa melupakan unsur-unsur
yang lain—itulah yang nantinya menghantarkan kita pada terciptanya
organisasi yang ideal, yakni untuk kepentingan umat secara kolektif
dan menjadikan insan organisatoris yang ulul albab.
Kebumen, Maret
2014
MIZANUL
AKROM